Saat anak masih kecil, kita menggenggam erat tangannya. Kita menuntun ke jalan yang benar, dan memberikan pelukan saat dia merasa tidak nyaman. Namun, saat mereka sudah beranjak dewasa, kita dituntut rela untuk melepaskan dia untuk mulai belajar menghadapi hidup yang sebenarnya.Pintu kamar aku ketuk sebelum kubuka pelan. Amelia yang sedang duduk menghadap meja belajar menoleh ke arahku.“Sayang, Mama boleh masuk?”Dia mengangguk pelan, kemudian menyodorkan kursi di sebelahnya. Senyum ceria tidak aku dapati, justru mata sembab dan raut wajah sedih. Di atas meja, aku dapati kertas yang penuh dengan coretan. Kebiasaannya saat kesal.“Kak Amel masih marah?”Dia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Tangannya kembali memainkan bolpoin, menambah penuh coretan yang sudah tidak ada tempat kosong. Kepalanya menunduk. Sebegitu inginnya dia dengan rencana yang dilontarkan kapan hari.Yang membuatku lebih terkejut, kertas di depannya menangkap tetesan air mata. Tinta memudar seiring dengan su
Masalah akan ada penyelesaian apabila dibicarakan. Membiarkan tanpa ada upaya, memang terlihat seperti sudah teredam. Namun, bisa jadi justru berkembang liar dan menimbulkan masalah baru.“Jadi Papi memberikan izin ke Amel?” teriak Amelia seperti tidak percaya.Matanya seketika berbinar dan dipermanis dengan senyuman yang menyembang. Jemari yang ditangkupkan tadi, sekarang diulurkan sambir menghampur ke dalam pelukan Mas Suma. Bertubi-tubi dia mencium pipi Papinya, seakan lupa dia sudah bukan anak kecil lagi.Mas Suma yang kewalahan, menatapku sambil mengerlingkan mata. Terlihat dia juga bahagia sebahagia anak gadisnya. Senyumku pun mengembang dengan lega. Perselisihan mereka akhirnya ada titik temu, walaupun belum final.Gara-gara insiden majalah kebalik itu, suasana yang sebelumnya kaku menjadi cair. Mas Suma berbincang dengan santai. Gaya sok arogan yang sepertinya dia rencananya, sukses batal.“Kamu yakin dengan pilihanmu?” Itu yang ditanyakan Mas Suma tadi. Dia tidak banyak bert
Kebebasan itu bukan berarti tidak ada aturan, tetap dalam pengawasan. Itu yang dinamakan bebas dalam batasan. Begitu juga mandiri, bukan berarti hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. Namun, ini berarti harus bisa mengatur apa yang akan kamu lakukan tanpa disuruh orang lain.*Yang membuat jengah Amelia, karena Mas Suma akan menggaet perusahaan keamanan seperti yang diperlakukan di rumah ini. Kemana-mana harus ada pengawalan. Ini tidak ada bedanya dengan tahanan.“Papi! Kalau seperti itu kan Amel malu ke teman-teman nanti. Seperti siapa saja.”“Loh, kamu kan anak Papi. Ya harus seperti itu. Biar aman, Mel.”“Tapi, Pa. Bukan segitunya menjaganya. Amel tahu Papi sayang, tapi kalau begitu kan berlebihan. Seperti drama Korea saja.”“Ya itu kamu tahu. Supaya kamu menjiwai juga. Katanya ingin bikin tontonan seperti orang sono.”Hmm…. Berdebat dengan Mas Suma tidak ada menangnya. Kalau dibiarkan, sampai malam dan pagi lagi, mereka tidak akan selesai. Aku harus mencoba menengahi.“Yang
“Amel kan tidak mau jadi perawan tua,” celetuk Amel saat kami berbincang berdua.Seperti menyerahkan panggung, suamiku itu langsung masuk kamar meninggalkan kami berdua. Sengaja aku mengambil dua potong cake coklat untuk kami berdua, dan dua coklat panas yang mengeluarkan uap menenangkan. Aku ingin menggali apa yang ada di kepala anak gadisku ini.“Kak Amel sebenarnya ingin jauh dari rumah, untuk mencapai apa yang diinginkan kemarin, atau … karena di rumah merasa terkekang?” Mata ini menatapnya lekat. Mencari tahu apa yang sebenarnya.“Karena cita-cita Amel, lah, Ma. Tapi, kalau nanti ketemu jodoh, masak ditolak?” ucapnya sambil menangkup mug-cangkir besar-dengan minuman coklat yang mulai menghangat.Dia menyesap sedikit, kemudian melanjutkan bicara. “Amel kan ingin juga seperti di cerita-cerita atau di lagu-lagu. Jatuh cinta dan pacaran. Memang tidak boleh ya, Ma?”Aku menunjukkan senyuman dan mengusap lembut rambutnya. Gadis kecil yang dulu aku dapati, menjelma menjadi remaja yang b
Bicara dengan anak zaman sekarang, sering kali diakhiri dengan pertanyaan berawalan ‘kenapa’. Berbeda dengan zaman dulu yang ditanggapi dengan jawaban ‘iya’.Anak sekarang kalau penjelasan tidak masuk di otaknya, apa yang kita bicarakan dianggap angin lalu. Walaupun dipaksa menjawab iya, sejatinya masih ada keraguan di kepalanya. Seperti Amelia sekarang yang mempertanyakan jodoh itu bagaimana?Mau tidak mau, aku memutar otak dan mengingat apa yang pernah aku baca. Aku ingat, seorang pemuka agama menyatakan kalau jodoh itu takdir yang bisa diubah. Karena, jodoh dikukuhkan berdasarkan usaha dari makhluknya. Itu berbeda dengan kematian yang sudah ditetapkan sebelum lahir.“Begini, Amelia Sayang. Kamu bilang, lelaki yang tersisa itu yang selevel. Benar, kan?”“Iya.”“Jodoh itu takdir artinya begitu. Kalau kamu orang pintar, kamu akan dipertemukan dengan orang pintar juga. Begitu juga kalau kamu orang sukses. Makanya, untuk mendapatkan jodoh yang berkualitas seperti keinginanmu, kamu haru
Aku berusaha tidak menambah beban pikiran istriku. Dia sudah mengurus keperluan anak-anak, rumah, termasuk aku. Belum lagi Wisnu dan Amelia. Walaupun mereka sudah beranjak dewasa. Justru disaat itulah memerlukan pengawasan lebih ketat. Seringkali, aku angkat tangan menasehati mereka, terutama Amelia. Belum lagi urusan gallery. Memang sekarang sudah tahap pemasaran dan produksi, yang sudah dihandle oleh Aitu dan teamnya. Namun, tetap saja Maharani turun untuk mengawasi sekadar mengarahkan. Bukankah semua itu memerlukan pikiran? Sebenarnya, aku ingin berbagi cerita dengan Maharni tentang Patrick ini. Bagaimanapun, ini ada sangkut pautnya dengan Dewi, yang secara tidak langsung berhubungan dengan anakku, Amelia. Akan tetapi, bukankah ini semakin membebani Maharani? Karenanya, rencanaku untuk bercerita dengannya, aku tangguhkan setelah urusan Wisnu dan Amelia mereda. Siang ini, kantor sibuk sekali. Dead line pengiriman pertama sudah dekat. Aku melakukan pertemuan seperti yang dilakuk
Apa yang terjadi di masa lalu seperti kumpulan raport yang tidak bisa dilupakan apalagi dihapus. Tidak hanya kita yang mengingat, orang lainpun berusaha tahu. Bahkan, mereka seenaknya memberikan asumsi yang belum tentu ketepatannya.Parahnya lagi, mereka sesuka hati memberikan penilaian dengan warna tinta sesuai keinginan hati.Seperti Dewi yang seenaknya menilai dan merendahkan Maharani. Padahal dia tidak sebanding dengan istriku ini. ***POV MaharaniPesan dari Desi yang membuatku was-was. Tanpa pikir panjang, aku mengajak Amelia ke kantor Mas Suma. Dengan gerakan cepat, dua toples kue kering aku masukkan tas kantong.[Bu Dewi datang ke kantor. Tadi bicara dengan saya sebentar, bertanya tentang Amelia. Kelihatannya seperti marah-marah] pesan yang masih tersimpan di ponsel ini.Di kepalaku masih berputar pertanyaan. Kenapa dia ke kantor Mas Suma untuk membicarakan Amelia. Bukan datang ke rumah saja. Atau, dia sengaja untuk menghindari aku? Karena ini tentang anak mereka berdua?“Ada
Kecurigaan aku mulai terbukti. Dari berangkat menuju kantor, di kepala ini sudah bergulir pertanyaan kenapa dan apa. Aku pasti kena lagi. Memang ibu tiri dari dulu selalu di posisi salah. Apapun yang dilakukan selalu dicurigai dan dicap orang yang tidak baik“Aku mulai tahu cara bermainmu.”“Bermain apa? Tolong berkata langsung pada intinya. Kita sudah tua dan sudah bukan waktunya bicara berbelit-belit. Kalau ada yang mengganjal, uratakan saja.” Aku mengatakan sambil merapikan peralatan make-up ku. Memasukkan ke dalam tas jinjing berbahan kain yang disulam gambar bunga mawar.Dia menunjukkan tawa mengejek. “Kamu itu perempuan yang pintar. Amelia kamu usir secara halus dengan hasutan cita-cita yang tidak ada gunanya. Kamu sengaja alihkan kesukaan dia, sehingga dia nantinya tidak bisa mewarisi perusahaan yang menjadi haknya. Rencanamu terbaca jelas di mataku, Ran.”Aku menghela napas. Benar kan? Aku sebagai ibu tiri yang tidak ikut-ikut dengan pilihan Amelia saja masih mendapat tuduhan