"E ... e, maaf sebelumnya, Bu Rani. Saya tidak tahu apakan informasi saya yang sekarang diperlukan atau tidak," ucapnya sambil menarik nafas."Non Amelia sebenarnya biasa-biasa saja, Bu. Cuma, sekarang setiap hari kami selalu menjemput dan mengantar temannya. Tidak cuma satu, Bu. Tetapi, ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Awalnya, saya pikir sekali saja. Tetapi, ini setiap hari. Sudah hampir seminggu.""Mereka seperti apa? Maksud saya, selama di mobil sikapnya bagaimana?" "Ya, mereka seperti anak-anak pada umumnya," tambahnya."Baik kalau begitu. Besuk, tolong saya di antar ke rumah mereka. Saya hanya ingjn lihat sekilas, mungkin lewat di depan rumah saja. Terima kasih. Tolong ini dirahasiakan" ucapku sambil berdiri. Aku harus cari tahu tentang teman-teman Amelia. Bagaimanapun, teman mempunyai pengaruh besar ke perkembangan seorang anak. Aku harus memastikan, semua yang berhubungan dengannya adalah yang berpengaruh baik. Lingkungan rumah, lingkungan sekolah, teman
Prasetyo ....! Iya benar, ini Mas Tiok!Dia melamar kerja di tempatku? Kok bisa?! * POV Kusuma Tadi malam, aku mendapat pesan dari Pak Prasetyo. Dia ingin bertemu denganku hari ini. Bukan sebagai wakil dari Pak Prayoya, ayahnya, pemilik PT Kurnia Sakti Prayoga. Awalnya, aku pikir dia akan membicarakan proyek di Bali yang sedang dikerjasamakan dengan PT KSP itu, ternyata ada keperluan pribadi. Entah apa. Hal ini membuatku tidak nyaman, mengingat dia pernah menaruh hati kepada Maharani, istriku. "Selamat siang. Pak Prasetyo sudah menunggu di ruang meeting," kata Desi sekretarisku. Aku langsung bergegas ke ruangan itu. Rasa penasaran dengan apa yang dimauinya, jangan sampai dia akan mengganggu istriku lagi. Dari pintu kaca, terlihat di duduk dengan tenangnya. Penampilannya, aku akui dia terlihat nyentrik tetapi berkelas. Rambutnya yang lurus panjang, diikat dengan rapi. Bajunya juga memperlihatkan statusnya. Kemeja dan stelan jas yang digunakan kelihatan dari brand ternama.
Aku lambaikan tanganku ke Mbak Tias, pengasuh Baby Danis. Dia langsung datang dan mengambil anakku untuk diganti baju yang sudah belepotan oleh sisa makanan."Kegiatan sekolah bagaimana sekarang? Banyak tugas?" "Banyak, Ma. Pusing, Amel!" keluhnya."Kalau mama dulu, bikin kelompok belajar. Jadi teman-teman mama ngumpul belajar bersama di rumah. Amelia ada seperti itu?""Memang boleh teman Amelia ke rumah?" tanya Amelia menatapku minta kepastian. Tujuanku, menggiring dia untuk mengajak teman-temannya ke rumah. Dengan begitu, aku bisa mengawasinya."Boleh, dong. Untuk belajar, kan?" Dia menjawab dengan anggukan."Mama pasti dukung kegiatan kalian. Masa sekarang, kalian harus fokus dan sibuk untuk meningkatkan kualitas kalian. Main boleh, tetapi utamakan belajar," ucapku sambil mengelus rambutnya yang panjang. "Minggu depan ya, Ma. Kalau gitu, Amel hubungi temen-temen!" teriaknya senang setelah aku mengangguk tanda setuju."Siaplah," ucapku dengan tersenyum."Tapi, Kak! Boleh, dong,
"Pak Kusuma benar sudah mengijinkan aku bergabung di sini?" Kalimat pertama yang terlontar dari Mas Tiok ketika menemuiku di galeri. "Iya, sudah. Mas Suma juga menceritakan kalau Mas Tiok menemuinya.""Kenapa diceritakan. Harusnya itu rahasia antara lelaki. Aduh, aku jadi malu.""Diantara kami tidak ada rahasia. Dalam pekerjaan ataupun keseharian," jelasku."Oya Mas Tiok. Mas Suma, memperbolehkan kita bekerja sama karena dia percaya dengan Mas Tiok. Tetapi, dengan dua syarat. Pertama, panggilan kita harus formal. Saya memanggil Pak Pras, ... ""Jangan Pak Pras! Untuk di galeri, panggil aku Pak Tiok saja dan aku panggil kamu Bu Rani, kan? Ok, tidak ada masalah," potong Mas Tiok yang sekarang berganti panggilan menjadi Pak Tiok."Ada lagi satu. Tidak ada masalah pribadi di sini. Itu yang sudah saya sepakati dengan suami saya," tandasku kepada Pak Tiok.Dia tersenyum dan menghela nafas sejenak."Sebelumnya, kita harus meluruskan sesuatu. Ibu Rani, kita sudah lama kenal. Terus terang, ra
"Sebenarnya, saya dulu sempat mencarimu," ucapnya kemudian menghela napas panjang. "Sepulang dari sekolah dari Belanda, saya mendengar kamu berpisah dengan Bram. Bagiku, itu harapan yang tidak boleh aku sia-siakan. Saat itu, keluargaku sudah menyiapkan perjodohan untukku. Kabar tentangmulah yang membuatku ragu, dan menolak niat mereka. Pencarianku tidak berhasil. Eh, malah sekarang kita bertemu ketika kamu sudah bersama Pak Kusuma."Aku diam mendengarkannya. Bagaimanapun lebih baik kami berterus terang di awal, sehingga tidak ada ganjalan lagi."Saya menyadari kalau kita tidak berjodoh sebagai pasangan. Asal kamu tahu, mengetahui keadaanmu sekarang membuatku bahagia. Apapun yang terjadi, jangan usir aku dari sisimu. Terima aku sahabatmu," ucapnya dengan tegas."Jadi sampai saat ini belum menikah?" tanyaku heran. Dia terkekeh mendengar pertanyaanku."Kamu pikir, aku tidak laku? Aku sudah dua kali gagal. Pertama, gagal karena dia selingkuh. Yang kedua, dia memilih pergi karena kami
Targetku tertunda karena minggu kemarin kami harus pulang ke kampung untuk acara Akikah dan Selapanan Baby Anin. Dua hari kami di sana. Keluarga besarku merayakannya dengan meriah. Kebersamaan dan rasa gotong royong yang kental, sangat terasa. Indah sekali rasanya kalau di kampung. Tanpa kedua baby, kami juga sempatkan ke pondok sawahku. Menikmati segarnya udara di persawahan sambil makan bersama. Selera makan kami naik berlipat-lipat. "Ran, kalau kita membuat tempat makan seperti ini, pasti asyik, ya. Aku suka sekali, bisa buat relax. Tidak hanya perut yang dikenyangkan, tetapi juga pikiran!" kata Mas Suma saat itu sambil menikmati makan siang kami.Bagaimana tidak nyaman, makan di pondok yang di tengah-tengah sawah. Angin semilir dan sesekali terdengar burung berkicau.Ikan gurame goreng, tempe koro goreng, ayam kampung bakar dengan lalapan sayur dan pete goreng utuh. Dilengkapi dengan sambal tomat. Tersaji dalam satu tampah besar dan satu bakul nasi. Satu jam kemudiam, tersisa ha
Para remaja memikirkan hal taksir menaksir, pusingnya seperti mikir negara. Anak-anak ini membuatku tersenyum dengan tingkahnya ini."Kak Amel, memang Rangga anaknya seperti apa? Kok sampe buat rebutan seperti itu? Cerita dong, tentang Rangga," kataku merayu. Amelia terhenyak dari keterdiamannya dan menatapku lekat. Kemudian dia tersenyum dan mulai bercerita."Rangga itu anak tunggal, Ma. Papanya tentara dan mamanya ibu rumah tangga. Dia sering ditinggal berdua saja sama mamanya kalau papanya tugas. Dengan kami bertiga, Rangga perhatian tapi galak. Kadang-kadang lucu, tapi sering nyebelin juga, sih!" ceritanya dengan mata berbinar.Iya, perkiraanku benar. Bukan hanya anak dua itu yang suka dengan Rangga. Namun, Amelia juga.Aduh! Bakalan ada cerita cinta segi empat, nih!"Dia anak baik, kan?" tanyaku dengan nada curiga."Baik, Ma. Malah kelewat baik. Dia malah yang jagain kita kalau ada yang gangguin. Dia juga sering bantu Amel.""Terus, Rangga pilih siapa?""Tidak tahu. Mereka takut
"Mas Suma, sebelum berangkat ke kantor, mampir dulu ke ruang kerja. Ada yang ingin aku diskusikan," ucapku.Kami makan pagi berdua saja. Amelia sudah berangkat sekolah dengan membawa sandwich isi telor ceplok. Kebiasaan dia, makan pagi di mobil, dengan alasan yang tidak berubah, takut telat.Kedua baby sudah bangun. Baby Danis makan pagi dengan Mbak Tias di dekat aquarium dan Baby Anin masih berjemur di taman dengan Mbak Dwi."Baiklah. Selesai makan, kita langsung ke sana. Ran, nambah lagi!" ucap Mas Suma menyodorkan piring kosongnya. Nasi putih, sayur bayam dan empal gepuk, menu pagi ini. "Nasinya jangan segitu. Tambah dikit! Dagingnya juga, dua potong" teriaknya."Apa bisa dihabiskan? Ini piring kedua lo, Mas," ucapku heran. Tidak biasanya Mas Suma makan pagi sebanyak makan siang, seperti sekarang ini. Memang, paduan antara sayur bayam bumbu sere dan empat gepuk yang bumbunya terasa sekali, membuat badan terasa segar."Ran ... kamu ingat tidak, kamu peras aku semalaman. Makanya ja