Sempat tangan ini mengepal erat. Gigi gerahamku menggeletuk menahan amarah. Kecurigaanku semakin bersarang. Pikiranku bergulir dan mengarah kepada satu nama, Kusuma Adijaya.Bisa jadi kekuasaan yang ada ditangannya, dan rasa ingin balas dendam membulatkan niat untuk menghancurkan aku. Mungkin saja dia tidak menerima melihatku baik-baik saja, bahkan semakin terlihat bahagia. Aku yang orang khalayak memberi label seorang penghianat, bisa menjalani hidup dengan bahagia. Tanpa ada rasa sakit atau hukuman yang sering mereka kumandangkan.“Proses penunjukkan perusahaan vendor tetap dilakukan seperti biasanya, tingkat nasional dan terbuka. Perusahaan Pak Bram gagal menyelesaikan sesuai perjanjian, jadi perusahaan penerus jatuh pada perusahaan kandidat kedua,” ucap karyawan kantor di ibu kota.Niat ini untuk mengkonfrontasi dengan segala asumsi yang bersifat subyektif, akhirnya luruh seketika. Langkah ini mundur teratur dan terpaksa menyerah. Otak warasku mampu mengambil alih emosi yang ti
“Semua sudah diselesaikan sesuai arahan,” ucap Desi setelah meletakkan berkas di meja. Aku mengacungkan jempol, kemudian meregangkan tubuh mengurai penat yang beberapa hari ini mencengkeram. Begitu banyak yang aku pikirnya dan harus diselesaikan, memaksaku mengeluarkan energi dan emosi melebihi ambang batas. Kalau pekerjaan hanya melihatkan isi kepala, aku sudah biasa. Sedangkan ini aku harus melibatkan hati. Mulai mengatur pembiayaan perusahaan Pak Santoso, pembentukan perusahaan yang akan mendukung Wisnu, dan menyelesaikan proyek yang menyangkut nama Bramantyo. Aku mengambil berkas yang diletakkan Desi. Berkas berwarna orange, yang berisi bagaimana aku sanggup menghukum seseorang yang mencoba mendekati istriku. Aku tidak akan mengusik seseorang, kalau dia tidak mendahuluinya. “Hanya ini yang kamu dapat beberapa hari ini?” Sosok berperawakan tinggi besar dan menggunakan jaket hitam, menyatukan tangannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk. Dia mengangguk. “Itu yang terjangkau
Anak dari suatu pernikahan, akan mengikat orang-orang di dalamnya. Selamanya. Walaupun pernikahannya sendiri sudah tidak tersisa.Seperti Dewi ini. Aku harus berhubungan dengan orang yang menyebalkan seperti dia. Bukan, tepatnya orang yang tidak seserver denganku. Ini hanya karena dia ibu kandung dari Amelia.“Suami kamu dimana, Maharani?”Satu pertanyaan pembuka saja sudah membuatku sebal. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun? Sudah tua tapi tidak mengerti kalimat mana yang tepat untuk memulai percakapan.“Selamat malam, Mbak Dewi.”“Oh iya. Malam Maharani. Dimana dia?”Aku menghela napas. Mungkin kalau aku menggunakan akal sehat, di awal percakapan sudah baku hantam. Ini seorang mantan istri menanyakan mantan suami kepada istri mantan suaminya itu. Ribet, ah!“Dia tidak bersamaku. Ada apa?” jawabku dengan nada datar. Aku tidak berbohong, memang Mas Suma tidak di sampingku, kan. Dia di ruangan sebelah.“Aku ingin bicara dengannya.”“Telpon saja hapenya,” jawabku berusaha santa
[Kak. Tadi malam Mama ketiduran. Sebelum mulai kerja, telpon Mama, ya] Aku pencet tombol send, kemudian memasukkan ke saku daster. Tidak lupa mengganti mode dering yang ribut. Sekarang aku memilih menyelesaikan pekerjaan pagi lebih awal. Setelahnya, aku bisa leluasa menghubungi Wisnu. “Pagi, Bik Inah.” “Pagi, Bu Rani,” sahut wanita yang rambutnya sudah dikuasi uban. Kepalanya melongok ke arah jam dinding, dan menoleh ke arahku lagi. “Bibik pikir, saya yang kesiangan.” “Ternyata saya yang kepagian,” sahutku sambil tertawa. Aku memasang celemek bersih, kemudian menilik isi lemari pendingin. Kebiasaanku, berdiri berlama-lama sambil mengamati bahan makanan apa yang tersisa. Sekalian mencari ide untuk memasak apa hari ini. “Banyak yang habis, Bu Rani. Apa saya harus belanja hari ini?” tanya Bik Inah sambil sibuk mencuci perabotan. “Boleh, Bik. Kita masak untuk makan pagi saja. Toh yang di rumah hanya saya dan Mas Suma. Bahan untuk orang belakang ada?” “Ada, Bu Rani. Kalau begitu nan
“Ada apa, Suamiku Sayang?” ucapku setelah membuka pintu kamar tamu. Mas Suma melihatku dengan heran. Dia menggerakkan dagu seakan mempertanyaan aku sedang apa.“Menerima telpon Wisnu, Mas.” Aku menggerak-gerakkan ponsel. Seakan tidak percaya, ekspresinya belum berubah.“Aku menelpon Wisnu untuk membicarakan yang Mas Suma katakan tadi malam. Ingat? Yang ingin supaya anak-anak kita ngumpul sampai kita sudah tua itu, lo. Makanya aku desak dia supaya cepat menikah dan tinggal di sini.”“loh, kok nikah?”“Ya lah, Mas. Laki-laki itu sebelum menikah pasti inginnya loncat kesana kesini. Pindah kota ini dan itu. Iya, kan? Makanya aku dorong dia untuk memantapkan hati dengan Rima. Toh, menurutmu dia wanita yang tepat,” ucapku kemudian mengamit lengannya menuju. Meja makan.Di sana sudah siap mangkok besar berisi soto ayam, lengkap dengan isian lainnya. Termasuk keripik kentang kesukaan Mas Suma.“Harus begitu?”“Hu-um. Kalau tinggal di kota ini dan menikah, pasti dia tidak kepikir untuk pindah
Kalau bukan karena ingat Mama, bisa dipastikan aku dan Rima akan benar-benar khilaf. Janjiku untuk menelponkan kembali, terngiang di telinga dan meluruhkan hasrat yang sempat menguasai kami.POV Author-Tiga puluh menit yang lalu-Mereka saling meraup seakan berebut dahaga untuk dipuaskan. Menunjukkan kerinduan keduanya begitu pekat. Merekapun saling berpagut dan tak sadar sudah terhempas di ranjang.Akal sehat mulai terkalahkan dengan hasrat. Gadis itu dengan nekad melepas kancing atasnya piyama yang di kenakan pemuda itu. Gerakannya menggoda, bahkan dia memanjangkan leher putih sambil mendesahkan nama sang kekasih. Mata Wisnu mulai berkabut melihat apa yang di hadapannya. Dadanya mulai sesak dengan gairah yang mulai tak tertahankan.Berkali-kali dia menyebut nama Rima, sambil membenamkan wajah di tempat yang seharusnya belum diperbolehkan.“Sayang, ini salah….” ucap lirih Wisnu dengan wajah tertahan.Pertarungan dalam hati Wisnu tarik ulur antara logika dan hasrat. Dalam hati men
“Kita sekarang latihan, ya,” ucap Rima yang berjalan dari dapur. Entah apa yang dia lakukan. Aku sedang sibuk menyiapkan diri untuk berangkat. Ada orang dari pusat memeriksa progres proyek yang kami lakukan. Om Tiok menambah waktu cuti. Terpaksa aku sendiri yang menghandel mereka.“Taraa …!” teriaknya dengan merentangkan kedua tangannya.Sudah siap makanan pagi di meja kecil, seberang dapur. Dua gelas minuman berwarna orang, dan dua piring berisi roti bakar. Kekasihku ini, menarik lenganku dan mendudukkan aku. “Sekarang, Mas Wisnu harus makan dulu. Kerja akan lebih semangat kalau perut terisi. Karena lambung itu harus ada yang diolah untuk dirubah menjadi energi,” jelasnya memantik senyumanku terbit. Di rumah aku diserang omelan oleh Mama, dan sekarang aku juga mendapatkan hal senada dari Rima.“Kenapa? Tidak suka?” tanyanya sambil menggerak-gerakkan kelopak matanya.“Suka banget. Cuma ….”“Cuma apa?”“Kamu cerewetnya kayak mama aku ,” ucapku sambil mengacak rambutnya. “Terima kasi
“Gombal!” teriakku sesaat setelah sadar. Aku langsung beranjak dan meninggalkan dirinya yang sibuk membereskan bekas makanku. Langkah ini aku ayun lebar-lebar, tidak peduli dia yang berusaha mensejajariku dan meneriakkan namaku.Kalau aku mempunyai jurus menghilang, pasti aku lakukan sekarang. Melarikan diri darinya untuk menyembunyikan pipiku yang memanas. Atau, kalau aku memiliki sihir yang sakti, aku akan membutakan sejenak. Sehingga aku bisa leluasa menatap wajahnya yang begitu mempesona ini tanpa terganggu dengan sorot matanya.“Amel! Amelia! Berhenti!” serunya lagi. Aku tidak menghentikan langkah, justru mempercepat gerakan kakiku ini. Senyum ini terbit dengan sendirinya, ternyata dia begitu ingin dekat denganku. Dan pujian itu, bukankah mengukuhkan kalau selama ini dia serius?“Berhenti Amel. Pintu masuk perpustakaan sudah di sana, bukankah kita akan ke perpustakaan?” tanyanya setelah berhasil menghentikan langkahku. Sekarang dia berdiri tepat di hadapanku.Aku menoleh ke belak