Keranjang rotan yang diberikan ibu, aku letakkan di meja.Paket jamu pengantin dari Jamu Super Ratu, tersenyum aku membacanya. Dari madu, jamu cair, jamu serbuk bahkan ada seperti tablet. Aku belum sempat menyentuhnya. Diusia sekarang, Ibu dan Nyonya Besar masih bisa memikirkan segala sesuatu untuk anaknya. Sampai hal sekecil-kecilnya, seperti ini.Lupakanlah tentang pemaksaan mereka. Yang membuatku haru adalah niatnya.Dan, membuat kami bahagia.*Badanku terasa segar.Sekitar dua jam kami tertidur nyenyak. Entah, karena kelelahan atau karena ada yang menemani. Aroma dan hangat tubuhnya membuatku semakin membenamkan wajah ini di dadanya. Rasa nyaman yang menguar membuat kami tertidur sambil berpelukan."Mas Suma, bangun," bisikku pelan, kulepaskan tangannya dari tubuh ini. Helaan napas yang teratur membuat wajahnya terlihat damai. Dia masih tertidur pulas.Guyuran air, pasti membuat badan ini lebih segar. Setelah membersihkan badan, aku menyiapkan teh hangat. Seperti villa sebel
Ya, mereka Mas Bram bersama wanita cantik di sampingnya. Pasti, dia adalah istrinya. Dadaku terasa berat. Bagaimanapun, mereka berdualah yang menghancurkan kebahagiaanku dulu. "Mas Suma!" teriakku memanggilnya lirih, seperti minta perlindungan. Digenggamnya tanganku dan diusap lembut seakan memberi kekuatan. Aku tidak menyangka akhirnya kami tertemu. Ada rasa sakit melihat kebersamaan mereka. Bukan karena cinta atau benci, tetapi teringat kenangan menyakitkan yang sudah aku kubur dalam-dalam."Rani, semoga kamu bahagia selalu, ya," kata Mas Bram terdengar serak."Pak Kusuma, tolong jaga Rani dan tolong bahagiakan dia," ucapnya setelah berpaling ke arah Tuan Kusuma. Mereka saling jabat tangan dan berpelukan. Sekilas ada air mata yang mengambang di mata Mas Bram. "Mbak Rani, saya Wulan. Selamat, ya dan Maafkan saya," ucap wanita yang bersama Mas Bram. Betul, dia Wulan istri Mas Bram. Dengan ragu dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku diam dan menatapnya sejenak kemudian menghela
Benar-benar kami terisolasi. Hanya pegawai hotel yang datang sekadar membersihkan dan menyiapkan makanan. Selain itu, tidak ada. Dengan dalih tidak mau mengganggu. Ibu, Widya, Wisnu dan keluargaku pun pamit pulang lewat video call, itupun dari ponsel Mas Suma. Ponselku masih dibawa Nyonya Besar. Tidak ada teman dan ponsel, hanya kami berdua, aku dan Mas Suma.Aku tidak bisa membedakan, aku ini istrinya atau tawanannya.Manisnya kebersamaan ini membuatnya tidak sedetikpun beranjak dariku. Hujanan kata cinta membanjiriku. Dia begitu manis dan tak terkendali. Tingkat kemanjaannya naik seribu persen. Menikah dengan pria berstatus duda, memang berbeda. Dia seperti anak panah yang melesat tidak terhentikan. Untungnya, statusku yang seorang janda, bisa mengimbangi apa kemauannya. Walaupun, tetap berakhir dengan tubuh remuk redam. Aku kangen dengan rutinitasku, terlebih memasak. Kegiatan ini membuatku merasa bebas, bisa mengekspresikan semua yang kita ingin. Ada kepuasan di situ."Ra
Bab 55. Aku Menjadi KitaMalam ini, terakhir kami di hotel ini. Akhirnya kami bisa makan di luar. Mas Suma membuat reservasi di restoran hotel ini juga, tetapi yang di roof top. Udara terasa segar, dengan pemandangan kota dari atas membuat suasana terasa indah. "Bagaimana? Senang?" tanyanya ketika kami baru tiba dan masih menikmati pemandangan sekitar."Terasa segar. Selama ini kita seperti terkungkung di kamar, akhirnya ....," ucapku lirih. Kuhirup udara dalam-dalam. Aku pejamkan mata, menikmati angin yang membelai kulitku. Terasa nyaman dan bebas."Kamu kan, tawananku. Tawanan cinta," bisiknya ditelingaku. Tersentak aku, ketika bibir ini diciumnya sekilas. "Jangan suka memejamkan mata seperti ini, membuatku tidak tahan," bisiknya lagi."Mas Suma! Ini tempat umum," protesku mencembik.Dia hanya tersenyum menang, ditariknya kursi untukku. Kami makan di meja bulat dengan duduk berhadapan. Dia kelihatan mempesona, dengan wajah segar yang selalu menyungging senyuman.Penerangan lilin
"Mama ...!"Suara Amelia memecah kesunyian rumah ini. Suara yang aku rindukan. Rumah langsung berasa hidup.Aku yang di lantai atas, segera keluar kamar. Suara langkah kaki berlari menaiki tangga seakan tidak sabar. Aku sangat merindukannya, rindu senyumnya, ketawanya, rengekannya, bahkan teriakkannya.Amelia, kamu sekarang adalah putriku. "Ameeel ... !" teriakku juga.Kami berlari saling menghampiri, seperti adegan di film India saja. Kami saling perpelukan dan aku hujani ciuman di pipinya yang gembul ini. "Mama ...," bisiknya lirih.Kepalanya dipendamkan di dadaku. "Akhirnya, Amel bisa panggil mama," tambahnya lirih.Kata-katanya membuat sesak dadaku menahan haru, lidahku kelu dan mataku mulai mengembun. Anak ini, sangat menginginkan kasih dari seorang ibu. Aku berjanji, akan sangat menyayanginya seperti anakku sendiri."Amel kangen!" katanya serak, ada isakan tertahan di sana. Wajahnya semakin disembunyikan di pelukanku."Sayang, Mama sudah di sini kenapa menangis? Sudah besar
Aku langsung terkejut dengan dengan ucapannya. Sontak, dudukku langsung tegak dan menghadap ke arahnya. "Mas!" Aku berteriak dengan mata membulat dan kedua alis berkerut berusaha mencari tahu yang terjadi. Apa aku melakukan kesalahan? Atau dia cemburu yang tidak beralasan seperti biasanya? Atau .... Banyak spekulasi berputar di kepalaku."Iya aku menyesal!" ucapnya lagi. "Aku menyesal, kenapa tidak dari dulu, kamu aku paksa menikah denganku!" katanya dengan tersenyum jahil dan menarikku kembali ke posisi semula.Iiihh.... Bikin kesal! Aku cubit pinggangnya untuk mengalihkan kekesalanku. Sudah mulai pintar dia menjahiliku. "Aw!" teriaknya mengaduh. "Benar kan, Rani! Kalau menikah denganmu enaknya seperti ini, kenapa harus buang waktu! Ha-ha-ha."Udara dingin ini membuatku semakin membenamkan di pelukannya untuk mencari kehangatan. Sembari mengingat lika-liku perjalanan kisah kami. Akhirnya, di titik inilah kami, menautkan hati untuk bersama selamanya. "Mama ...! Papi ...!" ter
"Rani, kamu istirahat saja! Simpan tenaga!"Mas Suma menarik tempat duduk di meja makan. Dia memperhatikanku yang sibuk mempersiapkan apa saja yang harus memasak. Bahan-bahan sudah dibersihkan Bik Inah seperti yang aku minta. "Bik Inah, saya akan pergi dengan bapak. Tolong bersihkan ayam setelah itu kasih perasan jeruk nipis. Kalau daging, ini dipotong tipis lebar, yang ini potong dadu. Kalau ikannya dibersihkan dan direndam jeruk nipis. Siang, kami sudah pulang," pesanku tadi pagi.Pagi tadi, kami ke kantor Mas Suma. Syukuran pernikahan kami sekaligus memperkenalkanku kepada semua staff di sana. Desi juga memperkenalkan rekan sekretarisnya yang nantinya akan menghandle urusanku sekaligus akan membantuku di gallery nantinya. Namanya, Lukito, anak muda sekitar umur dua puluh an. Kelihatan dia energik dan semangat."Rani, masaknya banyak sekali!" teriak Mas Suma dari meja makan. Dia heran melihat banyaknya bahan di meja dapur. Sekarang ruang kerja jarang dipakai, dia lebih sering ke
Bab 59. Menggadaikan Kebebasan Hari ini, hari terakhir di rumah sebelum berangkat besuk pagi. Aku mulai mempersiapkan apa yang akan dibawa hari besuk. "Ran, apa yang kamu lakukan?" tanyanya melihatku mengeluarkan baju untuk dibawa besuk."Packing, Mas. Untuk besuk!" kataku tanpa melihatnya. Bajuku, baju Mas Suma, alat mandi, make-up dan printilan lainnya."Honey, kita tidak usah bawa apa-apa. Bawa peralatan pribadi saja. Semua baju dan perniknya sudah disiapkan Claudia di hotel masing-masing," jelasnya sambil tersenyum.Akupun menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Maksudnya, kami disiapkan baju baru lagi oleh Claudia. Apa tidak pemborosan? "Sedikit demi sedikit, kamu harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan kami. Tepatnya, keharusan kami," ucapnya sambil menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. "Kita, dituntut bersikap dan berpenampilan number one. Image kita, wajib dijaga. Karena, kita adalah wajah perusahaan. Besuk, kita akan menjadi pusat perhatian banyak mata dan bah