"Kak! Kak! Kak Wisnu!" teriak Amelia, mengetuk kamarku. Aku yang di dapur mendekatinya, ada apa, ya? Wisnu baru saja bangun. Setelah salat subuh dia tidur lagi, katanya masih mengantuk. Tadi malam, setelah Tuan Kusuma mengangkat Amelia yang ketiduran, turun, dia mengajak Wisnu kembali ke atas. Mereka malah minta dibuatkan kopi, mau main catur, katanya.Sampai tengah malam malam, baru anakku itu kembali ke kamar. Terus terang aku agak kesal, waktuku dengan anakku seperti terampas oleh mereka, Amelia dan Tuan Kusuma. "Cari Kak Wisnu? Kak Wisnu lagi mandi. Baru aja. Tunggu di meja makan saja. Tante sudah buatkan puding mangga," ucapku sambil menarik tangan Amelia. Amelia duduk, dia masih sibuk dengan ponselnya. "Ini, pudingnya dipotong. Trus disiram saus santan," kataku sambil menyodorkan piring kecil didepannya. Aroma mangga dan santan kental menyeruak, Amelia langsung mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dia pegang."Hmm ... baunya enak. Amel mau!" katanya, dan langsung melahap
Jadwal olah raga pagi Tuan Kusuma, berangsur-angsur menghilang seiring kesibukannya yang luar biasa. Tersisa tiga pasang sepatu sport yang teronggok menunggu dipakai kembali.Sepatu, sabar, ya!Sekarang, tinggal Amelia dan Wisnu saja yang latihan fisik di ruang fitnes. Setelah latihan fisik, bersih-bersih, makan terus kembali lagi ke atas untuk latihan untuk pentas. Wisnu sangat keras melatih Amelia. Apalagi waktu pentas kurang dua hari lagi.Tuan Kusuma pun senang melihat hal ini, keinginan dari putrinya untuk berusaha sudah mulai tumbuh.Yang aku sengaja sembunyikan sudah diketahui Tuan Kusuma. Malam itu, ketika mereka main catur, Wisnu dikorek informasi tentang kami. Akhirnya dia tahu, bahwa kami sebelumnya tinggal di Kuta, Bali dan aku lulusan D3 Design Interior yang pernah menekuni bisnis properti.Aku tidak bisa menyalahkan Wisnu, toh dia bicara apa adanya. Bagaimanapun, suatu saat pasti akan diketahui. Dan, pastinya Tuan Kusuma yang ahli menggali informasi bukan tandingan Wisnu
Aku berusaha tidak mengingat kejadian kemarin. Begitu juga Wisnu, dia tidak pernah membahasnya atau sekadar bertanya. Dia bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.Dia lebih konsen dengan latihan bersama Amelia di lantai atas. Katannya, tinggal hari besuk acara di sekolah.Begitu juga Tuan Kusuma. Tidak pernah dia tanya apa dan kenapa yang terjadi kemarin. Dia hanya bertanya, "Ketika mengantar berkas ke kantor, apakah bertemu dengan orang yang kau kenal?""Bertemu Desi saja. Tidak ada yang lain," jawabku seolah aku tidak tahu yang dia maksud. Aku yakin dia tahu, aku lari dari Mas Bram. Dan, aku yakin dia curiga Mas Bram adalah mantan suamiku, papanya Wisnu.Setelah itu dia tidak membahasnya kembali. Hanya sempat dia marah, ketika tahu kami naik motor ke sana. Kawatir ada apa-apa di jalan, alasannya. Setelah aku jelaskan, barulah dia mengerti, dengan catatan, jangan diulangi lagi.Huuuft ....Pupus sudah, harapan jalan naik motor bersama Wisnu. Padahal, tujuan membawa motor ke sini
Malam ini, malam besar buat Amelia. Untuk pertama kalinya, dia pentas di acara yang dihadiri banyak orang. Tuan Kusuma sengaja menyiapkan waktu khusus untuk acara ini. Kami dilarang mengerjakan apapun selain yang berhubungan dengan Amelia.Begitu juga diriku. Aku hanya diperbolehkan memasak dipagi hari saja, setelah itu harus mendampingi Amelia. Wisnu juga tidak kalah sibuk, dia harus mempersiapkan dan memastikan properti untuk pentas. Tidak boleh ada yang salah, pesan Tuan Kusuma.Hari ini, Tuan Kusuma kembali dari kantor lebih awal. Dia ikutan sibuk juga. Dia mondar-mandir naik-turun, keluar-masuk kamar Amelia seperti orang bingung. Aku kesal melihat sikapnya. Mondar-mandir, tanya sana-sini tetapi tidak jelas apa yang dia lakukan. Seperti hanya sekedar untuk menutupi kepanikannya. Kalau sikapnya terbaca Amelia, dia bisa merasa papinya meragukan dengan kemampuan. Dan muaranya, kepercayaan dirinya akan berkurang. Tidak boleh seperti ini!Aku sengaja menunggunya di lantai atas, di
Pertemuan dengan Mas Bram menguras seluruh tenaga dan emosiku. Aku lelah.Sekaligus lega.Semua yang terpendam, termuntahkan semua. Kami berdua berusaha berdamai dengan takdir. Jalan ini, pasti yang tertepat. Mas Bram pun, bisa menjalani hidup tanpa ada bayang-bayang rasa salah ataupun sesal. Aku tahu, dia laki-laki baik. Keluarga barunya pun, pasti berharap memilikinya dengan utuh. Semoga bahagia.Aku sudah iklas menerima apa yang sudah terjadi. Itu adalah masa lalu yang sudah menjadi suratan takdir dan hanya sampai disini. Keluar dari ruangan, langkahku terasa ringan, langkahku terasa pasti, sudah tidak ada yang mengganjal dihati. Aku sudah punya harapan, diriku sudah kembali. Wisnu.Dia sekarang yang menjadi tujuanku. Anakku, mama sudah hidup, lagi.***"Rani!" Namaku dipanggil, aku mendongak. Terlihat di atas Tuan Kusuma melambaikan tangannya, dia tersenyum hangat.Aku segera naik ke atas menghampirinya, dia langsung berdiri dan menarik kursi di depannya untuk aku duduki."T
Pagi ini giliran harinya Wisnu.Dari subuh dia sudah sibuk siap-siap karena hari ini adalah hari besarnya. Bertemu papanya kembali. Mas Bram akan menjemput.Amelia juga ikutan sibuk, dia bertanya terus tentang Mas Bram. Orangnya bagaimana dan ada aja yang dia tanya, yang kadang aku tidak terfikir kesana. Katanya, dia mau ikutan mengantar Wisnu ke depan, sekalian mau kenalan. [Aku sudah dekat] Ponselku nyala, ada pesan dari Mas Bram. Wisnu langsung berlari mendekatiku, ikutan melihat.[Iya, Wisnu tunggu di depan] jawabku. Aku langsung kasih kode untuk langsung siap-siap ke depan."Ma, Wisnu pamit, ya," kata Wisnu sambil mencium tanganku. Dia menggunakan kaos hoodie yang dibelikan Tuan Kusuma kemarin. Dia kelihatan keren."Sayang, hati-hati di jalan. Pulangnya jangan sampai malam. Maksimal jam sembilan sudah sampai rumah!" pesanku kepadanya.Aku rapikan kerah bajunya. Aku melihat wajahnya tidak henti-hentinya tersenyum. Matanya terlihat bersemangat. Tersirat kerinduan yang mendalam
Sampai siang, Tuan Kusuma belum turun. Hampir terlupakan.Kesibukan dan kehebohan mengantar Wisnu dan menanggapi pertanyaan Amelia, membuatku hampir tidak ingat apabila Tuan Kusuma masih belum makan pagi. "Tante, Om Bram itu mirip sekali dengan Kak Wisnu, ya. Kalau orang lain tidak kenal, dan melihat mereka, pasti tahu kalau itu Papa dan anak. Mirip, kayak foto kopi!" kata Amelia. Dia berbicara sambil sibuk makan roti selai keju dan segelas susu coklat."Amel! Papi kok belum turun, ya?" tanyaku sambil lihat jam di dinding. Sudah pukul sembilan, sudah siang untuk ukuran Tuan Kusuma. Biasanya paling siang pukul delapan sudah siap berangkat ke kantor."Lihat, Papi ke atas, gih!" pintaku."Aduh! Maaf tante. Amel perutnya sakit, mau ke toilet!" sahutnya cepat, sambil tergopoh menuju kamarnya. Disuruh, dia malah lari meninggalkanku. Kalau begitu, aku cek ke Desi sekretaris, saja. [Pagi, Desi][Apa jadwal Pak Kusuma hari ini?]Belum ada jawaban dari Desi. Mungkin sibuk. Aku masih menung
Nyonya Besar datang!Satu rumah mendadak sibuk, semuanya tidak terkecuali Tuan Kusuma. Waktu mepet sekali, empat jam waktu kami untuk memastikan semua baik-baik saja. Apalagi, Nyonya besar alergi debu. Untung satpam sore sudah masuk, jadi ada dua satpam, Pak Maman, dan Bik Inah. Mereka aku kumpulkan terlebih dahulu untuk membagi tugas. Pak Maman lantai bawah dan roff top, Bik Inah lantai atas khususnya kamar Nyonya Besar, Satpam luar rumah termasuk kebun. Aku bagian dapur, mempersiapkan untuk menyambut Nyonya Besar termasuk mengecek semua pekerjaan mereka kembali.Tuan Kusuma akan memastikan di ruang kerja dan kamarnya rapi bersih. Dan, Amelia membersihkan kamarnya sendiri. Dia sudah aku latih untuk mulai tidak tergantung dengan orang lain. Ternyata, selama Wisnu di sini sangat menginspirasi dia untuk mandiri.Di file, tercatat selain alergi debu, beliau mempunyai beberapa pantangan makanan karena darah tinggi dan asam urat yang dideritanya. Aku harus menyiapkan makan malam dengan h