422. Lanjutan
Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Ingin menghentikannya, tetapi saat kejadian tadi pagi terlitas, bibir ini membentuk lengkungan dengan sendirinya. Tadi, kami bergegas merapikan diri. Puncak yang hampir tercapai, terpaksa disudahi.Kebiasaan Denish dan Anind, kalau akan berangkat sekolah aku tekankan untuk pamit. Nah, saat ini justru menjadi bumerang bagi kami. Denish dan Anind tidak akan berhenti mengetuk pintu sebelum aku keluar kamar. Terlebih kalau dia tahu mama dan papinya di rumah. "Ma-maaf, Bu Rani, Tuan. Adek tidak mau berangkat kalau belum salim," ucap Mbak Tias dengan tergagap. Matanya terlihat kaget, kemudian menunduk. Sibuk merapikan tas bawaan mereka. "Eis dan adek belangkat sekolah, Mam, Pappi," ucap Denish diikuti adiknya, kemudian cium tangan. "Belajar yang rajin, ya.""Ciap, Pappi!" sahut mereka cepat. Wajah suamiku yang tadinya penuh senyuman, kembali datar setelah membalas lambaian tangan kedua balitaku itu. Pintu kamar tertutup kembali. Langkah Mas Suma t
Leer más