“Amel kan tidak mau jadi perawan tua,” celetuk Amel saat kami berbincang berdua.Seperti menyerahkan panggung, suamiku itu langsung masuk kamar meninggalkan kami berdua. Sengaja aku mengambil dua potong cake coklat untuk kami berdua, dan dua coklat panas yang mengeluarkan uap menenangkan. Aku ingin menggali apa yang ada di kepala anak gadisku ini.“Kak Amel sebenarnya ingin jauh dari rumah, untuk mencapai apa yang diinginkan kemarin, atau … karena di rumah merasa terkekang?” Mata ini menatapnya lekat. Mencari tahu apa yang sebenarnya.“Karena cita-cita Amel, lah, Ma. Tapi, kalau nanti ketemu jodoh, masak ditolak?” ucapnya sambil menangkup mug-cangkir besar-dengan minuman coklat yang mulai menghangat.Dia menyesap sedikit, kemudian melanjutkan bicara. “Amel kan ingin juga seperti di cerita-cerita atau di lagu-lagu. Jatuh cinta dan pacaran. Memang tidak boleh ya, Ma?”Aku menunjukkan senyuman dan mengusap lembut rambutnya. Gadis kecil yang dulu aku dapati, menjelma menjadi remaja yang b
Bicara dengan anak zaman sekarang, sering kali diakhiri dengan pertanyaan berawalan ‘kenapa’. Berbeda dengan zaman dulu yang ditanggapi dengan jawaban ‘iya’.Anak sekarang kalau penjelasan tidak masuk di otaknya, apa yang kita bicarakan dianggap angin lalu. Walaupun dipaksa menjawab iya, sejatinya masih ada keraguan di kepalanya. Seperti Amelia sekarang yang mempertanyakan jodoh itu bagaimana?Mau tidak mau, aku memutar otak dan mengingat apa yang pernah aku baca. Aku ingat, seorang pemuka agama menyatakan kalau jodoh itu takdir yang bisa diubah. Karena, jodoh dikukuhkan berdasarkan usaha dari makhluknya. Itu berbeda dengan kematian yang sudah ditetapkan sebelum lahir.“Begini, Amelia Sayang. Kamu bilang, lelaki yang tersisa itu yang selevel. Benar, kan?”“Iya.”“Jodoh itu takdir artinya begitu. Kalau kamu orang pintar, kamu akan dipertemukan dengan orang pintar juga. Begitu juga kalau kamu orang sukses. Makanya, untuk mendapatkan jodoh yang berkualitas seperti keinginanmu, kamu haru
Aku berusaha tidak menambah beban pikiran istriku. Dia sudah mengurus keperluan anak-anak, rumah, termasuk aku. Belum lagi Wisnu dan Amelia. Walaupun mereka sudah beranjak dewasa. Justru disaat itulah memerlukan pengawasan lebih ketat. Seringkali, aku angkat tangan menasehati mereka, terutama Amelia. Belum lagi urusan gallery. Memang sekarang sudah tahap pemasaran dan produksi, yang sudah dihandle oleh Aitu dan teamnya. Namun, tetap saja Maharani turun untuk mengawasi sekadar mengarahkan. Bukankah semua itu memerlukan pikiran? Sebenarnya, aku ingin berbagi cerita dengan Maharni tentang Patrick ini. Bagaimanapun, ini ada sangkut pautnya dengan Dewi, yang secara tidak langsung berhubungan dengan anakku, Amelia. Akan tetapi, bukankah ini semakin membebani Maharani? Karenanya, rencanaku untuk bercerita dengannya, aku tangguhkan setelah urusan Wisnu dan Amelia mereda. Siang ini, kantor sibuk sekali. Dead line pengiriman pertama sudah dekat. Aku melakukan pertemuan seperti yang dilakuk
Apa yang terjadi di masa lalu seperti kumpulan raport yang tidak bisa dilupakan apalagi dihapus. Tidak hanya kita yang mengingat, orang lainpun berusaha tahu. Bahkan, mereka seenaknya memberikan asumsi yang belum tentu ketepatannya.Parahnya lagi, mereka sesuka hati memberikan penilaian dengan warna tinta sesuai keinginan hati.Seperti Dewi yang seenaknya menilai dan merendahkan Maharani. Padahal dia tidak sebanding dengan istriku ini. ***POV MaharaniPesan dari Desi yang membuatku was-was. Tanpa pikir panjang, aku mengajak Amelia ke kantor Mas Suma. Dengan gerakan cepat, dua toples kue kering aku masukkan tas kantong.[Bu Dewi datang ke kantor. Tadi bicara dengan saya sebentar, bertanya tentang Amelia. Kelihatannya seperti marah-marah] pesan yang masih tersimpan di ponsel ini.Di kepalaku masih berputar pertanyaan. Kenapa dia ke kantor Mas Suma untuk membicarakan Amelia. Bukan datang ke rumah saja. Atau, dia sengaja untuk menghindari aku? Karena ini tentang anak mereka berdua?“Ada
Kecurigaan aku mulai terbukti. Dari berangkat menuju kantor, di kepala ini sudah bergulir pertanyaan kenapa dan apa. Aku pasti kena lagi. Memang ibu tiri dari dulu selalu di posisi salah. Apapun yang dilakukan selalu dicurigai dan dicap orang yang tidak baik“Aku mulai tahu cara bermainmu.”“Bermain apa? Tolong berkata langsung pada intinya. Kita sudah tua dan sudah bukan waktunya bicara berbelit-belit. Kalau ada yang mengganjal, uratakan saja.” Aku mengatakan sambil merapikan peralatan make-up ku. Memasukkan ke dalam tas jinjing berbahan kain yang disulam gambar bunga mawar.Dia menunjukkan tawa mengejek. “Kamu itu perempuan yang pintar. Amelia kamu usir secara halus dengan hasutan cita-cita yang tidak ada gunanya. Kamu sengaja alihkan kesukaan dia, sehingga dia nantinya tidak bisa mewarisi perusahaan yang menjadi haknya. Rencanamu terbaca jelas di mataku, Ran.”Aku menghela napas. Benar kan? Aku sebagai ibu tiri yang tidak ikut-ikut dengan pilihan Amelia saja masih mendapat tuduhan
Membantu orang dalam diam dan apalagi dirahasiakan, sering kali tidak dianggap. Biarlah. Biarlah waktu yang akan terungkap dengan sendirinya. Toh melakukan hal baik ini bukan untuk mendapatkan penghargaan.Aku menatap balik Dewi dengan tatapan lekat. Bibir ini seakan tidak kuat menahan kata-kata ‘Patrick Suamimu!’ Lelaki yang menculik Mas Suma dan hampir mencelakainya di tangan Catherine. Dengan sekuat tenaga, aku menahan diri.“Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku, kan? Karena itu adalah kamu sendiri. Pembantu yang sok jadi NYONYA,” ucapnya dengan penekanan dan diakhiri mulut menyeringai.Kemudian dia yang lebih pendek dariku, menjinjitkan kaki sambil berbisik memberikan ancaman. “Awas kalau kamu bertindak macam-macam saat Amelia sekolah nanti. Aku akan mengawasimu.”Rahang ini mengetat, gigi bergeletuk melihat dia yang mengarahkan dua jari ke matanya, kemudian di arahkan kepadaku. Ingin aku balas ucapannya, tetapi otak warasku mencegah. Bicara dengan orang yang hatinya sudah dip
Sering kali kita menjumpai ungkapan, “Tidak iklas, ya?”Kalimat yang dilontarkan saat si penolong mempertanyakan, “Kenapa dia yang ditolong tidak menunjukkan sikap yang benar? Tidak berucap berterima kasih, justru menunjukkan sikap yang menjengkelkan.”Seperti kejadian hari ini.“Apa aku buka saja rahasia mereka, ya?” ucap suamiku mengawali cerita tentang kasus Patrick, suami Dewi.Kemudian Mas Suma menceritakan skenario yang sudah berjalan dibantu Pak Tiok. Sebenarnya aku sudah tahu dari sahabatku itu, tetapi secara detail baru kali ini aku mendengarnya.“Maaf, ya. Aku tidak berterus terang kepadamu, apalagi meminta pertimbangan.”Aku tersenyum dengan tetap menatap dirinya. Menunjukkan rasa pemakluman, tetapi justru dia merasa bersalah. Buktinya dia mengucapkan alasan yang sebenarnya aku sudah mengerti.“Bukannya aku tidak percaya kepadamu, Ran. Aku hanya tidak ingin kamu kepikiran. Apalagi ini lumayan pelik dan berhubungan dengan masa laluku. Kamu tidak marah, kan?” Dia mengulurkan
Curi-curi kesempatan bermesraan bukan hanya untuk pasangan muda. Seperti aku dan Mas Suma pun masih bisa melakukannya. Justru itu sangat mengasyikkan.Panggilan Amelia tidak menyurutkan niat. Dengan cepat, tangan ini ditarik ke pelataran yang terhalang dengan rerimbunan.“Amelia—““Stts…,” desisnya, sambil menempelkan jari telunjuk di bibir. Mataku yang terbelalak melayangkan protes, mulai meredup. Apalagi saat, tangan kirinya menarik pinggang ini untuk merapat. Entah, kenapa aroma parfum yang sudah biasa aku endus terasa lain? Mungkin karena situasi yang tidak biasa ini yang menyebabkan tubuh ini meremang seketika.Mata ini seakan terpaku menatap dirinya yang melongokkan kepala sedikit keluar. Mas Suma memastikan keberadaan Amelia yang sudah tidak terdengar suaranya lagi, setelah bunyi pintu ditutup terdengar.Wajahnya yang terlihat cemas, tapi ada senyuman yang terbayang di bibirnya. Ditambah, tangan kirinya yang masih menangkup erat pinggang ini.Sungguh, dia terlihat…seksi.“Ke