"Kampungmu indah! Udaranya sejuk dan membuatku terasa damai!" Tuan Kusuma merentangkan tangannya dengan mata terpejam dan menghirup dalam-dalam udara segar ini. Silir-silir angin menyibak rambutnya yang sempat terkulai dikening. Setelah insiden Amelia kecebur ke sawah, Tuan Kusuma sempat marah ke Amelia dan Wisnu. Seperti biasa, alasan keselamatan. Kecemasan memang menandakan kasih sayangnya, tetapi kalau berlebihan sering membuat kita tidak nyaman.Untung Amelia sudah kebal akan hal itu. Malah dia antusias bercerita pengalaman yang tidak terlupakan itu, tanpa memperdulikan wajah marah papinya."Papi! Papi rugi deh, kalau tidak keliling kampung. Bagus banget! Sama Tante Rani, aja, jalan-jalan!" Dengan baju kedodoran milik Wisnu dia asyik saja memaksa untuk adventure berikutnya, ke peternakan ayam Eyang Sastro. Awalnya Tuan Kusuma keberatan, tetapi akhirnya memberi ijin setelah mereka pergi diantar Paklik Totok."Rani! Kamu sering ke sini, ya?!" tanya Tuan Kusuma mengagetkanku. Dia
"Mas Suma, ke-kenapa? Jelek ya?" tanyaku ragu."Bahaya kamu, Ran!" ucapnya tiba-tiba."Maksudnya?" tanyaku heran. Aku dekatkan dudukku ke arahnya. Tak sabar aku ingin tahu, apa yang dia maksud."Ternyata, kalau kamu dibiarkan bisa melesat seperti anak panah. Itu yang saya takutkan!"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan. Ditariknya dudukku lebih mendekat. Mungkin wajahku kelihatan ketidakmengertianku."Lihat ini, kamu membuat sesuatu yang sederhana, tetapi diluar dugaan orang lain. Yang gilanya lagi, tidak hanya sekedar indah tetapi usefull! Good job! Ini baru Maharaninya Kusuma," katanya sambil memelukku erat. Hmm, belum apa-apa sudah menambahkan namanya. Aku tersenyum lega menyambutnya. Semoga kerja kerasku berhasil."Besuk, kita mulai produksi sampelnya. Masih cukupkan waktunya?" bisiknya dengan lembut. Dikecup keningku dengan lembut. Kami tersenyum bersama, satu langkah terlewati.Kerja kalau ditemani orang terkasih memang membuat lebih semangat. Apalagi dapat du
Bab 43. I Love You-------------"Siapapun itu, termasuk perempuan akan 'melesat maju' apabila diberi kesempatan dan dukungan"-------------"Papi! Tante Rani! Kok, tidur di sini?!" Samar-samar terdengar suara memanggil namaku. Tanganku seperti ada yang menarik-narik. Aku mengerjapkan mata yang masih terasa berat."Tante Rani!" Suara itu terdengar lagi.Amelia? Kenapa dia di sini? Terus aku di mana?Astaga ....Aku, tepatnya aku dan Tuan Kusuma masih berada di teras rooftoop!Terakhir, yang aku ingat kami menerima kabar kemenanganku di kompetisi itu. Kami sama-sama menangis bahagia."Mas Suma! Akhirnya, saya bisa melangkah lega di sampingmu. Ya, Allah, terima kasih!" teriakku bahagia. Air mata meluncur dengan sendirinya, air mata bahagia yang sebelumnya tertahan dengan rasa cemas dan takut.Semua diluar dugaanku, berbekal ilmu yang aku punya, kemauan dan pastinya hati, ternyata menghasilkan karya yang layak diappresiasi."Rani, akhirnya kamu akan menjadi wanitaku! Kamu tahu tidak.
Pov. Maharani'Tring'[Mama, selamat ya. Wisnu tambah bangga sama mama][Temen2ku titip selamat juga][I love you, Mama]Pesan masuk dari Wisnu ke ponselku.'Tring'[Maharani, selamat ya. Semoga Sukses]Pesan masuk dari Jenifer. Dan, beberapa pesan senada dari Sintha, Emilya dan lainnya."Ponselmu dari tadi bunyi terus, Ran?" tanya Tuan Kusuma kepadaku. Kami baru selesai makan bersama, berdua saja. Amelia sudah berangkat ke sekolah pagi tadi. Dan, Tuan Kusuma entah kenapa dia masih di rumah. Katanya, masih ingin menemaniku."Ini pesan dari Wisnu, Jenifer, dan lainnya. Mereka kok tahu ya? Saya malah belum kasih kabar apapun kepada mereka. Kok bisa, ya?" tanyaku balik ke dia. Baru tadi malam, pengumumannya kok pagi sudah pada heboh. "Maharani, Sayang. Itu namanya kekuatan internet. Apalagi, kamu membawa nama Indonesia. Pastilah, jadi trending topic. Siapa saja yang sudah kirim selamat? Bramantya juga? Kok tidak bilang?" tanyanya sambil melirik tajam kepadaku. Nadanya sih biasa, teta
"Rambutnya dikepang bagaimana?" tanyaku kepada Amelia. Kami siap-siap untuk makan di luar bertiga, aku, Amelia dan Tuan Kusuma. Tadi Tuan Kusuma sempat bilang, kami disuruh memakai baju casual yang sesuai untuk acara outdoor."Tante, maunya dikepang dua. Yang dari atas sampai bawah dan nempel di kepala itu, lo. Seperti ini," ucapnya dengan menunjukkan foto dari internet di ponselnya. Aku sisir berlahan rambutnya, dia sangat senang perlakuanku yang seperti ini. Dia bilang, hal ini sudah diimpikannya dari dulu, serasa punya mama yang sebenarnya. Disisir seorang mama, terasa nyaman, katanya."Sudah sayang, seperti ini, ya. Amelia cantik!" ujarku sambil mencubit lembut pipinya yang agak gembul.Dia menggunakan baju warna pink berenda putih dengan celana lebar selutut. Kelihatan feminim, energik dan sesuai dengan umurnya. Dipadukan dengan sepatu putih berpita kecilAku menggunakan dress tumpuk kain transparan yang longgar dibawah lutut warna krem. Semua kiriman dari butik Claudia ini ber
"Woi ... ! Indahnya"Amelia lari mendahului kami. Ternyata Tuan Kusuma, tadi siang pergi untuk mempersiapkan makan malam kami ini. Dia sudah mulai bersikap romantis. Usaha yang luar biasa untuk seorang Kusuma yang benci dengan urusan picisan seperti ini.Di taman dengan padang rumput dan tumbuhan yang rimbun. Kami disambut indahnya lilin-lilin dipasang dibeberapa sudut. Suasana romantis mulai menyeruak dan diperkental dengan rangkaian bunga dan lilin yang menjadi arah jalan kami.Amelia berjalan di depan kami dengan girangnya. Tanganku digenggam lembut oleh Tuan Kusuma. Kami berjalan berlahan dan bermuara di sesuatu yang tak kalah indah.Sebuah pondok kecil yang dipenuhi dengan rangkaian bunga yang dililit di tiang dan atapnya. Bunga tergantung jatuh di atas kami dengan diselingi cahaya kecil disela-selanya.Indah sekali.Kami duduk bertiga. Senyuman terpancar di wajah kami."Sekarang, adalah syukuran untuk Maharani calon istriku ...," kata Tuan Kusuma terpotong teriakan Amelia."Dan
Ada yang bilang, 'kalau jatuh cinta, dunia seakan milik berdua,' memang benar, sih.Seperti kami, sekarang ini!Entah berapa lama, kami terhanyut dengan indahnya kebersamaan ini. Sampai kembang api sudah tidak tampak jejaknya di langit, kami masih merasakan debarnya kebahagiaan ini."Mas Suma! Amelia?!" teriakku tersadar. Kami hanya berdua di sini, kemana anak itu? Malam sudah mulai larut. Kekawatiranku mulai menghantui, dia kan anak yang ceroboh. Kenapa dia belum kembali? Jangan-jangan?Telapak tanganku langsung terasa dingin. Memikirkan yang tidak-tidak."Mas!" teriakku memegang tangannya. Dia malah tersenyum melihat reaksiku. Reaksinya tidak seperti biasanya.Ada apa ini? Seperti ada yang tersembunyi di balik senyumnya. Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia mulai pintar menyembunyikan sesuatu. Tapi apa itu?"Tidak usah kawatir sama Amelia. Mereka ada di sini, kok," ujarnya senyum-senyum lagi.Aku semakin bingung. Mereka?Maksudnya?Tiba-tiba, ada nyala lampu yang mulai mene
Dia memandangku minta penjelasan, aku jawab dengan gelengan kepala. Kami merasa sebentar lagi, kami akan disabotase mereka. Ibu dan Nyonya Besar.Mereka kalau ada maunya sama-sama keras kepala."Suma! Jeng Sastro itu, orang Jawa Kulon. Punya adat yang kental. Mulai sekarang, calon pengantin harus dipingit!" kata Nyonya Besar."Pingit! Apa itu?" Tuan Kusuma semakin bingung."Nak Kusuma, dipingit itu artinya. Kalian sebagai calon pengantin, dilarang bertemu sampai hari penikahan," jelas Ibuku dengan sabar.Tuan Kusuma semakin terkejut. Dia tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Dia langsung berpaling ke arah Nyonya Besar."Ibu, jangan pisahkan kami. Saya harus bagaimana? Saya sudah terbiasa makan dan minum yang disiapkan Rani. Kalau tidak boleh bertemu, saya bingung. Siapa yang ngurus saya? Saya tidak mau!" protes Tuan Kusuma."Suma! Ini sudah aturan adat! Kalian tidak boleh berhubungan apalagi bertemu! Termasuk telpon-telponan, apalagi video call. Tidak boleh!" teriak Nyonya Besar