Benda mati di sekitar kita, sering kali menjadi monumen. Pengingat akan masa lalu. Baik kejadian baik, terlebih kejadian buruk. Seperti yang dialami Wisnu. Dia menceritakan bagaiman tersiksanya dia saat menapaki tangga, atau melangkahkan kaki ke lantai atas. Tempat kamar yang aku huni bersama Mas Bram dulu.Baginya, kenangan buruk lebih menyiksa, sampai-sampi lantai atas dia tutup. Dan sekarnag, dia berniat tidak meninggali rumah itu.“Aku tidak bisa berpikir, Mas. Tidak bisa konsentrasi. Mauku, aku tinggal di apartemen walaupun sesekali tetap ke rumah itu. Kalau perlu, rumah aku rombak menjadi gallery atau menjadi kantor nantinya. Cuma, kalau settingnya masih seperti dulu, bayangan Mama dan Papa masih mengusik kepalaku,” ucapnya membuatku mendesah.Merasa bersalah karena sudah meninggalkan kenangan buruk kepada anakku ini.“Kamu sudah bicara dengan Papa tentang ini dan dia tidak memberi izin karena apa?” tanyaku penasaran.“Papa Bram bilang, dia tidak rela kalau kenangan manis keluar
Mumpung di kota ini, aku coba menghubungi dia. Sekarang akhir pekan, siapa tahu dia ada di kota ini. Anggap saja bertegus sapa sebagai teman lama.[Rima. Ini Wisnu. Bagaimana kabarmu] Pesan aku kirim. Mataku tidak beranjak dari layar ponsel. Dari centrang satu, kemudian centrang dua.Huft, warna tidak kunjung berubah menjadi biru. Pertanda pesanku tidak dibaca, atau justru diabaikan? Mungkin saja pesanku hanya sebagai pengganggu semata.Tanganku terulur, meletakkan ponsel di atas nakas. Lebih baik aku tidur daripada berkutat pada rasa yang tidak jelas.Aku akui, dia tidak sekadar cantik. Saat di kampus dulu, aku pernah dipasangkan untuk menari. Konsep kami tentukan bersama, termasuk gerakan. Sedangkan costum, dia yang menentukan. Baju yang dia kenakan pas di tubuhnya yang indah. Walaupun terkesan seksi, tetapi tidak vulgar. Rambut dia ikat tinggi, menunjukkan leher jenjang putih, yang terlihat indah.Masalahnya saat itu, baju bagian atas dirancang dieratkan dengan tali yang harus dii
"Mas Wisnu! Tidak menyangka bertemu di sini!" seru Rima dengan rasa senang yang terlihat nyata. Matanya berbinar dan senyuman merekah sempurna. Dia langsung menarik kursi untuk bergabung dengan mereka, setelah memesan minuman."Kamu sendirian?" tanya Wisnu melihat gadia cantik itu sekilas, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagaimana tidak masih kesal, baju yang sudah minim tadi sekarang terlihat basah karena keringat dan menjiplak apa yang ada dibaliknya."Sama Papa dan Mama. Cuma mereka berada di resto. Eh, adik cantik ini siapa? Kakaknya Mas Ten itu, ya?" seru Rima setelah menoleh ke arah Amelia. Wajahnya menunjukkan senyuman ramah dan disambut anggukan Amelia."Rima. Temannya Mas Wisnu alias Mas Ten," ucap Rima memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangan.Amelia melirik Wisnu, kemudian menyambut uluran tangan Rima. "Amelia. Adiknya Kak Wisnu."Wisnu melihat sekilas mereka, kemudian kembali menyesap minuman yang tertinggal setengah gelas itu. Wajahnya yang semula suda
Ini pertemuan yang mengaitkan hubungan pertemanan yang sempat terjeda. Bukan untuk berniat membangun kisah romansa yang pernah aku rasa, karena itu belum tentu benar adanya. Bukankah terlalu tinggi meletakkan harapan hanya membuang waktu saja? Bahkan memperlebar kemungkinan kecewa dengan kenyataan yang belum tentu berpihak padanya. “Kak Wisnu harum.” Amelia tetap mengikutiku sampai garasi, walaupun sudah bersedia untuk di rumah membantu Mama. Tentu saja dengan iming-iming masak bareng. Katanya mereka akan membuat lasagna. Tanganku yang akan membuka pintu mobil terhenti, saat mendapati Amelia menatapku dari kepala sampai ujung kaki. Tangannya bersendekap dengan kepala dimiringkan. Matanya memicing dengan bibir menyunggingkan senyum. “Ada apa, Mel.” “Kak Wisnu dandan, ya?” “Dandan apaan, sih. Enggak, ah! Memang kamu. Kalau keluar harus ini dan itu.” “Sama kayak Kak Wisnu sekarang,” ucapnya kemudian dia mendekat. “Tuh, mukaknya jadi bening, rambut juga pake pomade. Hmm, bibirnya K
“Kak. Bagaimana? Cerita, dong.” Amelia sudah menghadang di depan pintu. Dia senyum-senyum dengan alis mata yang digerak-gerakkan ke atas.‘Ngeselin!’“Apaan, sih. Anak kecil tidak boleh kepo! Nih, pesenanmu.”Satu kantong berisi makanan pesanannya, aku serahkan. Matanya langsung berbinar dan senyumnya merekah sempurna. Dengan cepat, kantong berpindah tangan. Dia menghidu dalam-dalam sambil memejamkan mata, saat tas berisi makanan dibuka. Aroma pizza dan ayam goreng, menyeruak keras, dan terselip bau coklat pekat dari satu slice chocolate mude cake.‘Dasar Amelia tukang makan. Ingin diet, tapi remnya blong kalau menyangkut makanan,’ gerutukku dalam hati, sambil meneruskan langkah.Bukannya menikmati makanan pesanannya, Amelia justru mengekori aku sambil mencecar pertanyaan. “Tadi ketemu dengan Kak Rima?”“Iya.”“Kak Rima tambah cantik, Kak?”“Hu-um.”“Trus ngapain?”“Ngobrol.”“Cie … cie …. Yang habis ketemuan sama cewek cantik,” ucapnya sambil tertawa.“Apaan, sih, Mel.”“Kok lama b
“Anak Papi ternyata sudah besar!”Setelah membuka pintu, yang aku dapati tidak hanya Mama, akan tetapi ada Papi Suma yang menatapku dengan senyuman. Dengan pasrah aku digiring ke ruang tengah.Mata ini menangkap Amelia yang asyik makan ayam goreng. Dengan menampilkan senyuman, dia menaruh makanannya ke nampan dan berpindah ke teras belakang. Aku mengernyit, melihat gelagat Amelia yang mencurigakan ini.“E, maksud Papi apa? Kok tiba-tiba bilang seperti itu? Wisnu kan memang sudah besar,” jawabku masih menerka-nerka. Otakku mulai bergulir, jangan-jangan Amelia mengatakan yang tidak-tidak. Apalagi wajah Papi Suma dan Mama yang senyum-senyum.“Sudah besar usianya saja. Akan tetapi dalam hidup itu kan ada step-stepnya, nah hari ini sepertinya Wisnu sudah melangkah ke step berikutnya.”“Papi apaan, sih. Wisnu kan__”“Tidak usah rahasia-rahasiaan sama Papi,” sahutnya sambil menerima teh hangat yang disodorkan Mama. “Ya, Ran?”“Mama dan Papi ikut bahagia kalau Kak Wisnu sudah menentukan pil
Hampir tengah malam aku tidak bisa tidur. Padahal jadwal pesawatku pukul enam pagi. Ini berarti setelah subuh, aku harus langsung bersiap karena pukul lima harus berangkat. Yang dikatakan Mama, Papi Suma, dan Rima, bergantian muncul di kepala. Terus terang aku benar-benar bingung dengan perasaanku. “Mas Wisnu tidak suka sama aku?” ucap Rima dengan sorot mata meredup. Keceriaan yang terlihat diawal pertemuan kami mulai memudar. Ini yang yang tidak aku inginkan. Untuk apa menjalin sebuah hubungan, kalau hanya menimbulkan kesedihan. Aku ingin gadis di depanku ini selalu berbinar dan tersenyum lebar. Mampukah aku melakukan hal ini? “Justru aku suka, bahkan sangat suka. Kamu cantik, pintar, dan teman yang asyik untuk mengobrol. Kitapun punya hobi yang sama,” ucapku kemudian menghela napas. Mengambil jeda untuk mencari kata-kata yang tepat. “Ini bukan karena kamu Rima, tetapi karena aku yang belum mampu. Aku kawatir tidak bisa memberimu kebahagiaan. Aku__” “Aku bahagia saat bersama den
Dulu aku sering kesal kalau Ibuk selalu memberiku wejangan ini itu yang diulang-ulang. Apalagi saat tahu aku berhubungan dengan Mas Bram tidak sekadar teman.“Ibuk tidak percaya dengan Rani? Saya itu sudah besar dan tahu mana yang benar dan salah. Tidak mungkin Rani menghancurkan masa depan,” ucapku saat itu. Kala itu aku dan Mas Bram masih sama-sama kuliah.Namun, namanya seorang ibu tidak berhenti, justru bertambah dengan nasehat yang lain-lain.“Nduk. Ibuk ini kawatir. Jaga sikap dan lisan. Jangan sampai menyakiti hati laki-laki, walaupun statusnya pacar. Dalamnya laut bisa dilihat, tetapi isi hati tidak bisa ditebak. Tuh, lihat ini,” ucapnya sambil menunjukkan koran.“Pelaku kejahatan itu sering kali berasal dari orang dekat. Ini malah pacarnya yang melakukan kejahatan. Tahu tidak gara-gara apa? Sepele. Cuma salah omong, kemudian sakit hati,” jelasnya dengan tatapan kawatir.Saat itu sebenarnya aku sungguh tidak terima, walaupun hanya dalam hati. Ucapan Ibuk seakan tidak percaya k