Kalau dengan suami, aku masih bisa menyangkal atau nakal sedikit terhadap aturannya. Namun dengan mertua, bagaimana aku bisa berkutik? Apalagi mertuanya seperti Nyonya Besar.*Masih lekat di ingatan, bagaimana perlakuan Mas Suma saat kehamilan Danish dan Anind. Suamiku sampai menyewa suster, bahkan membuatkan ruangan khusus di galleri sebagai tempat istirahatku. Itu pun karena aku merajuk supaya tetap diperbolehkan melakukan kegiatan di luar rumah. Menunjukkan kesal-kesal sedikit sambil melancarkan segala bentuk rayuan.Nah, kalau sekarang dengan Nyonya Besar, apa yang bisa aku lakukan, selain menuruti kemauannya dia.“Mama diapakan sama Eyang?” tanya Amelia yang terlihat bergegas masuk ke kamarku, setelah Nyonya Besar pergi. Di belakangnya diikuti Wisnu dengan ekspresi yang sama.Keduanya menarik kursi dan mendekatkan diri di tepi ranjang.“Eyang hanya menunjukkan kasih sayang ,” jawabku sambil tersenyum menunjukkan aku baik-baik saja.“Apa Eyang sudah pulang?” tanyaku penasaran. T
Kecewa. Hanya meminta waktu luang sebentar saja tidak dikabulkan. Padahal tidak lebih dari lima menit. Hati ini merasa tersisih dan diduakan.Aku juga pernah bekerja, dan itu tidak sampai seperti ini. Bukankah Mas Suma pemimpin sekaligus pemilik perusahaan? Harusnya dia bisa membagi waktu atau mendelegasikan pekerjaan kepada bawahannya.Ini bekerja dari pagi sampai sore, dan sekarang menjelang malampun bekerja lagi.Apa, kenapa, mulai memenuhi pikiran ini. Tidak tahan dengan rasa penasaran, aku menghubungi Desi, sekretaris yang mengikutinya.“Desi maaf, ya. Aku menghubungimu untuk memastikan Mas Suma sudah makan atau belum.”“Sudah, Bu Rani. Kami sudah makan bersama tadi setelah rapat.”“Kasihan kamu diperas suamiku. Padahal kamu masih aura pengantin baru,” ucapku memancing keadaan di sana sebenarnya.Terdengar suara tawa kecil Dewi. “Bu Rani ini ada-ada saja. Saya sudah pengantin uzur, Bu”“Tapi sekarang rapat lagi, gitu?”“Sudah selesai dari tadi sore. Ini saya sedang santai di kama
Tangan ini masih menggenggam ponsel, walaupun sudah bergelung dalam selimut. Panggilan telpon dariku tidak diangkat oleh Mas Suma. Aku kirim pesanpun tidak dibaca, apalagi dibalas. Sibuk pekerjaan apa, sih dia? Seakan berkejaran dengan jarum jam, aku berusaha menghubunginya. Namun, tidak ada balasannya. Sedangkan waktu yang diberikan Nyonya Besar semakin tertinggal hitungan detik. “Mama….Mama?” suara Amelia sambil mengetuk pintu. Aku tahu, ini pasti jebakan. Kalau aku menyahut, pertanda aku belum tidur. Secepatnya, aku tarik tangan yang masih menggenggam ponsel masuk ke dalam selimut. Secepatnya aku memejamkan mata, dan pura-pura mendengkur halus. Benar dugaanku. Pintu terbuka pelan. Terdengar langkah Amelia masuk. “Hmm….Mama sudah tidur,” ucapnya lirih, kemudian terdengar bunyi saklar dan ruangan pun terganti dengan temaran dari lampu sorot di dinding. Mata ini masih terpejam, sampai terdengar pintu di tutup kembali. Huuft! Aku seperti anak kecil yang diharuskan tidur cepat. Be
“Pernikahan di usia kalian tidak cukup hanya berdasar cinta, tetapi bagaimana usahanya. Bukan usaha yang merujuk materi, ya. Namun usaha untuk menempatkan dia untuk ditempatkan di tempat yang berharga,” ucapku setelah mendengar curahan hati Prasetyo. Lelaki flamboyan ini mengangguk, entah dia mengerti atau semakin tidak tahu. Maharani sering mengeluhkan tentangnya. Memberitaku laki-laki ini, kadang masuh di telinga kiri, dan keluar dari telinga kanan. Terbukti, semenjak aku kenal dengannya sudah berapa wanita yang dia ceritakan dekat dengannya. Namun, tidak satupun berujung pada hubungan serius. “Kamu yakin tidak dengan Kalila?! Dia itu karyawanku. Jangan coba-coba memberikan harapan lebih, kemudian dicampakkan!” ucapku sengaja dengan nada menggertak. Alih-alih keder, dia justru tertawa. Apa aktingku kurang meyakinkan, ya? “Sementara yakin. Yang masih ragu justru Kalila. Kok saya yang di-warning. Harusnya Kalila yang Pak Kusuma kasih SP, karena menggantung cinta saya,” selorohnya
POV MaharaniPagi yang mengesalkan.Semalaman aku menunggu Mas Suma menelpon kembali, atau setidaknya mengirim pesan untuk minta maaf. Ternyata aku hanya bersandar di harapan kosong.Harusnya dia peka sebagai suami. Memang aku yang memutus sambungan telpon dengan alasan tidak mau diganggu, tetapi kenapa dia tidak berusaha untuk membujukku. Minimal pura-pura berusaha supaya aku luluh.Kenapa dia tidak berupaya untuk menjelaskan kalau aku hanya salah paham? Kekesalanku ini juga karena dia membiarkan aku menunggu telponnya, tanpa mengirim pesan penyebabnya apa.Dia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan di pagi ini pun tidak ada kabar apapun darinya. Padahal aku bersiap sedari petang untuk jaga-jaga kalau dia menghubungiku. Diri ini sudah rapi, bahkan kububuhkan make-up tipis supaya terlihat indah di matanya. Test pack dengan tanda dua garis pun sudah aku siapkan sebagai kejutan. Namun, semuanya hanya sia-sia. Apakah aku tidak boleh kesal kalau punya suami yang seperti ini?Huuft!Su
Menjadi menantu kesayangan mertua itu membahagiakan dan sekaligus memusingkan. Di luar sana pasti para menantu cemburu denganku. Namun sayangnya Nyonya Besar terhadapku berlebihan, seperti saat ini.Baru saja selesai makan, suster Lena sudah menyodorkan aku vitamin dari dokter ditambah suplemen yang dititipkan oleh Nyonya Besar.“Ini aman, Sus? Saya minum bersamaan?”Aku menyodorkan kembali wadah kecil kepadanya. Kalau semua-semua dikonsumsi, apakah tidak berlebihan atau justru bertentangan khasiatnya?“Nyonya Besar sudah konsultasi dengan dokter kandungan Nyonya. Bisa dipastikan ini aman, dan justru bagus.”Nurut.Itu keputusan aman kalau tidak ingin dirunut dengan pertanyaan kenapa. Seperti suamiku, mertuaku ini mempunyai sifat yang sama. Segala sesuatu harus ada alasan dan masuk di kepalanya. Kalau tidak runut, jangan harap pendapat akan diterima.“Nyonya, menurut jadwal waktu istirahat kembali ke ranjang satu jam lagi. Saya tinggal dulu sebentar, dan nanti akan kembali lagi,” ucap
Mataku tidak lepas dari jendela besar yang dibalut tirai transparan. Pemandangan di luar tidak kentara, seperti kabar tentang suamiku yang buram.Tubuh yang meringkuk ini memang di sini, tetapi pikiran melayang mencari Mas Suma berada. Genggaman tanganku pun mengerat pada selimut tebal, mencoba mengurai sesak di dalam dada, tetapi gagal. Justru air mata yang meluncur tak tertahankan.Hari ini kegagalanku sebagai istri. Seseorang yang seharuskan memanjatkan doa untuk suami di saat dia pergi, justru dengan gampangnya meluncurkan kata-kata ‘tidak mau berbicara lagi.’Akankah ini yang disebut terkabul dalam ketidaksengajaan? Berucap dengan pura-pura, tetapi tercatat sebagai permintaan?Sekali lagi mata ini terpejam menahan nyeri di dada. Tidak sanggup aku membayangkan kalau ini kejadian nyata. Kehilangan suami dalam keadaan hati dilanda amarah.Tidak hanya gagal sebagai istri, aku juga tidak bisa menjaga apa yang dititipkannya.“Suster Lena, saya dimana?” Beberapa jam yang lalu aku ters
Semua gelap. Mata ini masih ditutup dan mulut pun terkatup rapat seperti terbalut perekat besar. “Dimana aku ini?” gumamku lirih. Kepala ini ingat akan kejadian tadi. Aku dibekap dan tidak ingat lagi. Apakah ini hari akhir untukku? Huuft! Semoga tidak. Maharani istriku. Aku masih berhutang untuk menghubunginya. Kalau aku diberi kesempatan, tidak akan pernah aku mengabaikannya seperti tadi malam. Menempatkan dia di nomor sekian setelah pekerjaan dan urusanku. Sungguh, aku sangat menyesal. Satu persatu nama anakku terlintas di kepala ini. Tidak hanya itu, senyuman dan lambaian tangan membulatkan tekad untuk tetap kuat dan terlepas dari kungkungan ini. Aku harus bisa! Suasana sepi, hanya terdengar sesekali gesekan kayu seiring dengan embusan angin. Aku hirup udara dalam-dalam, aroma seperti oli bekas menyambar di penciumanku. Bau seperti di sebuah bengkel. Kucoba beringsut, tetapi tangan dan kakiku terikat erat. Leherku pun terasa kaku. Aku mendongak dan mencoba untuk berontak. Te