Aku langsung ke galeri setelah singgah dari rumah sakit. Keperluanku tentang kontrasepsi sudah selesai.Pak Tiok, Aitu dan dua orang karyawan baru sudah di kantor. Aitu sudah siapkan semua berkas yang aku kirim kemarin.Kami memulai meeting dengan penjabaran awal pemikiran dari ide ini. Berawal dari tumbuhan semak yang meranggas dan tersisa batang dan dahan daun sampai terbentuk produk seperti gambar contoh. Berangkat dari sini, Irwan dan Sandi team kreatif yang baru akan mengembangkan dalam barang lainnya. Mereka juga akan menggambar detail sebagai dasar produksi, yang tentunya setelah ada persetujuan dariku."Bahan yang digunakan apakah sudah ditentukan?" tanya Irwan."Saya belum menentukan bahan yang pasti. Yang saya inginkan, tampilan harus terlihat mewah dan bersinar. Apa ada usulan?" tanyaku."Bentuk partnya slim dan ada detail ruas. Walaupun begitu harus kokoh dan kuat. Menurut saya, menggunakan bahan logam yang di beri lapisan warna krom ataupun gold. Untuk sistem kerjanya, n
Mobil itu berhenti di depan kami, dan Mas Suma keluar dengan masih memakai kaca mata hitamnya. Sejenak dia berhenti di sebelah mobilnya dan menoleh ke arah kami."Mas Suma .... " Duh, semoga dia tidak salah paham, lagi.Pak Tiok yang sudah berdiri langsung menghampiri Mas Suma. Mereka saling menjabat tangan, dan saling sapa dalam senyum. Beberapa saat mereka berbincang, entah apa yang dibicarakan. Yang tertangkap di mataku, Mas Suma tertawa terkekeh.Dengan langkah panjangnya mereka menghampiriku, aku langsung berdiri menyambut suamiku. Mas Suma langsung merengkuh pinggang dan mencium pipi kanan dan kiri ini. "Apa yang kau sampaikan ke Pak Tiok? Aku jadi penasehatnya?" bisik Mas Suma setelah menyudahi sentuhan yang membuatku melotot. Oh, ternyata Pak Tiok sudah menyampaikan masalah tadi. Lega rasanya. Kami duduk bertiga di teras gallery melanjutkan pembicaraanku dengan Pak Tiok tadi. "Iya. Mas Suma lebih berpengalaman dengan apa yang dihadapi Pak Tiok ini. Okey, saya tinggal sebe
Setelah berbincang selesai, kami langsung pamit pulang. Itu pun dengan mencolek berkali-kali memberi tanda ke suamiku untuk segera menyudahi perbincangan ini."Bu Rani, cookiesnya buat saya, ya," tanya Pak Tiok sambil menunjukkan toples kecil kepadaku."Boleh. Bawa saja, Pak. Ambil satu saja yang belum dibuka di bar," ucapku sambil merapikan bawaanku. Mas Tiok mengantar kami ke parkir, dia buru-buru mendahuluiku untuk membukakan pintu mobil untukku. "Ok, Pak Tiok. Ketemu minggu depan, ya!" teriak Mas Suma sebelum menjalankan mobilnya. Rencananya, kami akan makan malam bersama. Mas Tiok akan mengajak calon pacar-- sahabatnya-- itu, ingin memperkenalkan kepada kami. Hanya, waktu tepatnya akan di bicarakan kembali. Serasa mendadak seperti menjadi konsultan perkawinan."Seneng, ya!" tanya Mas Suma melihatku senyum-senyum."Senenglah, Mas. Akhirnya Mas Tiok mendapatkan tambatan hati. Eh, ternyata dia pernah menikah, tetapi gagal. Sampai dua kali, lo! Aku tidak menyangka.""O, pantas dia
"Mama ...." Amelia memegang lenganku dengan wajah merajuk. Keputusan Mas Suma untuk bertemu Rangga tidak bisa diganggu gugat. Apalagi sudah keluar kata 'pokoknya', sudah dipastikan tidak bisa berubah.Aku mengerti perasaan Mas Suma, dia pasti sangat kawatir akan Amelia. Dia ingin memastikan anak gadisnya tidak bergaul dengan orang yang salah. Sekarang, tugasku untuk memberi pengertian kepada Amelia. Bagaimanapun seusia dia, semakin dipaksa semakin menentang. Harus didekati dari hati ke hati. Aku harus menempatkan diri sebagai seorang sahabat bagi Amelia."Mama, bagaimana ini?" rengek Amelia."Sini sayang, Mama bilangin."Kamipun duduk di sofa panjang di depan taman, dia menyandarkan kepalanya di lenganku. "Rangga bilang ke Kakak, apa?" "Dia bilang, malam ini mau ke sini. Dia mau ngobrol sama Amelia, Ma. Tapi kenapa Papi mau ikut-ikutan, ya. Kan Amel nanti malu. Papi ini tidak asik!" teriaknya kesal."Sayang, Mama tanya. Kalau Kak Amel ke rumah orang, lebih suka dicuekin atau diajak
"Mas, mandi. Sudah sore. Ada apa, ya? Kok mondar-mandir terus."Dari aku keluar kamar mandi, dia bertingkah seperti itu. Apa tidak pusing? Aku saja melihatnya sudah terasa kepala berputar."Mas Suma!" teriakku langsung berdiri di depannya dan menatapnya."Rani, gimana caranya ngadepin temennya Amel, ya. Harus aku marahi atau bagaimana? Ih, dasar anak ABG, aneh-aneh saja. Anak itu, orangnya bagaimana, sih!"Aku menghela nafas panjang. Rasa kesal, ngregetan tercampur jadi satu. Dari tadi masalahnya itu itu saja!"Rangga, namanya. Selama aku ajak bicara, dia anaknya baik, sopan dan kelihatan pintar. Orang tuanya tentara, jadi dia dididik disiplin," kataku."Aku takut salah, Ran. Kamu tahu kan, aku selalu tidak bisa komunikasi dengan Amelia. Aku kawatir Amelia marah, padahal aku bermaksud baik.""Supaya tidak tegang, dia kita ajak ngobrol saja di ruang tengah. Ada Wisnu juga, jadi tidak tegang. Gimana?""Usul yang bagus! Istriku memang pintar dan sexy!" ucapnya.Dia menarikku dan mencium
Memiliki anak yang beranjak dewasa, tidak cukup menghidangkan makanan enak dan sehat saja. Kebutuhan mereka tidak sekedar kenyang di perut. Kami sebagai orang tua harus memberi makanan otak, iman dan hati. Makanan otak bisa kita alihkan dengan bersekolah dan pembekalan mengaji memupuk iman mereka. Walaupun tetap harus diperkuat di dalam keluarga.Sedangkan masalah hati, bertambah umur kebutuhan mereka menjadi berubah. Seperti Amelia dan Wisnu ini. Amelia sudah mulai menyukai lawan jenis, begitu juga Wisnu. Bedanya, Wisnu lebih bisa mengontrol diri. Pembekalanku dari kecil membuatnya bisa fokus dengan masa depan, mengesampingkan perasaan yang masih sekedar sesaat.Sedangkan Amelia, diumur yang belia masih terlihat bingung dengan yang dirasa. Mungkin karena sempat tidak ada seseorang yang mendampinginya, membuatnya tidak mempunyai acuan."Ma ... membuat apa?" tanya Amelia.Dia memelukku dari belakang. Badannya semakin tinggi, hampir menyamaiku. Seperti baru kemarin dia selalu menggela
Malam ini pekerjaanku menumpuk. Ada beberapa email yang belum aku buka, Aitu dan Pak Tiok sudah mengingatkanku. Kedua baby sudah bisa ditinggal, aku akan ke ruang kerja untuk membalas email. Sekalian menunggu Mas Suma yang belum kembali. Dia ada pertemuan 21 Club.Aku ke ruang kerja membawa camilan dan segelas besar jamu buatan Bik Inah. Jamu ini terbuat dari bahan kunyit, sirih, kunci, jambe dan pemanisnya dari gula jawa. Ibuku mengajarinya ketika ke sini, setelah itu, Bik Inah rutin membuatnya. Di Kulkas selalu tersedia dua botol besar. Segar sekali rasanya, apalagi dalam keadaan dingin seperti ini. Aku buka lap top dan membuka email. Pertama dari Aitu, dia menginfomasikan tentang persiapan kami untuk pameran furniture di Paris. Kami sudah mendapatkan tempat dan pembayaran sudah dilakukan. Semua yang berhubungan dengan pameran sudah siap. Untuk materinya, tanggung jawab Pak Tiok.Sebenarnya kami mendapat tawaran dari Dinas Pemerintah untuk mendapatkan fasilitas gratis di pemeran i
Hmm …. Aku tersenyum di sela aktifitas pagi ini, teringat bagaimana kami berdua tadi malam yang seakan lupa akan usia yang tidak muda lagi. Tak ubahnya pengantin baru yang sedang mabuk kepayang, aku menunggu suami dengan segala persiapan lebih sebagai ‘kucing garong’.Semua sudah ada di cek list, mulai dari rambut sampai ujung kaki sudah dibaluri wewangian yang dia suka, termasuk baju yang kurang bahan.“Sudah tidak sabar menunggu, ya? Aku pun demikian,” bisiknya sambil meraih tubuh ini, setelah meletakkan bawaannya. Tertinggal martabak special yang terabaikan karena kebersamaan kami yang sudah tak tertahan lagi.*Sebagai perempuan harus bisa berperan ganda, sebagai istri, teman, ibu, dan belum lagi disibukkan dengan pekerjaan. Kesibukan kami di Gallery semakin bertambah, bahkan aku harus setiap hari datang untuk memastikan semua dalam rencana. Padahal komunikasi kami tetap terjalin secara online, tetapi, pekerjaan kami yang lebih ke visual mengharuskan untuk tetap harus bertatap muk