Tangan Renata meletakkannya di atas ranjang."Mainannya kok di buang?" Tanya Renata lagi sambil duduk di sisi ranjang dan mengelus kepala Mentari."Tari nggak mau! Kata Oma dia jahat!" Jawab Mentari sambil menunjuk Zidan.Hati Zidan tidak henti-hentinya merasakan sakit, mungkin Irma pun mengatakan sesuatu yang membuat Mentari membencinya.Renata memeluk Mentari dan mencium pucuk kepala putrinya hingga berulangkali."Mom boleh tanya sama Tari?" Tanya Renata dengan gaya bahasa anak kecil agar, mudah di mengerti putrinya yang masih kecil.Mentari pun mengangguk sebagai jawaban setuju atas pertanyaan Renata."Pernah Mom ajarkan Tari tidak sopan pada orang tua?"Mentari mendongkak menatap manik mata Renata kemudian menggeleng.Renata pun tersenyum dan kembali mencium kening putrinya."Terus kenapa Tari nggak sopan sama orang tua? Sama Daddy lagi?"Mentari beralih menatap Zidan yang juga tengah menatapnya, seakan dirinya bingung dengan penjelasan Renata."Tapi, temen-temen bilang Daddy itu
Setelah Mentari tertidur lelap Zidan pun berpamitan pulang, hatinya begitu bahagia mendengar panggilan Mentari."Daddy?" Zidan tersenyum sambil memasuki rumah kedua orang tuanya.Baru saja satu langkah kakinya menginjak lantai sudah terdengar suara Mala menyebut namanya."Zidan.""Ya Ma," Zidan berjalan menuju sofa, ikut duduk bersama Mala bersebelahan."Tadi Adam ke sini, mencari kamu. Kamu nggak ke rumah sakit?""Nggak Ma, Zidan libur," Zidan pun melihat ponselnya, ada banyak panggilan dari Adam yang tidak terjawab.Zidan memang membunyikan nada dering ponsel agar tidak menggangu Mentari saat tadi.Sampai ternyata Adam pun menghubungi tidak terjawab."Dia bilang sesuatu ke Mama?""Enggak, dia cuma nanya kamu itu saja.""Em," Zidan pun mengangguk mengerti."Zidan tunggu," Mala menarik tangan Zidan untuk kembali duduk di sampingnya.Dengan perlahan Zidan pun kembali duduk pada tempatnya."Gimana Mentari?" "Dia sudah lebih baik Ma."Mala mengangguk, "Apa kamu tidak ingin membawa Menta
"Iya, nanti aku manggil kamu Ayah. Manggil Kinan, Bunda," seloroh Renata."Ahahahhaha," Tawa kian menggelegar setelah ucapan sederhana yang di lontarkan Renata.Lama sekali tidak bertemu dan bertutur sapa seperti saat ini, setelah pernikahan terjadi semua hilang tidak seperti saat bersahabat dulu."Aku kok geli ya di panggil kamu Bunda," Kinanti pun menimpali sering dengan tawa kecil."Aku yang juga aneh mendengarnya," ujar Ferdian, yang dari tadi hanya diam saja."Ya, kan, lucu aja. Masa iya aku jadi mertua kamu, aku jadi mertua jahat aja entar," imbuh Kinanti."Fikri!" Seru Mentari dari kejauhan.Mentari yang menaiki kursi roda mulai ikut bergabung, seorang perawat yang mendorong kursi rodanya sesuai arahan Mentari."Zahra kamu di sini?" Kinanti melihat Zahra yang menjadi perawat untuk Mentari."Aku sekarang udah jadi asisten Dokter Zidan, tugas aku sekarang merawat anaknya," jelas Zahra.Zahra tentu setuju menjadi asisten Zidan, selain gaji yang menggiurkan juga bekerja lebih santa
Hari ini keadaan Mentari semakin membaik, setelah kemarin berkumpul bersama Adam, Kinanti, dan yang lainnya seakan semakin membuat Mentari bersemangat untuk proses penyembuhan.Hari ini Renata sudah kembali bekerja, beberapa hari ini pekerjaan nya terlantar. Sebab fokus mengurus anaknya.Namun saat dirinya tengah di sibukkan dengan pekerjaan tiba-tiba seorang sekertaris datang dan memberitahu ada seseorang yang ingin bertemu."Siapa?" Sejenak Renata beralih menatap sekertaris nya, menepikan pekerjaan yang kini begitu banyak di hadapan."Bapak Zidan, Bu," jelas sekretaris itu lagi."Zidan?" Renata tidak tahu entah untuk apa Zidan menemuinya, biasanya jika bertamu langsung kerumahnya dengan tujuan menjenguk Mentari."Iya Bu, boleh masuk atau?"Renata mengangguk, mempersilahkan. Dalam hidup Renata tidak pernah menghindari masalahnya, dirinya adalah wanita yang siap menghadapi apapun masalahnya agar segera terselesaikan baik seberat apapun juga.Setelah sekretaris keluar dan mempersilahka
"Iya, kenapa tidak?"Zidan terdiam mendengar jawaban Ferdian.Di sore hari Zidan, pun memutuskan untuk menemui Ferdian, di rumah sakit di mana keduanya bekerja.Sejak mendengar Mentari mengatakan bahwa Renata dan Ferdian akan menikah membuat perasaan Zidan tidak karuan.Mungkin selama ini dirinya hanya diam tanpa melakukan apapun, namun percayalah dirinya sedang tidak baik-baik saja.Ada perasaan rindu dan juga malu saat bertemu, sehingga memilih diam memberikan sebuah kenyamanan bagi Renata.Namun untuk menikah lagi dengan orang lain Zidan belum bisa melepaskan Renata, sebab dirinya bukan memberikan kebebasan. Melainkan waktu untuk Renata siap kembali padanya.Kini di dalam ruangan yang tidak terlalu luas ini, Zidan dan Ferdian saling bertatapan. Duduk di kursi dengan meja sebagai pembatas.Tatapan mata Zidan masih mengarah pada Ferdian, seorang dokter jiwa yang mampu membaca sedikit banyaknya pikiran Zidan.Lama keduanya diam sampai akhirnya Zidan kembali bersuara."Aku masih suamin
"Dia itu adalah laki-laki paling bodoh yang aku temui sepanjang perjalanan hidup ku," kata Ferdian."Apa kau tetap melanjutkan perjodohan mu dengan Renata?" Kali ini Adam yang bertanya pada Ferdian.Ferdian tersenyum tanpa menjawab pertanyaan tersebut."Kenapa kau, hanya diam?" Tanya Adam lagi."Aku sudah tertarik pada wanita lain, biar saja Zidan menganggap bahwa aku mencintai Renata," Ferdian tersenyum penuh kemenangan.Adam pun mengangguk setuju."Aku, tau dia itu sangat mencintai Renata, aku pun tidak masalah selagi keduanya bisa bahagia," Adam tersenyum tulus mengenang persahabatan mereka."Tapi aku kasihan pada Renata, kalian bertiga bersahabat, tapi malah sama-sama memiliki hubungan khusus."Adam membenarkan apa yang dikatakan oleh Ferdian."Tapi kami sama-sama tidak menyangka ini bisa terjadi, aku tidak menyalahkan Renata maupun Zidan."Ferdian merasa tertarik dengan ucapan Adam hingga ia menatap penuh tanya."Kau tidak menyalahkan Zidan ataupun Renata?" Tanya Ferdian cepat.A
Pagi ini mendung menyelimuti bumi, hujan rintik-rintik turun membasahi dedaunan.Tetapi tidak dengan Mentari yang terlahir dari rahim Renata.Senyum manisnya terus terlihat seiring dengan kebahagiaan yang terasa.Hari ini dirinya sudah berdiri tegak tanpa menggunakan kursi roda, artinya sesuai janji Renata yang akan mengabulkan keinginannya."Mom, hari ini kita jadikan foto keluarga nya?" Tanya Mentari dengan antusias."Jadi," Renata sudah menyisihkan waktu untuk anaknya, Mentari adalah hal utama dan segalanya."Daddy mana ya Mom?" Mentari membuka gorden, melihat melalui jendela kaca memastikan apakah mobil Zidan sudah berada di halaman.Wajah Mentari berubah murung, satu jam lamanya menunggu Zidan belum juga sampai."Daddy mu itu tidak akan bisa membuat mu bahagia, dari dulu sampai sekarang dia sama saja!" Ujar Irma, kemudian ia pergi begitu saja.Mentari menatap Renata dengan bertanya, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Irma."Kita tunggu Daddy, mungkin Daddy sedang ada ur
Setelah lelah jalan-jalan seharian penuh, akhirnya Mentari pun terlelap di pangkuan Renata, mungkin tidak semua keinginannya terpenuhi, tetapi mungkin sebagian besarnya sudah dirasakan oleh nya.Setiap teman-temannya bercerita keseruan saat liburan bersama kedua orang tuanya kini di rasakan oleh Mentari.Berjalan sambil memegang tangan kedua orang tuanya, berbelanja boneka kesukaannya. Bermain bersama di pusat perbelanjaan.Satu kilometer lagi sudah sampai di rumah, tapi Zidan malah menepikan mobilnya.Renata beralih menatap kearah Zidan, bertanya-tanya mungkinkah mobil itu mogok."Aku ingin bicara," ujar Zidan menatap Renata.Renata mengangguk menunggu hal yang akan dikatakan oleh Zidan."Apa kamu belum memaafkan aku?" Tanya Zidan dengan penuh hati-hati.Renata diam tanpa kata, hanya bulu matanya yang bergerak beberapa kali.Itu bukan jawaban membuat Zidan semakin merasa bersalah.Kini Renata jauh berbeda dari dahulunya yang selalu periang dengan banyaknya ocehan dari mulutnya.Zidan