Bab 580. Rencana

Menjaga apa yang sudah ada di tangan, itu tidak gampang.  Jauh lebih mudah saat meraihnya, padahal itu pun memerlukan upaya. Terlebih kalau itu berkaitan dengan hati.

“Ada Mas Suma? Kok berpikir sampai dahinya berkerut begitu. Pak Presiden saja sampai kalah, lo,” celetuk Maharani sambil duduk di sebelahku.

Setiba di rumah, rasa kangen dengan suasana biasanya begitu lekat. Setelah berbincang, kami pun masuk kamar masing-masing. Rima jadi ikut ke sini, dia sekarang bersama Amelia. Mereka terlihat akrab, mungkin ini menjawab kerinduan anakku dengan kakak perempuan. Pertanda baik, bukankah saudara dan ipar menjalin keakraban adalah sesuatu yang membanggakan?

Aku dan Maharani bersantai di teras privat depan kamar kami. Seperti biasa, dia datang membawa teh hangat dan camilan. Kebiasaan yang menyebabkan perutku tidak se-sexy dulu. Kalau aku protes, istri selalu melempar kesalahan kepadaku.

“Siapa suruh menghabiskan minuman dan camilan satu toples. Aku kan hanya menyediakan, tidak memaksa untuk memakannya, kan?”

Hmm … wanita memang tidak pernah di tempat salah. Selalu benar, dan aku pun menerima dengan lapang dada. Daripada esok hari tidak diberi makan. Iya, kan?

“Pulang dari liburan kok malah pusing. Mikirin apa, sih, Mas?”

Aku tersenyum, meraih cangkir yang dia sodorkan. Aroma menenangkan menguar, menyelusup di penciuman. Satu sesapan, rasa segar seakan menyebar. Aku rindu teh bikinan istriku ini. Selama di Bali, teh chamomile yang disajikan enak, tetapi tidak seenak saat di rumah seperti saat ini.

“Aku hanya memikirkan, kapan lagi kita berkumpul seperti kemarin. Bahkan mengundang semua teman dan kerabat dekat.”

“Untuk apa?” tanyanya sambil menerima cangkir dariku. Kemudian dia membukakan toples dan menyodorkannya. Tuh, kan. Dia yang menggodaku untuk tidak henti makan. Kalau aku tolak, pasti dia mencecar banyak pertanyaan. Tak apalah, camilan kue kering campuran parutan kelapa buatannya sangat enak.

“Aku ingin berbagi kebahagiaan. Seperti mengucapkan syukur atas semua anugrah yang dilimpahkan Tuhan. Bagaimana, kalau saat ulang tahun pernikahan kita?” ucapku melempar permintaan persetujuan.

Maharani ini wanita yang kurang menyukai pesta. Setiap tanggal pernikahan kami, dia hanya mau makan dinner berdua. Bahkan merayakan di rumah bersama keluarga saja, dia enggan.  

“Pesta ulang tahun pernikahan? Apa itu tidak terdengar kekanak-kanakan? ” ucapnya sambil tertawa. Dia menyesap minuman.

“Tidak lah. Banyak kok yang merayakan. Pesta pun juga sering aku dengar.”

Dia tersenyum sambil meletakkan cangkir, sambil beringsut ke arahku. “Yang sering aku dengar melakukan pesta meriah itu, pesta pernikahan emas. Setelah usia pernikahan lima puluh tahun, Mas.”

Sekarang gantian aku yang tertawa. “Kenapa untuk bersyukur saja menunggu sampai lima puluh tahun, Ran. Itu lama banget.”

“Ya daripada kita baru tujuh tahun sudah ingin pesta-pestaan. Apa tidak membuang-buang uang saja? Lebih baik uangnya__”

“Ditabung? Digunakan untuk beramal?” sahutku cepat. Aku sudah hapal dengan apa yang akan dilontarkan.

Dia mengangguk. “Nah itu sudah mengerti,” serunya sambil tertawa.

“Ran. Untuk ditabung, aku sudah ada dana sendiri. Untuk beramalpun sudah dialokasikan setiap bulan, bahkan kamu tahu kita mempunyai yayasan untuk mengolah dana itu. Bukti syukur dengan mengumpulkan orang, bukan hal membuang uang yang kalau ada dana untuk itu. Justru kita menularkan kebahagiaan kepada orang lain,” ucapku bersikukuh.

“Tapi itu juga memantik orang lain mencibir, Mas. Baru tujuh  tahun sudah lebay.”

“Itu untuk orang yang pikirannya picik dan dipenuhi pikiran negatif. Kita harus abaikan itu. Kalau bisa, jangan diundang. Lebih baik kita berkumpul dengan orang-orang yang berpikir positif. Yang berpikir kalau diusia tujuh tahun sudah berhasil melewati segala ujian. Banyak lo, pernikahan yang tumbah di usia itu. Anaknya masih kecil-kecil, suaminya selingkuh dengan rekan kerja. Sekertaris lah, asisten lah. Bahkan Client. Terus, apa salahnya kita bersyukur, siapa tahu juga mengingatkan pasangan yang lain. Iya, kan?”

“Iya, iya. Sebentar. Kalau begitu, namanya apa, ya?” ucap Maharani sambil mengambil ponsel.

Dia membuka artikel urutan istilah usia pernikahan. Dari yang dia lakukan, pertanda istriku ini menyetujui rencanaku. Aku akan siarkan ke dunia kalau pernikahanku sangan membahagiaan.

Siapa bilang tujuh tahun itu waktu yang sebentar? Bertahan dengan orang yang sama dengan segala keunikan, itu sudah prestasi yang besar. Kadang sesuatu yang tidak masuk nalar.  Coba kita bersama dengan orang yang sama, satu minggu saja. Pasti bosan. Namun, di pernikahan ini justru mencandui. Sudah menjadi kebiasaan seperti bernapas. Kalau dilalui terasa biasa, tetapi kalau dilupakan akan menyebabkan kita mati.

Itu yang aku rasakan bersama Maharani.

“Ternyata semua ada istilahnya, Mas,” ucapnya dengan mata tanpa teralih dari layar ponsel. Matanya berbinar.

“Paper, cotton, leather, fruit and flower, wood, sugar, dan kalau tujuh itu wool,” ucapnya kemudian menatapku dengan dahi berkerut. “Pernikahan Wool. Kok aku tidak pernah dengar, ya? Bagusan pernikahan sugar, terkesan manis. Tapi itu kan sudah lewat.”

“Sugar itu untuk enam tahun?”

“Iya.”

“Kalau begitu sekarang saja kita rayakan,” sahutku sambil melebarkan mata. Ide bagus kalau pesta itu disegerakan.

Perayaan ini bagiku tidak sekadar makan-makan. Lebih dari itu. Aku ingin mengukuhkan ke dunia, siapa saja yang menjadi keluargaku. Maharani, Wisnu, Amelia, Denish, dan Anind, adalah keluarga Kusuma Adijaya.

Titik.

Selain itu hanya nama-nama masa lalu yang tidak boleh mengusik kebahagiaan. Termasuk nama Bramantya dan Dewi.

“Bagaimana, Ran? Setuju, kan? Kita tinggal hubungi Event Organizer dan terima beres. Wisnu suruh terbang saja sebentar.”

Dia malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mas Suma ini, lo. Kumat. Kalau ada maunya ingin sekarang-sekarang juga. Tidak, ah! Aku tidak ingin melakukan sesuatu secara tergesa. Aku ingin mendesign syukuran ini dari sini,” ucapnya sambil menunjuk hati.

“Tapi, Ran,” ucapku dengan memasang wajah merengut. Walaupun dalam hati aku bersorak, dia menyetujui rencanaku untuk tujuh tahun kami.

“Pokoknya wool saja. Wool itu menghangatkan dan melindungi. Jadi pernikahan kita di saat wool tidak sekadar manis-manisnya, saja!” serunya menjelaskan arti yang dia baca dari ponsel. Dia menyerahkan ponsel.

“Ya sudah kalau begitu,” ucapku pura-pura mengalah sambil menerima ponsel yang masih menunjukkan arti simbol pernikahan. Padahal aku merayakan kemenangan.

Ulang tahun pernikahan tujuh tahun yang dilambangkan wool memberi makna kehangatan. Bahkan yang membuatku mengernyit, di dunia Barat justru menyebut pernikahan ke tujuh tahun itu, 7-Year Itch. Itch yang artinya gatal, yang dimaksud permasalahan yang bertubi-tubi.  Ternyata dari artikel ini menunjukkan banyak yang tumbang di usia pernikahan ini.

Mereka beranggapan, setelah usia ini akan ada perubahan pandangan dan tujuan. Memang benar, sih. Menurutku, kami mulai masuk hubungan dewasa. Kebersamaan sudah menjadi kebiasaan yang harus.

“Ran .…”

“Apa?”

Aku meletakkan ponsel di meja di sebelah toples camilan. Kemudian beranjak berdiri sambil menarik tangannya.

“Mau apa, Mas?”

Aku tersenyum sambil menaik-naikkan alis mata.

“Tahun ini kita kan posisi tahun sugar. Saat manis-manisnya, kan?”

 Dia tersenyum, tangan satunya mengusap lenganku. Mendekatkan diri sambil berbisik. “Penasaran, manisnya seberapa, sih?”

‘Hmm … dia membangkitkan macan tidur. Rasakan ini. Temannya macan sudah menggeliat,’ bisik hatiku sambil mendorongnya masuk dan menutup pintu.

*****

Capítulos gratis disponibles en la App >

Capítulos relacionados

Último capítulo