"Wah, masakan Bunda tetap saja tidak ada yang menandinginya," kata Nada sambil menatap begitu banyak makanan yang sudah tersaji di atas meja makan.Tetapi Nada tidak langsung mengisi piringnya sendiri, melainkan mengisinya piring Tama terlebih dahulu.Mengisi piring suami yang teramat di cintainya itu, biarlah luka hati dengan sejuta kegundahan hanya simpan saja tanpa ada yang perlu tahu."Sudah cukup, ini terlalu banyak," Tama pun meminta Nada untuk berhenti menambahkan makanan lainnya, karena tidak akan mungkin juga bisa menghabiskannya."Ya udah, ayo di cobain. Masakan Bunda yang paling istimewa di rumah ini," kata Nada dengan senyuman seakan begitu bangga akan Kinanti adalah wanita yang penuh cinta itu begitu memiliki banyak kelebihan.Kemudian Nada pun ikut duduk di samping Tama. Mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauk dan sayur yang sudah tersaji.Semuanya tampak begitu nikmat hingga dirinya tidak ingin terlewatkan untuk mencicipi semuanya."Anak Bunda sudah dewasa ya, biasa
Kinanti sedikit bersedih karena Tama dan Nada berpamitan pulang, padahal Kinanti berpikir jika keduanya menginap di rumah untuk malam ini saja."Bunda, Nada pamit ya.""Ya sudah, padahal Bunda pikir kalian berdua menginap di rumah Bunda."Wajah Kinanti benar-benar murung saat Nada berpamitan untuk pulang."Lain kali aja ya Bunda.""Ya sudah, hati-hati di jalan."Nada dan Tama pun akhirnya pergi, membuat Kinanti dan yang lainnya hanya melihat dari teras saja.Nada hanya diam saja duduk di samping Tama yang mengemudikan mobilnya, pikiran masih tertuju pada apa yang ingin dikatakan oleh Adam saat makan malam barusan.Nada bingung dan bertanya-tanya apakah Adam mengetahui sesuatu akan rumah tangganya dan juga Tama."Kenapa?" Tanya Tama yang melihat Nada hanya diam saja."Nggak papa," jawab Nada."Padahal aku nggak masalah kalau kamu mau menginap di rumah Bunda.""Aku mau ikut Mas aja, istri harus ikut kemana pun suaminya pergi," jawab Nada dengan santainya.Tama pun lagi-lagi memilih untu
Rasanya kaki tak sanggup lagi untuk terus melangkah, namun saat ini kaki ini harus terus berjalan.Bahkan terkadang berlari, berlari sejauh mungkin berharap rasa ini bisa hilang dengan sendirinya.Namun, entah bagaimana caranya semuanya teramat sulit untuk dilakukan.Begitu mudahnya mencintai, tetapi untuk melupakanmu sungguh tak pernah bisa dilakukan.Hingga akhirnya Tama pun duduk di sisi jalanan, seakan kenangan itu kembali berputar di benaknya.Tepatnya saat beberapa hari setelah dirinya dan juga Nada menikah.Saat itu Tama begitu bahagia menikmati awal pernikahan.Namun, saat itu pula Tama mendapatkan kabar tentang keadaan Mira yang mendadak drop."Mama, kritis," kata Handoko dari balik sambungan telepon seluler.Membuat Tama hanya diam membeku mendengar apa yang dikatakan oleh Handoko.Hingga akhirnya panggilan telepon pun selesai dan Tama memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Sesampainya di Jakarta Tama langsung melihat keadaan Mira yang ternyata sudah mulai membaik.Hingga akhi
Semuanya benar-benar tidak baik-baik saja, tanpa alasan yang jelas dirinya harus mendapat perceraian yang tak pernah di impikan selama ini.Merasa tak memiliki kesalahan fatal membuat Nada pun bertanya-tanya, mengapa ini bisa terjadi pada dirinya.Mengapa bisa Tama mengatakan cerai padanya, kesalahan apa yang membuat Tama tak bisa memaafkan dirinya.Nada harus mendapatkan alasan yang jelas baru bisa menerima perceraian ini, dia tidak bisa menerima perceraian dengan cara seperti ini.Namun, saat ini Nada hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil bersandar di depan daun pintu yang tertutup rapat.Berharap sebentar lagi Tama akan kembali dan menarik semua perkataannya barusan.Namun, mungkinkah itu akan terjadi?Karena ternyata semua yang diharapkan oleh Nada tampaknya hanyalah sebuah mimpi saja.Pada kenyataannya saat pagi pun menjelang Tama tak juga kembali seperti apa yang dia harapkan.Bahkan Nada sampai tertidur di lantai karena terlalu banyak menangis hingga kelelahan.Sesaat kemudia
Dibawah selimut Nada pun menggigil kedinginan, sementara Sarah terus saja mengompresnya dengan penuh kesabaran.Sambil menunggu dokter yang datang setelah Sarah menghubungi.Hingga dokter pun tiba langsung memeriksa keadaan Nada."Ibu terlalu stres, dan pasien sedang hamil," kata Dokter tersebut."Hamil Dok?" Tanya Sarah sambil melihat Nada yang tampak masih menggigil dengan hebatnya."Iya, sebaiknya di rawat saja. Agar kandungannya juga bisa diperiksa lebih lanjut," kata Dokter itu lagi memberikan saran terbaik menimbang keadaan Nada cukup mengkhawatirkan.Namun, Sarah tidak tahu harus melakukan apa. Menurutnya memang mengikuti sadar dari dokter adalah terbaik.Namun, belum tentu menurut Nada karena sepertinya apa yang dipikirkannya tidak sama dengan pikiran Nada.Hingga akhirnya dokter tersebut pun merasa mengenali Nada, tampaknya wajah Nada tidak asing baginya."Saya merasa wajah ini tidak asing, ah iya. Anda anak dari Dokter Adam? Saya, juga datang di acara pernikahan anda," kata
Hari-hari pun berlalu dengan begitu cepatnya, Nada masih saja dengan harapan yang sama. Namun, sayang sampai detik ini pun tidak ada kabar beritanya, bahkan yang sampai hanyalah selembar kertas yang berisi tentang perceraian mereka.Dada Nada bergemuruh hebat menahan rasa sakit bercampur dengan perasaan was-was, di saat dirinya berharap ini hanya sebuah mimpi belaka yang begitu mengerikan ternyata adalah sebuah kenyataan.Tidak menyangka bisa memegang kertas berisi goresan pena tentang perceraian.Sungguh luar biasa, semuanya seakan begitu mencekam. Terasa lebih horor dari sebuah rumah menyeramkan.Hingga butiran-butiran air mata pun jatuh dari pelupuk mata indahnya."Nada, kamu baik-baik saja?" Tanya Sarah yang melihat keadaan Nada saat ini.Nada pun menatap Sarah dengan mata yang berkaca-kaca seakan benar-benar tak ada lagi kata yang dapat digunakan untuk menjawab semuanya."Aku tidak baik-baik saja, bagaimana bisa kamu bertanya kepada ku seperti itu? Apa aku terlihat baik-baik saja
"Dok, gugurkan saja kandungan saya," kata Nada.Nada yang baru saja sadarkan diri mendengar apa yang dikatakan oleh Dokter pada Sarah.Terlalu stres bahkan kandungannya terlalu lemah, membuat Nada semakin merasa bersalah.Untuk apa mempertahankan janin itu jika hanya untuk mengajaknya pada sebuah penderitaan semata.Bahkan Ayahnya saja tidak perduli pada anak tersebut, meskipun sebenarnya Tama tidak tahu kehamilan Nada saat ini.Nada tak mau membuat anaknya ikut merasa kesedihan yang dia rasakan olehnya, sebab janin itu pun tidak berhak mendapatkan bagian dari penderitaannya.Hingga bibirnya mengatakan kalimat tersebut, bahkan Sarah dan dokter pun tercengang mendengarnya.Pernyataan yang teramat tidak mungkin untuk dikatakan oleh seorang Ibu dan itulah yang dikatakan oleh Nada barusan."Nada, kamu bicara apa?" Tanya Sarah berharap salah dalam mendengar, bahkan merasa telinganya yang tidak baik-baik saja."Saya serius Dok, saya mau anak ini di gugurkan saja," Nada lagi-lagi mengulangi
Siapa yang dapat melihat seseorang yang di sayangnya menderita, apa lagi seorang Ayah yang teramat sangat mencintai putrinya.Jangankan untuk membuat putrinya menitihkan air mata, hanya membentak saja sudah membuat penyesalan yang teramat dalam.Begitulah yang kini di rasakan oleh seorang Adam saat melihat putrinya begitu menderita.Berulang kali Adam berusaha untuk tetap tenang dan tidak meneteskan air mata menyaksikan ini semua, hingga akhirnya memutuskan untuk menemui Tama yang di kabarkan sudah pulang dari luar negeri setelah mengantarkan Mamanya.Jika Mira masih menjalani beberapa pengobatan di temani oleh Handoko yang tak lain adalah suaminya.Maka Tama harus kembali ke tanah air sendirian untuk mengurus banyaknya pekerjaan yang terlantar karena terbengkalai. Sebab, keadaan Mira jauh lebih penting.Dan sekembalinya ke rumah Tama sudah disambut dengan kehadiran Adam yang duduk di sofa, tepatnya di ruang tamu."Mas, aku sudah memintanya untuk pergi. Tapi, dia memaksa untuk masuk,"