Tatapanku tidak terlepas dari Pak Tiok. Ekspresinya yang berubah-ubah membuatku mengerutkan dahi. Setiap aku menunjukkan pertanyaan, dia hanya mengangkat tangan menandakan aku disuruh diam. Maksudnya apa?Sekarang, justru dia keluar dari ruangan. Masih dengan ponsel di tangan, dia jalan mondar-mandir sambil berbincang. Aku yang berusaha mencuri dengar, tidak menangkap apapun. Akhirnya menyerah, memilih duduk seraya memeriksa pesan yang masuk dari Desi sekretaris.Laporan dari perusahaan menandakan semua karyawan mendengarkan yang aku katakan. Sebenarnya mereka sudah mempunyai kemampuan sesuai bidang yang ditempati. Sebagai pemimpin hanya sebagai penggerak dan memotivasi mereka, tentu saja tetap di dalam pengawasan.Ini sesapan terakhir kopi yang sudah tidak hangat lagi. Begitu lama, akhirnya Pak Tiok memunculkan wajahnya. Tidak ada gambaran gembira, tetapi juga tidak ada raut kesedian. Entah, apa yang akan dia katakan.“Pak Tiok. Bagaimana?” tanyaku dengan menunjukkan raut wajah menun
Aku terduduk lemas dengan jawaban yang tidak pasti ini. Katanya, Mas Suma mengalami pendarahan yang hebat, untung saja benda yang menusuk perutnya masih tertancap. Itu yang menyelamatkan nyawanya.Sebegitu jahatnya mereka sampai menusuk suamiku. Apa salah dia, sehingga mereka mempunyai alasan untuk mencelakai Mas Suma?Mata ini terpaku pada pintu di ujung ruang tunggu ini. Dari sanalah jawaban akan aku dapat. Apakah aku masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepadanya, atau justru kesempatan tidak berpihak kepadaku?Sungguh, aku tidak sanggup menghadapi kemungkinan terburuk ini.“Pak Kusuma orangnya kuat dan pantang menyerah. Dia pasti lolos dengan selamat dari kejadian ini,” ucap Pak Tiok yang duduk mensejajariku. Dia menyodorkan sekotak tissu untukku.Aku yang masih tergugu, hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Membuka mulut, hanya memicu tangisku yang tidak bisa lagi kukendalikan. Inginku bersikap tenang sambil melantunkan doa. Akan tetapi saat memohon keselamatan dan menyebu
Mata ini mengerjap, menautkan serpihan kesadaran. Tidak kudapati lagi Mas Suma yang baru saja berdiri di depanku. Masih lekat di pendengaran suara yang aku rindukan. Begitu juga senyuman yang baru saja aku lihat.“Mas Suma!”Aku mengedarkan pandangan. Namun yang aku dapati hanya Pak Tiok duduk tepat di sebelah ranjang, dengan menunjukkan wajah kawatir. Dia terlihat kuyu dan berantakan.“Mas Suma bagaimana?”“Alhamdulillah. Keadaan Pak Kusuma sudah stabil. Sekarang, justru kamu yang harus menjalani pemeriksaan.” Dia mendorong bahu ini, saat aku berusaha duduk.“Rani…. Kita bersahabat sudah berapa lama? Kenapa kamu masih menganggapku orang lain?” ucap Pak Tiok melupakan kesepakatan memanggilku seperti biasanya. Aku menatapnya tidak mengerti.Dia mendesah sambil menatapku lekat. “Kenapa kamu tidak mengatakan, kalau kamu habis keguguran? Kamu harus istirahat, Ran.”“Saat ini kesehatanku bukan prioritas. Aku harus—““Harus apa? Coba bayangkan kalau ada apa-apa dengan kamu. Bagaimana anak-a
Keadaan yang awalnya sepi, mulai diriuhkan dengan anggota Club 21. Mereka menunjukkan keprihatinan terhadap keadaan Mas Suma, walaupun waktu menjenguk dibatasi.Musibah yang sempat dirahasiakan akhirnya terendus oleh mereka. Akan tetapi, untuk khalayak umum tetap dirahasiakan. Ini atas permintaan Nyonya Besar. Karena kesehatan pucuk pimpinan akan berpengaruh pada harga saham dan kepercayaan pelanggan. Aku tidak mengikuti jalannya penyelidikan. Semua aku serahkan kepada Pak Tiok, sedangkan aku konsentrasi kepada kesehatan dan perusahaan.Dokter Hendra yang mengurus perpindahan Mas Suma. Aku dan suamiku dirawat di rumah sakit yang dipimpinnya. Keadaan Mas Suma mulai stabil, walaupun dia belum sadar. Menurut diagnosa, kekurangan darah menyebabkan asupan oksigen ke otak sempat terhambat. Inilah yang menyebabkan keadaan ini.“Sampai kapan Mas Suma tidak sadar? Apakah ini tidak berbahaya?”“Dari hasil pemeriksaan, semua sudah dalam kondisi normal. Kita tunggu saja.” Ini yang selalu menj
Aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi aku serahkan kepada yang di Atas. Sebagai hambanya hanya berkewajiban berusaha, sedangkan hasil adalah hak-Nya. Yakin saja, apapun yang terjadi pasti tertepat.***“Ma, Papi bagaimana?” seru Amelia setelah pintu terbuka, diikuti Wisnu. Ini masih selepas subuh, tetapi mereka sudah sampai di sini.Aku menunjukkan telunjuk di bibir, sambil mengarahkan mata ke arah Mas Suma yang tertidur. Semenjak sadar, tidak dibiarkan tangan ini terlepas darinya. Hanya saat aku meminta untuk menunaikan kewajiban dia melepaskanku. Itupun harus mengerjakan tidak jauh darinya.“Papi beneran sudah sadar?” Wisnu berucap dengan berbisik.Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka mengambil kursi dengan hati-hati, menaruh di sebelah ranjang tanpa bersuara.“Amel kangen Papi, Ma?” Dia merengut, menunjukkan wajah sendu menatap Mas Suma yang masih tertidur nyenyak.Wisnu menatapku dan Mas Suma bergantian, kemudian dia berenjak mendekatiku.“Mama juga harus istirahat,” ucapnya s
Seseorang bisa menendang dan memukul kalau memiliki kaki dan tangan. Bagaimana kalau aku potong keduanya, apakah dia masih bisa menyakiti orang lain lagi? Begitu juga wanita itu. Tidak henti-hentinya dia melakukan mengganggu keluargaku. Dahulu memang pemakluman yang aku kedepankan. Rasa cinta kepada Mas Suma yang begitu besar dan tidak bisa di lupakan. Aku berpendapat, tidak ada orang yang memaksakan cinta, termasuk membunuh rasa cinta. Namun kalau sudah bertindak jauh seperti ini, terpaksa aku gunakan tangan besi dan mematikan rasa kasihan di hati. “Bu Rani, ini yang berkas yang diminta.” Desi menyodorkan satu map berwarna merah. Ini data yang aku minta tentang semua perusahaan yang terkait dengan Catherine. Ada beberapa perusahaan yang masih berhubungan dengan perusahaan ini, terkait karena Pak Wahono-ayah Catherine-pernah menjadi mitra kerja ayah Mas Suma. “Bukankah pabrik tekstil dan garmen ini sudah dilepas Tuan Kusuma?” “Pak Kusuma melepas hak managemen, tetapi kepemilikan
Aku seperti pulang ke rumah. Di depanku tidak hanya Mas Suma, tetapi ada Amelia yang menggendong Anind, dan Wisnu yang memanggul Danish.Mata ini berkaca-kaca saat Amelia dan Wisnu berhambur dan menyodorkan adik-adiknya kepadaku. Kerinduan yang membuncah terjawab sudah. Tak henti-hentinya aku menciumi mereka.“Mam-ma… Mamam.” Suara keluar dari bibir mungil Anind. Seketika rasa haru menyeruak. Gadis kecilku tidak melupakan aku, bahkan mampu memanggilku mama.“Mas Suma! Anind sudah bisa memanggilku!” Aku menatap suamiku yang tertatih mendekat. Kemudian mengusap lembut kepala mungil. Dia mengulurkan tangan, tetapi Amelia tidak memperbolehkan.“Kan Amel yang ngajari Adek Anind ngomong,” celetuk Amelia sambil menggerak-gerakkan alis.“Hmm…. Anakku ini sayang sama adik-adiknya, ya.” Mas Suma mengacak rambut Amelia sambil tersenyum. Terlihat senang. Walaupun lahir dari rahim yang berbeda, tetapi dia menyayangi adik-adiknya.“Danish juga sudah bisa pegang pencil. Semuanya dicoret-coret,” tamb
Tangan ini terkepal seketika mendengar apa yang diceritakan Mas Suma.Kemesraan kami memicu ingatannya. Seperti serpihan puzzel, perlakuan Catherine yang menjijikkan itu menarik bagian lainnya yang terlupakan.Sesekali dia menekan kepala untuk meredakan nyeri yang kadang-kadang hadir. Namun, ini tidak menyurutkan dia untuk melanjutkan rentetan ingatan yang sudah kembali. “Aku tidak apa-apa. Dengan menceritakan ini semua, aku merasa lebih ringan,” ucapnya bersikukuh saat aku minta untuk tidak melanjutkan cerita miris ini.Sesekali tangan ini diraihnya, menautkan jemari seakan mencari kekuatan.Kata demi kata mengeraskan hati, menambah geram dan membulatkan niat untuk pembalasan. Dan, itu harus melibatkan pihak berwajib.“Mas Suma. Aku tidak terima perlakuan mereka. Selama ini kita selalu mencari alasan untuk memaklumi perbuatan mereka. Namun, bukan sadar, justru semakin menjadi,” ucapku sambil menyusut air mata yang sempat tergulir.Suamiku menghela napas. Mengusap lembut punggung in