"Mommy!" Seru Mentari sambil memutar gagang pintu dan berlari masuk.Renata sejenak menghentikan tawanya, beralih menatap Mentari yang berlari kearahnya. Begitupun dengan Zidan."Mentari, ke sini sama siapa?" Tanya Renata sambil meminta Zidan untuk menurunkannya dari atas meja."Sama Oma, mau jenguk Tante Serena," jawab Mentari.Renata pun melihat ada Mala yang berdiri di ambang pintu."Daddy, Tari juga mau duduk di meja!" Mentari merasa cemburu karena Renata diangkat oleh Zidan, sedangkan dirinya tidak.Sehingga memilih untuk meminta Zidan melakukan hal yang sama."Nggak boleh duduk di meja," kata Zidan, "duduk itu di kursi.""Tadi Mommy bisa! Daddy jahat!" Mentari pun mengerucutkan bibirnya kesal pada Zidan yang tidak bisa menuruti keinginannya."Baiklah," Zidan pun mengangkat tubuh Mentari untuk duduk di atas meja, agar putri kecil kesayangannya itu tidak lagi cemberut."Mama ke ruangan Serena dulu, takut dia belum minum obat, Bayu juga sedang sakit," pamit Mala, "Tari, ikut Oma ata
Bertapa hati Kinanti begitu bahagia setelah mengetahui jenis kelamin cabang bayi yang baru berusia 16 Minggu itu.Dirinya terus saja tersenyum bahagia saat Adam mengatakan bahwa jenis kelamin calon anaknya perempuan."Mas, nanti kalau anaknya sudah lahir mau dikasih nama siapa?" Terlalu bahagia membuatnya benar-benar tidak sabaran."Sabar sayang, nanti kalau sudah lahir dulu. Baru kita buatkan nama yang paling indah dan paling baik," Adam mengusap perut Kinanti yang kini sudah jelas terlihat.Tidak lama berselang Fikri dan Kenan pun menyusul masuk, keduanya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Serena bersama dengan Sarah.Apa lagi Fikri yang sangat dekat dengan Serena, mengingat mereka sudah memiliki kedekatan sejak Fikri baru saja dilahirkan."Anak Bunda, Oma di mana?" Kinanti tersenyum melihat kedatangan kedua anaknya."Oma, lagi cerita sama Oma Dara dan Oma Mala di ruangan Tante Serena, barusan Bunda," jawab Fikri."Terus, kenapa ke sini?" Adam ikut bertanya, melihat tidak baik ke
"Kinanti?" Dari sisi lainnya terdengar suara seseorang menyebutkan namanya, Kinanti pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah suara.Kinanti tersenyum melihat wajah orang tersebut, tentu tidak asing lagi di matanya."Mas Ilham, apa kabar?" Sapa Kinanti dengan ramahnya.Masa lalu biarlah berlalu, mari menata masa depan yang jauh lebih baik.Ilham pun berjalan mendekati Kinanti, dan mengulurkan tangannya dan langsung dibalas oleh Kinanti."Aku baik Mas, kalau Mas?" "Aku juga baik," Iham beralih menatap dua anak kecil yang berdiri di samping Kinanti, "ini anak-anak kamu?""Iya," Kinanti tersenyum melihat kedua anaknya, "Fikri, Kenan, ayo salim sama Om Ilham," titah Kinanti, mengajarkan kedua anaknya untuk sopan pada orang tua.Kenan dan Fikri pun menurut, mencium punggung tangan Ilham."Sekarang, duluan ke mobil ya. Ada Pak supir yang menunggu.""Iya Bunda," seru keduanya dan langsung berlari menuju mobil sesuai dengan perintah Kinanti."Anak kamu udah besar ya?" Ilham bisa m
"Ada apa ini ribut-ribut? Sampai kedengaran ke dapur, ada apa?" Tanya Ajeng setelah berjalan tergopoh-gopoh untuk melihat keadaan Zahra yang terdengar menangis.Ajeng tidak tahu entah bagaimana, tetapi suara tangisan Zahra semakin mengundang pertanyaan.Melupakan usia yang rentan, hanya untuk melihat keadaan menyatunya yang menangis dari arah ruang tamu."Kenapa menangis?" Ajeng beralih menatap Ferdian yang hanya diam di tempatnya, sebab Zahra tidak menjawab pertanyaan nya, "Ferdian, apa kalian bertengkar?" Kini Ajeng pun bertanya pada Ferdian.Mungkin saja anaknya itu sudah berbuat salah, sehingga istrinya menangis tersedu-sedu."Zahra hamil Ma," jawab Ferdian dengan jelas."Hamil?" Mata Ajeng seketika berbinar, mendengar kehamilan Zahra sungguh sangat mengharukan.Seketika itu juga Ajeng memeluk Zahra penuh haru. Kehamilan Zahra saat ini tentunya meyakinkan Ajeng akan perkataan Ferdian, tidak akan terjadi perceraian pada rumah tangganya.Sepertinya itu benar adanya.Zahra tersentak
Ferdian pun melihat Zahra yang duduk di sofa, menangis tersedu-sedu tanpa hentinya.Ferdian hanya diam berdiri di depan daun pintu yang tertutup rapat."Aku mau mengugurkan anak ini, aku mau cerai!" Papar Zahra.Ferdian pun masih diam tanpa kata, melihat wajah Zahra yang basah terkena air mata.Zahra kesal karena Ferdian hanya diam saja, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.Entah apa yang dipikirkan oleh suaminya tersebut."Minggir!" Zahra pun mendorong Ferdian untuk berpindah dari daun pintu, dirinya ingin keluar.Ferdian masih diam tanpa berpindah dari tempatnya, tubuhnya tidak bergeser sama sekali karena kekuatan Zahra tidak ada artinya bagi Ferdian.Sekalipun Zahra terus saja mencoba tidak sedikitpun Ferdian bergerak."Menyingkir! Aku mau keluar!" Seru Zahra dikamar kedap suara tersebut.Ferdian pun menyingkir dari sana.Tangan Zahra menggapai gagang pintu, mencoba membuka tetapi ternyata pintunya terkunci dan Ferdian yang mengambilnya."Mau mu apa?" Tanya Zahra p
Hampir tengah malam Zahra pun terbangun, perutnya terasa lapar. Wajar saja dari pagi tadi tidak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutnya, sedangkan ada nyawa lain yang juga membutuhkan asupan nutrisi selain dirinya.Kepala nya semakin terasa berat, sesaat kemudian mencoba untuk mendudukkan tubuhnya.Memijat kepala yang terasa pusing."Makan dulu."Tiba-tiba terdengar suara Ferdian, membuat Zahra kesal seketika.Ternyata Ferdian sudah berdiri di dekat ranjang dan perlahan mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang."Ayo makan, kamu tidak kasihan pada anak kita?" Tanya Ferdian berharap Zahra bisa diluluhkan."Anak mu saja, aku tidak mau!" Ketus Zahra sambil terus memijat kepalanya.Ferdian pun terdiam sambil berpikir bagaimana caranya agar Zahra mau menelan walaupun hanya sebutir nasi."Baiklah, kamu maunya apa?" Ferdian mencoba bertanya, mungkin setelah itu bisa membuat Zahra makan.Zahra menatap Ferdian dengan tajam."Aku maunya cerai!" Ujar Zahra.Ferdian terdiam sejenak dan meni
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Zahra hanya diam.Diam tanpa kata.Apa yang dilihat dan diketahuinya barusan sungguh luar biasa, begitu mengejutkan di saat perasaan sedang tidak menentu.Entahlah, semua berjalan begitu saja, tidak tahu apakah cinta atau hanya sebuah pelampiasan karena kesal pada Ferdian yang memaksanya untuk menjadi istri.Jujur saja, saat ini perasaan Zahra bukan sakit. Hanya saja sedikit kecewa.Kecewa dan malu pada Ferdian yang ternyata Galang tidak lebih baik.Lantas siapa yang lebih baik?Ferdian?Tidak mungkin juga, mengingat menikah saja dengan cara memaksanya.Zahra menarik napas panjang, semua terasa begitu berat. Bahkan sangat mengejutkan bagaikan sebuah hadiah yang disiapkan."Apa kamu tidak ingin turun?"Zahra pun beralih menatap Ferdian, tersadar ternyata sudah sampai di rumah.Rumah siapa?Rumah keluarga Adam.Dengan rasa malas Zahra pun turun dari mobil, kakinya berjalan pelan menuju kamar."Zahra," panggil Ajeng datang dari arah dapur.Zahra
"Kamu kedinginan?"Zahra menggigil dengan keringat dingin mulai membasahi tubuh, demamnya semakin tinggi membuatnya tidak dapat memejamkan mata.Dengan sabar Ferdian mengompres air hangat, sekalipun sudah hampir subuh.Semalam Ferdian tidak tidur sama sekali, menjaga Zahra hingga akhirnya terlelap setelah merasa lebih baik.Pagi harinya Zahra pun terbangun, Ferdian pun terlelap dengan asal di samping Zahra.Rasa kantung tidak dapat terbendung lagi setelah subuh tadi.Sedangkan dari arah lainya terdengar suara ketukan pintu, sesaat kemudian gagang pintu pun bergerak.Ajeng masuk dengan senyuman merah merekah membawa sarapan pagi, sedangkan Kinanti berjalan di belakang Ajeng dengan membawa buah yang sudah dipotong-potong olehnya."Ternyata kamu sudah bangun," Ajeng pun meletakkan nampan ditangannya pada meja nakas."Bagaimana hari ini?" Tanya Kinanti ikut meletakan buah ditangannya pada meja nakas juga."Aku tidak kuat bau bubur ini," dengan cepat Zahra menuruni ranjang segera menuju ka