Suara ponsel Renata terus berdering, hingga dirinya yang terlelap dalam tidur merasa terusik. Matanya masih terlalu mengantuk apa lagi pelukan Zidan yang begitu hangat semakin membuatnya enggan untuk bangun.Akan tetapi suara ponselnya terus saja terdengar, dengan setengah kesadaran Renata pun mengambil ponselnya di atas meja nakas dan menerima panggilan tersebut."Halo," jawab Renata dengan suara khas bangun tidur."Renata, keadaan Mama kritis. Mama di larikan ke rumah sakit subuh tadi, sekarang kamu ke rumah sakit. Kakak, sedang di bandara dan sebentar lagi akan berangkat ke Indonesia," kata Sindi dari sebrang sana.Renata pun seketika kehilangan kantuknya, shock mendudukkan tubuhnya dengan selimut putih yang menutupi tubuh polos nya.Zidan pun ikut terbangun saat merasakan gerakan cepat dari Renata, melihat raut wajah yang tidak biasa membuatnya menjadi bertanya-tanya."Kakak, tahu dari mana?" Tanya Renata belum percaya dengan berita yang di sampaikan oleh Sindi, Kakak sulungnya."
"Kamu nemenin Zidan?" Tanya Kinanti yang tidak sengaja berpapasan dengan Renata di lorong rumah sakit.Renata pun tersadar dan menatap Kinanti, menghentikan langkah kakinya."Nggak, Mama di rawat. Darah tinggi Mama kambuh, pagi tadi dibawa ke sini," jelas Renata.Kinanti pun mengangguk."Begitu? Ya udah, aku ke ruangan Mas Adam dulu. Abis itu aku jenguk Tante Irma," kata Kinanti."Iya, aku juga mau ke depan dulu. Mentari minta dibelikan buah," pamit Renata.Kinanti pun mengangguk dan segera menuju ruangan Adam.Setelah selesai menjalani pemeriksaan kandungan segera menuju ruang rawat Irma.Kinanti bisa melihat keadaan Irma yang begitu lemah, terbaring di atas brankar dengan Mentari yang duduk di kursi sambil bercerita panjang lebar.Tiba-tiba saja tubuh Irma kejang-kejang hingga segera di pindahkan ke ruang ICU untuk penanganan lebih baik.Sindi pun sampai, dengan membawa ketiga anaknya.Menangis tersedu-sedu berpelukan bersama Renata tidak kuasa melihat Irma yang tengah berjuang untu
"Permisi Dok," Zahra masuk ke ruangan Zidan dengan terburu-buru, bahkan dengan napas yang terengah-engah.Sekalipun tersadar apa yang dilakukannya tidaklah sopan, masuk tanpa ijin dari pemilik ruangan tentunya tidak baik."Maaf, saya langsung masuk, Tante Irma sudah sadar dan ingin bertemu dengan anda," kata Zahra dengan suara bergetar.Zidan merasa bersyukur karena artinya keadaan mertuanya lebih baik, akan tetapi untuk apa Irma ingin bertemu dengan dirinya."Iya, saya bangunkan istri saya dulu," jawab Zidan kemudahan Zahra pun keluar dari ruangan tersebut.Zidan melihat tidur Renata masih begitu lelap, ada rasa tidak tega untuk membangunkannya. Tetapi, ini juga kabar gembira yang harus di dengar istrinya."Renata, bangun," dengan perlahan dan hati-hati Zidan pun membangunkan Renata.Mata Renata pun perlahan terbuka, dan menatap Zidan.Bangkit dari tidurnya dan duduk di samping Zidan."Aku ketiduran ya," Renata tidak menyadarinya ternyata sudah terlelap dalam sekejap saja.Zidan meng
Pakaian putih masih terpakai, selendang yang menutupi kepalanya pun masih ada. Renata duduk di sisi ranjang.Ranjang milik mendiang sang Mama, sungguh rindu yang terberat adalah merindukan seseorang yang sudah tiada.Di kamar ini, kamar yang cukup luas dengan desain modern.Semua masih seperti dulu, semua letak barang-barangnya pun masih saja sama. Irma sendiri yang menatapnya.Kenangan.Semua tinggal kenangan, sisa-sisa bayangan pun kini menjadi sebuah penghibur dalam luka yang begitu dalam.Bukan.Bukan meratapi keadaan, hanya saja butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.Mata Renata menatap bingkai foto yang terpajang pada dinding kamar, dimana ada dirinya, sang Kakak dan kedua orang tuanya.Semua sudah terbungkai rapi dengan penuh kenangan suka mau pun duka."Kamu kuat," Kinanti duduk di samping Renata, menepuk pundak wanita yang kini dilanda kerapuhan.Entahlah.Renata bahkan tidak menyadari kehadiran Kinanti di sekitarnya."Terima kasih," Renata tersenyum, merasa bersyukur kar
Sesampainya di rumah sakit Zidan pun segera melakukan observasi.Setelah itu Zidan pun menghubungi Mala yang masih berada di kediaman mendiang mertuanya.Mala belum mengetahui apa-apa, saat Serena di larikan ke rumah sakit.Zidan memilih melalui pintu belakang agar tidak mengundang kegundahan para keluarga yang masih berdua cita.Setelah mengetahui kabar Serena, segera Mala menuju rumah sakit dengan paniknya."Apa yang terjadi pada adik mu, kenapa bisa dia begini?" Mala sungguh panik melihat putri bungsunya yang berada di atas brankar rumah sakit.Serena yang periang dan juga selalu bersemangat mendadak lemah membuat hati sang Mama panik bukan main.Bukan hanya Mala yang panik, yang lainnya juga tidak kalah panik melihat keadaan Serena."Usia kandungannya sudah 2 Bulan, artinya saat kami berlibur di desa dia sedang hamil," kata Zidan menyampaikan keadaannya Serena."Hamil, dua Bulan?" Tanya Kinanti terkejut.Karena Serena terlihat baik-baik saja tanpa ada yang berubah, hingga kini tib
"Bayu sudah selesai di perban Mbak, bicara langsung dengannya saja," Alif memberikan ponsel pada pemiliknya.Bayu melihat nama Serena, tetapi suara Kinanti yang terdengar membuatnya menjadi bertanya-tanya."Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya Kinanti secepat mungkin dengan tidak sabaran."Iya, hanya sedikit yang luka," jelas Bayu.Huuuufff.Perasaan Kinanti lebih baik setelah mendengar suara Bayu.Dengan demikian artinya tidak terlalu parah."Syukurlah," Kinanti benar-benar bernapas lega saat ini.Kinanti pun beralih menatap Serena, "Ini Bayu yang bicara, kamu mau bicara padanya?" Kinanti pun memberikan ponsel pada Serena.Serena menggeleng tidak ingin berbicara sama sekali.Akhirnya Kinanti kembali mendekatkan ponsel pada telinganya."Serena, di mana?" Tanya Bayu bingung, mengapa Kinanti yang menegang ponsel istrinya."Serena, di rumah sakit. Semalam dia di larikan ke sini," Kinanti berbicara pada Bayu, tetapi matanya melihat Serena yang juga melihat dirinya.Bayu di sebrang tentu terke
Bayu pun masuk dengan perlahan, berdiri di samping brankar. Melihat tangan Serena yang terpasang selang infus, kemudian menatap wajah istrinya."Kamu sakit apa?" Bayu pun bertanya untuk memecahkan keheningan diantara keduanya."Demam," jawab Serena dengan cuek."O," Bayu pun duduk di kursi, kemudian ia diam sambil melihat wajah Serena.Ada rasa sedih menyadari dirinya sebagai seorang suami tetapi, malah mengetahui keadaan istrinya paling akhir.Sedangkan Serena memilih menutup matanya, kesal pada Bayu yang tidak memeluknya sama sekali.Dirinya juga tidak mengerjakan, tetapi dekapan hangat dan aroma tubuh Bayu sangat dirindukannya semenjak Bayu tugas dan meninggalkan dirinya di rumah sendirian.Andai saja Bayu tau setiap malam Serena tidur dengan memeluk foto Bayu, demi mengobati sedikit kerinduan yang mendalam.Atau mungkin saja Bayu sudah memiliki wanita lain di luar sana.Pikiran Serena semakin bercabang saja.Perlahan Serena pun bergerak dan memunggungi Bayu, tidak ingin berdekatan
"Salah!""Salahnya di mana?"Serena melipat kedua tangannya di dada, membuang pandangannya kearah lainya."Adek, istri Abang. Kok sekarang ngambek kan?" Bayu pun mencoba bertanya mengingat selama ini mereka tidak pernah tertutup, bahkan tanpa kode-kode.Jika ada yang membutuhkan salah satunya akan berbicara langsung.Tetapi ada apa dengan Serena saat ini? Serena sangat berbeda dengan sebelumnya."Makan ya, Abang suapin. Belum makan kan?""Nggak lapar?"Bayu pun menarik napas berat, kemudian memilih meneguk mineral milik Serena yang diletakkan di atas meja nakas demi meredam sedikit perasaan dan haus.Demi tetap tenang juga menghadapi tingkah baru Serena."Aku kan pengen di peluk, masa iya kamu nggak mau manjain istri kamu yang lagi hamil anak kamu," kesal Serena.Byur!Air di mulut Bayu tidak dapat di teguk, mendengar penjelasan Serena membuatnya menjadi terkejut."Bayu!" Seru Serena saat Bayu menyemburkan air pada wajahnya.Kesal sekali pada Bayu yang menjengkelkan, bukan perlakuan r