Menjaga apa yang sudah ada di tangan, itu tidak gampang. Jauh lebih mudah saat meraihnya, padahal itu pun memerlukan upaya. Terlebih kalau itu berkaitan dengan hati.
“Ada Mas Suma? Kok berpikir sampai dahinya berkerut begitu. Pak Presiden saja sampai kalah, lo,” celetuk Maharani sambil duduk di sebelahku.
Setiba di rumah, rasa kangen dengan suasana biasanya begitu lekat. Setelah berbincang, kami pun masuk kamar masing-masing. Rima jadi ikut ke sini, dia sekarang bersama Amelia. Mereka terlihat akrab, mungkin ini menjawab kerinduan anakku dengan kakak perempuan. Pertanda baik, bukankah saudara dan ipar menjalin keakraban adalah sesuatu yang membanggakan?
Aku dan Maharani bersantai di teras privat depan kamar kami. Seperti biasa, dia datang membawa teh hangat dan camilan. Kebiasaan yang menyebabkan perutku tidak se-sexy dulu. Kalau aku protes, istri selalu melempar kesalahan kepadaku.
“Siapa suruh menghabiskan minuman dan camilan satu toples. Aku kan hanya menyediakan, tidak memaksa untuk memakannya, kan?”
Hmm … wanita memang tidak pernah di tempat salah. Selalu benar, dan aku pun menerima dengan lapang dada. Daripada esok hari tidak diberi makan. Iya, kan?
“Pulang dari liburan kok malah pusing. Mikirin apa, sih, Mas?”
Aku tersenyum, meraih cangkir yang dia sodorkan. Aroma menenangkan menguar, menyelusup di penciuman. Satu sesapan, rasa segar seakan menyebar. Aku rindu teh bikinan istriku ini. Selama di Bali, teh chamomile yang disajikan enak, tetapi tidak seenak saat di rumah seperti saat ini.
“Aku hanya memikirkan, kapan lagi kita berkumpul seperti kemarin. Bahkan mengundang semua teman dan kerabat dekat.”
“Untuk apa?” tanyanya sambil menerima cangkir dariku. Kemudian dia membukakan toples dan menyodorkannya. Tuh, kan. Dia yang menggodaku untuk tidak henti makan. Kalau aku tolak, pasti dia mencecar banyak pertanyaan. Tak apalah, camilan kue kering campuran parutan kelapa buatannya sangat enak.
“Aku ingin berbagi kebahagiaan. Seperti mengucapkan syukur atas semua anugrah yang dilimpahkan Tuhan. Bagaimana, kalau saat ulang tahun pernikahan kita?” ucapku melempar permintaan persetujuan.
Maharani ini wanita yang kurang menyukai pesta. Setiap tanggal pernikahan kami, dia hanya mau makan dinner berdua. Bahkan merayakan di rumah bersama keluarga saja, dia enggan.
“Pesta ulang tahun pernikahan? Apa itu tidak terdengar kekanak-kanakan? ” ucapnya sambil tertawa. Dia menyesap minuman.
“Tidak lah. Banyak kok yang merayakan. Pesta pun juga sering aku dengar.”
Dia tersenyum sambil meletakkan cangkir, sambil beringsut ke arahku. “Yang sering aku dengar melakukan pesta meriah itu, pesta pernikahan emas. Setelah usia pernikahan lima puluh tahun, Mas.”
Sekarang gantian aku yang tertawa. “Kenapa untuk bersyukur saja menunggu sampai lima puluh tahun, Ran. Itu lama banget.”
“Ya daripada kita baru tujuh tahun sudah ingin pesta-pestaan. Apa tidak membuang-buang uang saja? Lebih baik uangnya__”
“Ditabung? Digunakan untuk beramal?” sahutku cepat. Aku sudah hapal dengan apa yang akan dilontarkan.
Dia mengangguk. “Nah itu sudah mengerti,” serunya sambil tertawa.
“Ran. Untuk ditabung, aku sudah ada dana sendiri. Untuk beramalpun sudah dialokasikan setiap bulan, bahkan kamu tahu kita mempunyai yayasan untuk mengolah dana itu. Bukti syukur dengan mengumpulkan orang, bukan hal membuang uang yang kalau ada dana untuk itu. Justru kita menularkan kebahagiaan kepada orang lain,” ucapku bersikukuh.
“Tapi itu juga memantik orang lain mencibir, Mas. Baru tujuh tahun sudah lebay.”
“Itu untuk orang yang pikirannya picik dan dipenuhi pikiran negatif. Kita harus abaikan itu. Kalau bisa, jangan diundang. Lebih baik kita berkumpul dengan orang-orang yang berpikir positif. Yang berpikir kalau diusia tujuh tahun sudah berhasil melewati segala ujian. Banyak lo, pernikahan yang tumbah di usia itu. Anaknya masih kecil-kecil, suaminya selingkuh dengan rekan kerja. Sekertaris lah, asisten lah. Bahkan Client. Terus, apa salahnya kita bersyukur, siapa tahu juga mengingatkan pasangan yang lain. Iya, kan?”
“Iya, iya. Sebentar. Kalau begitu, namanya apa, ya?” ucap Maharani sambil mengambil ponsel.
Dia membuka artikel urutan istilah usia pernikahan. Dari yang dia lakukan, pertanda istriku ini menyetujui rencanaku. Aku akan siarkan ke dunia kalau pernikahanku sangan membahagiaan.
Siapa bilang tujuh tahun itu waktu yang sebentar? Bertahan dengan orang yang sama dengan segala keunikan, itu sudah prestasi yang besar. Kadang sesuatu yang tidak masuk nalar. Coba kita bersama dengan orang yang sama, satu minggu saja. Pasti bosan. Namun, di pernikahan ini justru mencandui. Sudah menjadi kebiasaan seperti bernapas. Kalau dilalui terasa biasa, tetapi kalau dilupakan akan menyebabkan kita mati.
Itu yang aku rasakan bersama Maharani.
“Ternyata semua ada istilahnya, Mas,” ucapnya dengan mata tanpa teralih dari layar ponsel. Matanya berbinar.
“Paper, cotton, leather, fruit and flower, wood, sugar, dan kalau tujuh itu wool,” ucapnya kemudian menatapku dengan dahi berkerut. “Pernikahan Wool. Kok aku tidak pernah dengar, ya? Bagusan pernikahan sugar, terkesan manis. Tapi itu kan sudah lewat.”
“Sugar itu untuk enam tahun?”
“Iya.”
“Kalau begitu sekarang saja kita rayakan,” sahutku sambil melebarkan mata. Ide bagus kalau pesta itu disegerakan.
Perayaan ini bagiku tidak sekadar makan-makan. Lebih dari itu. Aku ingin mengukuhkan ke dunia, siapa saja yang menjadi keluargaku. Maharani, Wisnu, Amelia, Denish, dan Anind, adalah keluarga Kusuma Adijaya.
Titik.
Selain itu hanya nama-nama masa lalu yang tidak boleh mengusik kebahagiaan. Termasuk nama Bramantya dan Dewi.
“Bagaimana, Ran? Setuju, kan? Kita tinggal hubungi Event Organizer dan terima beres. Wisnu suruh terbang saja sebentar.”
Dia malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Mas Suma ini, lo. Kumat. Kalau ada maunya ingin sekarang-sekarang juga. Tidak, ah! Aku tidak ingin melakukan sesuatu secara tergesa. Aku ingin mendesign syukuran ini dari sini,” ucapnya sambil menunjuk hati.
“Tapi, Ran,” ucapku dengan memasang wajah merengut. Walaupun dalam hati aku bersorak, dia menyetujui rencanaku untuk tujuh tahun kami.
“Pokoknya wool saja. Wool itu menghangatkan dan melindungi. Jadi pernikahan kita di saat wool tidak sekadar manis-manisnya, saja!” serunya menjelaskan arti yang dia baca dari ponsel. Dia menyerahkan ponsel.
“Ya sudah kalau begitu,” ucapku pura-pura mengalah sambil menerima ponsel yang masih menunjukkan arti simbol pernikahan. Padahal aku merayakan kemenangan.
Ulang tahun pernikahan tujuh tahun yang dilambangkan wool memberi makna kehangatan. Bahkan yang membuatku mengernyit, di dunia Barat justru menyebut pernikahan ke tujuh tahun itu, 7-Year Itch. Itch yang artinya gatal, yang dimaksud permasalahan yang bertubi-tubi. Ternyata dari artikel ini menunjukkan banyak yang tumbang di usia pernikahan ini.
Mereka beranggapan, setelah usia ini akan ada perubahan pandangan dan tujuan. Memang benar, sih. Menurutku, kami mulai masuk hubungan dewasa. Kebersamaan sudah menjadi kebiasaan yang harus.
“Ran .…”
“Apa?”
Aku meletakkan ponsel di meja di sebelah toples camilan. Kemudian beranjak berdiri sambil menarik tangannya.
“Mau apa, Mas?”
Aku tersenyum sambil menaik-naikkan alis mata.
“Tahun ini kita kan posisi tahun sugar. Saat manis-manisnya, kan?”
Dia tersenyum, tangan satunya mengusap lenganku. Mendekatkan diri sambil berbisik. “Penasaran, manisnya seberapa, sih?”
‘Hmm … dia membangkitkan macan tidur. Rasakan ini. Temannya macan sudah menggeliat,’ bisik hatiku sambil mendorongnya masuk dan menutup pintu.
*****
Ingin aku igh!Dia memang tidak langsing atau ber-body bak gitar Spayol. Namun, kebersamaan dengannya membuat diri ini segar kembali. Harum dan hangat tubuh yang mampu melemparkan aku berenang di atas awan, mendaratkan ke taman indah yang tidak mampu menghentikan senyuman.“Selalu aku merindukan kamu,” bisikku sambil menarik tubuhnya yang masih lembab karena gerakan yang berlebih. Rambut ikal hitam menguar keharuman, tidak menyurutkan aku untuk menciumnya.“Kenapa?” Aku mengernyit saat dia beringsut memberi jarak. Dia meraih satu selimut untuk memberi batas.“Supaya tidak bersentuhan langsung,” jawabnya setelah menyelesaikannya.“Kamu takut?”“Kebiasaannya gitu, kan? Kalau deketan lagi, minta nambah.”Aku tertawa melihat matanya yang membulat sambil menggerakkan dagu. Terbersit untuk menggodanya. Kaki aku kalungkan di pinggangnya, membuatnya tidak bisa bergerak dan hanya bisa mendengus.“Mas lepaskan.”“Tidak,” ucapku sambil tersenyum dan menariknya ke dalam pelukan.“Kamu tidak malu?
“Kamu cuci dulu, kemudian kupas, baru dipotong-potong dadu untuk wortel dan kentangnya. Kalau buncis dipotong senada.” Aku menyerahkan satu baskom ukuran sedang ke Rima. Ceritanya sekarang ini, kami sedang praktek membuat masakan praktis. Sop daging. Setelah kejadian semalam, ternyata Rima pesan makanan di luar. Katanya itu restoran tempat langganan keluarga Lee. Rasanya enak dan patut dijadikan langganan.Gadis itu tidak hanya meminta layanan antar, dia juga meminta untuk menyiapkan makanan langsung di meja makan. Pantas saja penyajiannya terlihat standar restoran.Aku tidak bisa protes, karena kegagalan menyiapkan makanan karena si pengajar-aku-justru bergelung di balik selimut.“Maafkan Tante, ya. Tidak jadi praktek masak,” ucapku, kemudian menyenggol kaki Mas Suma sambil mendengus ke arahnya. Dia hanya tersenyum dan asyik melanjutkan menikmati sup tofu.“Rima yang minta maaf, Tante. Rima tidak bisa masak.” Gadis itu mengerjap dengan sorot mata menyesal.“Besok saja kita praktek
“Mas Suma. Mami datang!” seruku setelah berlari menujua ruang baca. Mas Suma yang sedang membaca buku, menundukkan kepala bersamaan dengan menurunkan gagang kaca mata, dan mata ke menatapku. “Memang kenapa?” “Aku belum cerita tentang Rima. Nanti Mami marah seperti biasanya kalau ketinggalan berita,” ucapku mengingatkan yang sudah-sudah. Nyonya Besar terkadang merasa tidak dihargai kalau tidak diikutkan pada hal-hal pribadi. Terlebih ini mengenai Rima, calonnya Wisnu-jadi calon anggota baru keluarga ini. Memang Wisnu buka cucu kandung, tetapi rasa sayang mertuaku kepada anakku tidak dibedakan. “O, gitu. Ya tinggal suruh anak dua itu jalan-jalan ke mall. Jadi kalau Mami ke sini tidak ketemu Rima dulu. Nanti setelahnya, baru kita ajak dia sowan ke rumah Mami. Gitu saja kok repot,” ucapnya sambil menggerakkan tangan memposisikan kaca mata ke semula. “Mas ….” “Apalagi?” Kali ini dia mengernyit. Aku menunduk, mendekat padanya. “Masalahnya Mami sudah di sini.” Sesaat Mas Suma diam dan
Menantu perempuan dan mertua perempuan bisa menjadi teman, tetapi bisa juga menjadi saingan. * “Kamu sudah mengenal Rima berapa lama?” Nyonya Besar melontarkan pertanyaan sambil menaruh cangkir di meja, tanpa menatapku. “Kalau bertemu langsung, baru satu minggu, Mi. Tapi, saya dan Mas Suma sudah lama mendapat ceritanya dari Wisnu.” Kakiku merapat dengan jemari tangan terkait bertumpu di pangkuan. Mataku berposisi siap menatap mertuaku yang mengernyitkan dahi. “Bukannya kalian baru kembali dari Bali?” Dahinya semakin berkerut, dan sekarang telunjuknya bergerak. “Jadi kalian …?” “Iya. Mami. Kami bertemu di Bali. Rima pun juga ke sana saat menjenguk Wisnu, makanya dia kami ajak liburan bersama.” Tangannya bergerak ke atas, merapikan sasakan rambut yang begitu tinggi. Menolehkan kepala ke arah cermin di sebelahnya. Seakan mematut, supaya penampilannya tidak berubah. Aku masih belum berani bernapas lega. Sikap Mami terkadang tidak bisa terbaca. “Kalian ini begitu berani, ya. Memasuk
“Kamu diapain?” tanya Mas Suma menyambutku ketika membuka pintu kamar. Ini berarti selama aku berbincang dengan Nyonya Besar dia bersiap di depan sini. “Ngobrol saja. Mami kangen sama aku,” ucapku sambil bergegas ke belakang. Aku mencari Bik Inah. Sekarang gilirannya menemani mertuaku untuk melanjutkan tugas seperti biasanya. Pijit. Ini sudah seperti syarat wajib kalau Mami berkunjung. Sentuhan tangan Bik Inah di kedua kaki menjadi rutinitas. Bukan Mas Suma kalau dia sabar menunggu. Tanganku di cekal sebelum keluar pintu belakang. “Kamu tidak dimarahi, kan?” Aku tersenyum. Melihat matanya yang menyorotkan kekawatiran. “Nanti aku cerita di kamar. Sebentar aku cari Bik Inah dulu.” “Ran__” “Sebentar. Mas Suma mau Mami marah karena tidak segera dipijit?” ucapku memaksa dia melepas tangannya. Seakan sadar, seketika tangannya terangkat. “Ok! Ok! Aku tunggu di kamar. Jangan lama-lama. Penasaran,” ucapnya sambil mencolek pipi ini dan berlalu. Baru saja membuka pintu belakang, Bik Inah
“Tidak marah, kan?”“Sekarang tidak. Tapi nanti setelah Mami pulang, I-YA!” jawabku dengan melototkan mata. Cerita yang aku rangkum tentang pembicaraan dengan Nyonya Besar, menguap begitu saja. Sekarang terganti dengan menuntut penjelasan apa yang dibicarakan Mas Suma.Rasa kesal masih terasa lekat, setelah mendengar pengakuannya. Namun, kemarahan ini harus ditunda karena ketukan pintu dan suara Amelia. Tidak mungkin aku menunjukkan kekesalan di depan mertuaku nanti. Bisa-bisa masalah menjadi besar dan berkembang.“Mama! Papi! Semua sudah siap.”Aku bergegas berdiri dan diikuti Mas Suma yang berusaha mensejajari. “Marah kok bersambung,” celetuknya sambil meraih tangan ini. Aku menepisnya kesal. Dia justru tertawa.Terdiam beberapa saat dan menghirup udara saat tangan ini memegang gagang pintu. Aku harus merubah wajah kesalku dengan senyuman gembira.Ceklek.“Ma. Eyang, Amelia panggil sekarang, ya? Meja sudah siap ditata. Kita makan bersama sekarang saja. Amelia sudah lapar,” ucapnya s
Seorang istri memang terlihat suka ngeyel. Bahkan sering disematkan label kalau istri itu selalu benar dan tidak mau dibantah. Namun, apakah dimengerti kalau di hati istri sebenarnya adalah kebalikannya?Dia meletakkan dirinya di nomor terakhir dari seluruh anggota keluarga. Entah itu anak ataupun suami. Di balik sikapnya yang terkesan tidak mau dibantah, sebenarnya dia selalu mengalah. Hati dan perasaannya dia abaikan demi keluarga. Seperti sekarang ini, aku bersiap memenuhi undangan keluarga Dewi--mantan istri Mas Suma, ibu kandung Amelia.“Apa tidak ada alasan supaya aku tidak harus datang? Bilang saja aku tidak enak badan. Kamu bisa datang bersama Amelia.”Mas Suma tersenyum, berpindah duduk di sebelahku. “Kalau aku memberi alasan seperti itu, yang ada di pikiran mereka bukan tidak enak badan. Tetapi tidak enak hati.”“Memang iya,” sahutku sambil tersenyum miring.Hal yang paling aku benci saat mendapat tuduhan yang tidak aku lakukan. Aku menerima cacian dan makian kalau aku salah
Jajaran mobil menyambut kami, menunjukkan seberapa besar syukuran yang katanya sederhana ini. Beberapa pegawai dengan seragam restoran yang aku tahu pun menyambut kami. Pantas saja, Dewi mengeluh kerugian karena mengundurkan tanggal acara ini. Pasti anggarannya tidak sedikit.Masih belum masuk di kepalaku, kenapa Patrick suami Dewi bersikukuh seperti itu. Hanya gara-gara Mas Suma tidak bisa menghadiri acara ini. Walaupun tadi di perjalanan Mas Suma sempat mengungkapkan penyebabnya, katanya dia berbincang langsung dengan Patrick melalui telpon kapan hari.Untungnya, mobil dikemudikan oleh Pak Maman. Jadi aku leluasa mengorek ini kepada Mas Suma.“Patrick itu mengadakan syukuran karena masih diberi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dalam keadaan baik-baik saja. Dan katanya, itu karena aku. Kalau aku tidak datang, dia merasa tidak lengkap. Karena ini sebagai rasa terima kasih kepadaku.”“Segitunya?”“Iya, lah, Ran. Dia itu keluar penjara lebih cepat karena aku. Rahasia kejahata