Yang di Atas memberikan yang tertepat bagi kita. Tidak ada alasan yang benar untuk menolaknya, walaupun itu mengandung resiko. Karena, pasti ada rencana indah di balik semua itu. * Dokter menjelaskan semua tentang resiko kehamilanku ini. Di usia di atas empat puluh tahun, ada beberapa yang harus diperhatikan. Keadaan tubuh yang tidak sekuat sebelumnya, tekanan darah, dan ini bisa berpengaruh pada janin atau sang ibu sendiri. “Satu minggu ini, Bu Rani saya anjurkan untuk bed rest, istirahat total. Mengingat kemarin sempat flek. Kita pantau dulu kekuatan janinnya, baru setelah itu kita putuskan apakah bisa aktifitas seperti biasa.” “Kalau saya dikasih vitamin atau obat saja untuk penguat janin, Dok?” “Iya. Saya pasti memberikan itu. Namun, tetap Bu Rani tidak boleh stress dan terlalu kecapekan. Apakah sedang ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan?” Aku mengerti apa yang dimaksud. Namun dalam keadaan seperti ini, apakah bisa aku hanya berdiam diri di ranjang? Sedangkan masalah ke
Darah lebih kental daripada air, ikatan keluarga lebih penting daripada hubungan dengan orang-orang yang tidak "sedarah. Apakah ungkapan ini masih benar? * Tubuh menjadi segar setelah istirahat yang cukup. Aku terbiasa tidur tidak terlalu lama. Bagiku, tidur yang berlebihan justru membuat pegal seluruh badan, dan tubuh terasa berat. Kalau mengikuti saran dokter, yang bed rest nya sepanjang hari di ranjang dan hanya boleh beranjak saat ke toilet. Kalau seperti itu, aku justru akan stress, karena bosan. Lebih baik, aku ke luar kamar san melakukan aktifitas seperlunya. Dalam keadaan sakit, bukan berarti kita terlihat lemah. Justru membersihkan diri dan mematut diri sesegar mungkin, bisa meningkatkan semangat untuk sembuh. Aku memoles make-up tipis, minimal tidak terlihat menyedihkan dan mengundang kekawatiran pada Amelia dan Wisnu. Sudah aku putuskan, nanti sore aku akan memberitahu kabar kehamilanku ke Mas Suma. Bukankah mengabarkan kabar baik, sebaliknya tidak ditunda. Siapa tahu
Tidak memberi tahu itu, apakah sama dengan merahasiakan?*Tanganku saling terkait, mengurai resah yang mempercepat detak jantung. Ucapannya seakan menunjuk, kalau aku menghianati perasaannya. Rasa serba salah, seketika menyeruak lekat. Menyisakan kepasrahan dengan apa yang akan diucapkan mertuaku ini.Sekilas aku memindahi wajah yang dihiasi keriput, tetapi tetap menunjukkan kecantikan dan ketegasan. Menunjukkan dimana kelas wanita yang aku hormati ini.“Kamu kan tahu, Kusuma itu wataknya keras. Mami saja angkat tangan terhadapnya. Justru Mami sering meminta tolong kepadamu. Tapi, kalau kamu juga bersikap sama dengan Kusuma, terus bagaimana?”“Iya, Mami.”Nyonya Besar lah yang sebenarnya menarikku ke keluarga ini. Dia sosok yang tidak terduga. Mempunyai kekuasaan dan taktik yang sering kita tidak menyadarinya. Itu yang sering menjadi benturan antara Mas Suma dan Nyonya Besar. Mertuaku yang selalu mengurus ini itu, menentukan hal terbaik menurut versinya, sedangkan Mas Suma juga bersi
Kalau dengan suami, aku masih bisa menyangkal atau nakal sedikit terhadap aturannya. Namun dengan mertua, bagaimana aku bisa berkutik? Apalagi mertuanya seperti Nyonya Besar.*Masih lekat di ingatan, bagaimana perlakuan Mas Suma saat kehamilan Danish dan Anind. Suamiku sampai menyewa suster, bahkan membuatkan ruangan khusus di galleri sebagai tempat istirahatku. Itu pun karena aku merajuk supaya tetap diperbolehkan melakukan kegiatan di luar rumah. Menunjukkan kesal-kesal sedikit sambil melancarkan segala bentuk rayuan.Nah, kalau sekarang dengan Nyonya Besar, apa yang bisa aku lakukan, selain menuruti kemauannya dia.“Mama diapakan sama Eyang?” tanya Amelia yang terlihat bergegas masuk ke kamarku, setelah Nyonya Besar pergi. Di belakangnya diikuti Wisnu dengan ekspresi yang sama.Keduanya menarik kursi dan mendekatkan diri di tepi ranjang.“Eyang hanya menunjukkan kasih sayang ,” jawabku sambil tersenyum menunjukkan aku baik-baik saja.“Apa Eyang sudah pulang?” tanyaku penasaran. T
Kecewa. Hanya meminta waktu luang sebentar saja tidak dikabulkan. Padahal tidak lebih dari lima menit. Hati ini merasa tersisih dan diduakan.Aku juga pernah bekerja, dan itu tidak sampai seperti ini. Bukankah Mas Suma pemimpin sekaligus pemilik perusahaan? Harusnya dia bisa membagi waktu atau mendelegasikan pekerjaan kepada bawahannya.Ini bekerja dari pagi sampai sore, dan sekarang menjelang malampun bekerja lagi.Apa, kenapa, mulai memenuhi pikiran ini. Tidak tahan dengan rasa penasaran, aku menghubungi Desi, sekretaris yang mengikutinya.“Desi maaf, ya. Aku menghubungimu untuk memastikan Mas Suma sudah makan atau belum.”“Sudah, Bu Rani. Kami sudah makan bersama tadi setelah rapat.”“Kasihan kamu diperas suamiku. Padahal kamu masih aura pengantin baru,” ucapku memancing keadaan di sana sebenarnya.Terdengar suara tawa kecil Dewi. “Bu Rani ini ada-ada saja. Saya sudah pengantin uzur, Bu”“Tapi sekarang rapat lagi, gitu?”“Sudah selesai dari tadi sore. Ini saya sedang santai di kama
Tangan ini masih menggenggam ponsel, walaupun sudah bergelung dalam selimut. Panggilan telpon dariku tidak diangkat oleh Mas Suma. Aku kirim pesanpun tidak dibaca, apalagi dibalas. Sibuk pekerjaan apa, sih dia? Seakan berkejaran dengan jarum jam, aku berusaha menghubunginya. Namun, tidak ada balasannya. Sedangkan waktu yang diberikan Nyonya Besar semakin tertinggal hitungan detik. “Mama….Mama?” suara Amelia sambil mengetuk pintu. Aku tahu, ini pasti jebakan. Kalau aku menyahut, pertanda aku belum tidur. Secepatnya, aku tarik tangan yang masih menggenggam ponsel masuk ke dalam selimut. Secepatnya aku memejamkan mata, dan pura-pura mendengkur halus. Benar dugaanku. Pintu terbuka pelan. Terdengar langkah Amelia masuk. “Hmm….Mama sudah tidur,” ucapnya lirih, kemudian terdengar bunyi saklar dan ruangan pun terganti dengan temaran dari lampu sorot di dinding. Mata ini masih terpejam, sampai terdengar pintu di tutup kembali. Huuft! Aku seperti anak kecil yang diharuskan tidur cepat. Be
“Pernikahan di usia kalian tidak cukup hanya berdasar cinta, tetapi bagaimana usahanya. Bukan usaha yang merujuk materi, ya. Namun usaha untuk menempatkan dia untuk ditempatkan di tempat yang berharga,” ucapku setelah mendengar curahan hati Prasetyo. Lelaki flamboyan ini mengangguk, entah dia mengerti atau semakin tidak tahu. Maharani sering mengeluhkan tentangnya. Memberitaku laki-laki ini, kadang masuh di telinga kiri, dan keluar dari telinga kanan. Terbukti, semenjak aku kenal dengannya sudah berapa wanita yang dia ceritakan dekat dengannya. Namun, tidak satupun berujung pada hubungan serius. “Kamu yakin tidak dengan Kalila?! Dia itu karyawanku. Jangan coba-coba memberikan harapan lebih, kemudian dicampakkan!” ucapku sengaja dengan nada menggertak. Alih-alih keder, dia justru tertawa. Apa aktingku kurang meyakinkan, ya? “Sementara yakin. Yang masih ragu justru Kalila. Kok saya yang di-warning. Harusnya Kalila yang Pak Kusuma kasih SP, karena menggantung cinta saya,” selorohnya
POV MaharaniPagi yang mengesalkan.Semalaman aku menunggu Mas Suma menelpon kembali, atau setidaknya mengirim pesan untuk minta maaf. Ternyata aku hanya bersandar di harapan kosong.Harusnya dia peka sebagai suami. Memang aku yang memutus sambungan telpon dengan alasan tidak mau diganggu, tetapi kenapa dia tidak berusaha untuk membujukku. Minimal pura-pura berusaha supaya aku luluh.Kenapa dia tidak berupaya untuk menjelaskan kalau aku hanya salah paham? Kekesalanku ini juga karena dia membiarkan aku menunggu telponnya, tanpa mengirim pesan penyebabnya apa.Dia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan di pagi ini pun tidak ada kabar apapun darinya. Padahal aku bersiap sedari petang untuk jaga-jaga kalau dia menghubungiku. Diri ini sudah rapi, bahkan kububuhkan make-up tipis supaya terlihat indah di matanya. Test pack dengan tanda dua garis pun sudah aku siapkan sebagai kejutan. Namun, semuanya hanya sia-sia. Apakah aku tidak boleh kesal kalau punya suami yang seperti ini?Huuft!Su