Suami istri seharusnya saling jujur dan terbuka. Yang aku lalukan sekarang, hanya menggeser waktu bicara sedikit mundur. Tidak berniat menyembunyikan selamanya, hanya menunda berterus terang.Saat waktunya tiba, aku pasti mengaku kepada suamiku kalau Pak Tiok mendampinginya atas skenarioku. Meskipun, kenyataannya Mas Suma sendiri lah yang memilihnya.[Semua sudah selesai tanpa ada korban. Dia sudah diamankan] pesan dari Pak Tiok.Hati ini merasa lega dan aman. Satu bahaya sudah diselesaikan. Sahabatku itu memang bisa diandalkan. Sekarang, waktunya kembali berkonsentrasi kepada anak-anak.Wisnu sudah menemukan jalannya. Dari ucapannya, dia sudah bisa memilih dan merencanakan masa depan. Aku tidak terlalu mengkawatirkan dia.Tinggal Amelia yang sebentar lagi masuk ke perguruan tinggi. Akhir-akhir ini dia sibuk mengumpulkan data-data jurusan dan perguruan tinggi. Tidak ada satu yang menonjol yang dia suka. Derajat kesukaannya sama.“Mama di rumah?” Amelia yang baru masuk rumah, terliha
“Kak Wisnu boleh! Kenapa aku dilarang!” teriak Amelia kemudian berlari meninggalkan kami. Menyusul berdebum bunyi pintu yang ditutup keras.Segala alasan yang diutarakan Amelia tidak ada yang mampu membuka pikiran Mas Suma. Keputusannya tetap. Dia tidak diperbolehkan sekolah di kota itu.Perbincangan tadi antara mereka berdua. Aku yang sebenarnya ingin menengahi, tidak mendapat kesempatan dan akhirnya menjadi penonton.“Tidak ada pilihan yang lebih bagus, apa? Kenapa bukan jurusan yang mendukung perusahaan Papi? Malah mau ambil komunikasi. Itu sekolah untuk karyawan, Mel.”“Tapi Amelia suka, Pi. Amelia juga mempunyai rencana setelah lulus,” ucapnya kemudian menceritakan keinginannya seperti yang diutarakan kepadaku tadi. Terlihat sekali dia berusaha menjelaskan supaya Mas Suma mengerti. Namun, sekali lagi suamiku itu melontarkan alasan lainnya.“Kenapa harus cari sekolah jauh dari rumah, sih. Di sini juga banyak.”“Tapi, Pi. Jurusan yang Amel suka dan yang terbaik ada di sana.”“Tidak
Saat anak masih kecil, kita menggenggam erat tangannya. Kita menuntun ke jalan yang benar, dan memberikan pelukan saat dia merasa tidak nyaman. Namun, saat mereka sudah beranjak dewasa, kita dituntut rela untuk melepaskan dia untuk mulai belajar menghadapi hidup yang sebenarnya.Pintu kamar aku ketuk sebelum kubuka pelan. Amelia yang sedang duduk menghadap meja belajar menoleh ke arahku.“Sayang, Mama boleh masuk?”Dia mengangguk pelan, kemudian menyodorkan kursi di sebelahnya. Senyum ceria tidak aku dapati, justru mata sembab dan raut wajah sedih. Di atas meja, aku dapati kertas yang penuh dengan coretan. Kebiasaannya saat kesal.“Kak Amel masih marah?”Dia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Tangannya kembali memainkan bolpoin, menambah penuh coretan yang sudah tidak ada tempat kosong. Kepalanya menunduk. Sebegitu inginnya dia dengan rencana yang dilontarkan kapan hari.Yang membuatku lebih terkejut, kertas di depannya menangkap tetesan air mata. Tinta memudar seiring dengan su
Masalah akan ada penyelesaian apabila dibicarakan. Membiarkan tanpa ada upaya, memang terlihat seperti sudah teredam. Namun, bisa jadi justru berkembang liar dan menimbulkan masalah baru.“Jadi Papi memberikan izin ke Amel?” teriak Amelia seperti tidak percaya.Matanya seketika berbinar dan dipermanis dengan senyuman yang menyembang. Jemari yang ditangkupkan tadi, sekarang diulurkan sambir menghampur ke dalam pelukan Mas Suma. Bertubi-tubi dia mencium pipi Papinya, seakan lupa dia sudah bukan anak kecil lagi.Mas Suma yang kewalahan, menatapku sambil mengerlingkan mata. Terlihat dia juga bahagia sebahagia anak gadisnya. Senyumku pun mengembang dengan lega. Perselisihan mereka akhirnya ada titik temu, walaupun belum final.Gara-gara insiden majalah kebalik itu, suasana yang sebelumnya kaku menjadi cair. Mas Suma berbincang dengan santai. Gaya sok arogan yang sepertinya dia rencananya, sukses batal.“Kamu yakin dengan pilihanmu?” Itu yang ditanyakan Mas Suma tadi. Dia tidak banyak bert
Kebebasan itu bukan berarti tidak ada aturan, tetap dalam pengawasan. Itu yang dinamakan bebas dalam batasan. Begitu juga mandiri, bukan berarti hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. Namun, ini berarti harus bisa mengatur apa yang akan kamu lakukan tanpa disuruh orang lain.*Yang membuat jengah Amelia, karena Mas Suma akan menggaet perusahaan keamanan seperti yang diperlakukan di rumah ini. Kemana-mana harus ada pengawalan. Ini tidak ada bedanya dengan tahanan.“Papi! Kalau seperti itu kan Amel malu ke teman-teman nanti. Seperti siapa saja.”“Loh, kamu kan anak Papi. Ya harus seperti itu. Biar aman, Mel.”“Tapi, Pa. Bukan segitunya menjaganya. Amel tahu Papi sayang, tapi kalau begitu kan berlebihan. Seperti drama Korea saja.”“Ya itu kamu tahu. Supaya kamu menjiwai juga. Katanya ingin bikin tontonan seperti orang sono.”Hmm…. Berdebat dengan Mas Suma tidak ada menangnya. Kalau dibiarkan, sampai malam dan pagi lagi, mereka tidak akan selesai. Aku harus mencoba menengahi.“Yang
“Amel kan tidak mau jadi perawan tua,” celetuk Amel saat kami berbincang berdua.Seperti menyerahkan panggung, suamiku itu langsung masuk kamar meninggalkan kami berdua. Sengaja aku mengambil dua potong cake coklat untuk kami berdua, dan dua coklat panas yang mengeluarkan uap menenangkan. Aku ingin menggali apa yang ada di kepala anak gadisku ini.“Kak Amel sebenarnya ingin jauh dari rumah, untuk mencapai apa yang diinginkan kemarin, atau … karena di rumah merasa terkekang?” Mata ini menatapnya lekat. Mencari tahu apa yang sebenarnya.“Karena cita-cita Amel, lah, Ma. Tapi, kalau nanti ketemu jodoh, masak ditolak?” ucapnya sambil menangkup mug-cangkir besar-dengan minuman coklat yang mulai menghangat.Dia menyesap sedikit, kemudian melanjutkan bicara. “Amel kan ingin juga seperti di cerita-cerita atau di lagu-lagu. Jatuh cinta dan pacaran. Memang tidak boleh ya, Ma?”Aku menunjukkan senyuman dan mengusap lembut rambutnya. Gadis kecil yang dulu aku dapati, menjelma menjadi remaja yang b
Bicara dengan anak zaman sekarang, sering kali diakhiri dengan pertanyaan berawalan ‘kenapa’. Berbeda dengan zaman dulu yang ditanggapi dengan jawaban ‘iya’.Anak sekarang kalau penjelasan tidak masuk di otaknya, apa yang kita bicarakan dianggap angin lalu. Walaupun dipaksa menjawab iya, sejatinya masih ada keraguan di kepalanya. Seperti Amelia sekarang yang mempertanyakan jodoh itu bagaimana?Mau tidak mau, aku memutar otak dan mengingat apa yang pernah aku baca. Aku ingat, seorang pemuka agama menyatakan kalau jodoh itu takdir yang bisa diubah. Karena, jodoh dikukuhkan berdasarkan usaha dari makhluknya. Itu berbeda dengan kematian yang sudah ditetapkan sebelum lahir.“Begini, Amelia Sayang. Kamu bilang, lelaki yang tersisa itu yang selevel. Benar, kan?”“Iya.”“Jodoh itu takdir artinya begitu. Kalau kamu orang pintar, kamu akan dipertemukan dengan orang pintar juga. Begitu juga kalau kamu orang sukses. Makanya, untuk mendapatkan jodoh yang berkualitas seperti keinginanmu, kamu haru
Aku berusaha tidak menambah beban pikiran istriku. Dia sudah mengurus keperluan anak-anak, rumah, termasuk aku. Belum lagi Wisnu dan Amelia. Walaupun mereka sudah beranjak dewasa. Justru disaat itulah memerlukan pengawasan lebih ketat. Seringkali, aku angkat tangan menasehati mereka, terutama Amelia. Belum lagi urusan gallery. Memang sekarang sudah tahap pemasaran dan produksi, yang sudah dihandle oleh Aitu dan teamnya. Namun, tetap saja Maharani turun untuk mengawasi sekadar mengarahkan. Bukankah semua itu memerlukan pikiran? Sebenarnya, aku ingin berbagi cerita dengan Maharni tentang Patrick ini. Bagaimanapun, ini ada sangkut pautnya dengan Dewi, yang secara tidak langsung berhubungan dengan anakku, Amelia. Akan tetapi, bukankah ini semakin membebani Maharani? Karenanya, rencanaku untuk bercerita dengannya, aku tangguhkan setelah urusan Wisnu dan Amelia mereda. Siang ini, kantor sibuk sekali. Dead line pengiriman pertama sudah dekat. Aku melakukan pertemuan seperti yang dilakuk