semangat selalu, ya.
Kata orang, kalau kita ingin kehidupan yang mudah, kerjakan hal yang tidak mudah. Sebaliknya, kalau kita mengerjakan sesuatu yang mudah saja, bisa saja hidup kita tidak akan mudah. "Benar itu, Pi?" tanyaku kepada Papi, setelah aku kembali naik kembali ke roff top. Berkumpul kembali dengan Papi dan Mama untuk berbincang santai. Aku tidak bisa ngobrol banyak dengan Rima. Baru saja aku angkat ponsel yang berbunyi, dia langsung berkata, "Mas Wisnu, maaf. Dosen yang aku tunggu sudah datang. Tadi pas aku telpon, saat menunggu konsultasi proposal PKL. Aku tutup, ya. Nanti malam kita telponan."Nadanya terdengar tergesa dan berbisik. Aku hanya bisa mengatakan iya dan menelan ludah. Niatku ingin berbincang banyak dengannya tertunda. Rinduku mendengar suaranya, tergantung begitu saja. Bukan salah dia juga, tetapi kesempatan yang belum berpihak kepada kami. "Kamu bertanya seperti itu, untuk masalah usaha, atau percintaan?" Papi Suma memandang Mama, kemudian mereka tersenyum simpul kepadaku.
Urusan laki-laki. Ini perbincangan dengan Papi Kusuma. Memang Mama adalah orang tua yang menurutku sempurna. Sekaligus teman yang baik juga untuk berdiskusi. Aku melihat, Mama orang yang serba bisa dan tahu. Akan tetapi sebagai anak lelaki, aku merasa ada beberapa lubang kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan berbincang dengan Mama. Seperti saat ini, bertukar pikiran dengan Papi."Kata Mama kamu, ada beberapa pilihan yang kamu incar. Sudah memastikan yang mana?""Sebenarnya tidak tahu benar, Pi. Mereka semuanya cantik, baik, pintar, dan kalau melihat gelagatnya ... sayang juga kepada Wisnu.""Ya sudah. Pilih salah satu. Kamu tidak ada keinginan mempunyai teman dekat seorang wanita?""Ingin juga. Tetapi Wisnu masih berkonsentrasi pada karir, Pi. Mempunyai pacar, dalam bayangan kepala ini akan ribet, dan mengurangi kesempatan bekerja."Papi tersenyum, kemudian bersandar di sofa dan melipat kakinya. "Sudut pandang kamu digeser sedikit. Jangan melihat di sisi negatif. Kamu dulukan serin
"Amelia disuruh manggil malah ikutan macet, ya," ucap Mama sambil menatap kami bertiga. Aku, Amelia, dan Papi Kusuma mengambil jeda untuk tersenyum bersama. Seperti anak-anak yang ketahuan oleh ibunya. Seakan kompak, kami pun memberikan tatapan memohon pengampunan kepada Mama. Jeda hanya sebentar, kemudian .....JRENG!~~Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tukTuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak, suara sepatu kuda~~Tidak hanya itu, kami bertiga bernyanyi sambil memiringkan badan ke kanan dan ke kiri dengan kompak. Mengubah Mama menjadi tersenyum lebar, dan sekarang tertawa melihat kekonyolan kami bertiga. Sungguh kebersamaan yang membahagiakan, walaupun sederhana."Kalian ini, tidak yang masih muda sampai yang sudah ubanan, tidak tahu kalau sekarang sudah sore. Ayo sekarang turun. Tuh, Denish dan Anind nyariin dari tadi." Omelan Mama walaupun terjeda, tetap saja berhasil tayang. Papi cuma senyum-senyum sambil mengalungkan tangan di bahu Mama. Meredakan omelan yang masi
Bab 444. Tujuan Sudah Mendekat"Penampilan itu memang bukan segala-galanya. Tetapi itu perlu untuk menumbuhkan kepercayaan," ucap Papi Kusuma setengah memaksa. Aku diminta untuk membawa mobil sport yang dihadiahkannya dulu. Memang aku jarang menggunakannya, terlebih selain sayang, juga enggan dikatakan 'hedon'."Bisnis di skala besar memerlukan pengakuan. Bagaimana orang bisa percaya, menawarkan kerjasama bernilai milyaran, tetapi menggunakan kendaraan yang biasa. Investor akan ragu kalau tidak ada bahan pertimbangan sekunder. Pokoknya, dengar kata Papi.""Tapi, Pi. Tidak enak sama teman-teman di sana. Kawatir dikatakan sombong."Papi menepuk lenganku. Mengangguk seakan memaksaku yakin dengan yang diucapkan. "Sekarang bukan waktunya mendengarkan omongan apalagi prasangka orang. Tetapkan langkah. Asal tidak merugikan orang lain, 'go ahead'! Fokus pada tujuan.""Iya, Pi.""Sombong itu merujuk pada tingkah laku. Bukan karena kamu punya atau tidak. Walaupun kamu membawa mobil sport, te
Jalan terlihat lebar, seakan aku diberi keleluasaan untuk melesat menggapai harapan. Memang benar, saat hati riang apapun yang dikerjakan terasa mudah. Tidak hanya itu, kendaraan yang aku kendarai meringankan langkah ini. Seperti mengunakan sepatu baru yang aku sukai, langkah menjadi ringan dan nyaman. Seperti terbang. "Hati-hati di jalan. Lihat selalu kecepatannya berapa. Mobil ini, tidak terasa saat kamu menginjak pedal gas melebihi biasanya." Pesan Papi Kusuma. "Siap, Pi. Makanya Wisnu lewat jalan tol terus, supaya tidak mengganggu pengendara lain.""Justru melewati jalan tol, Papi mengingatkanmu. Jalan itu memang dibangun bebas hambatan, lurus, dan membuat pengemudi terlena menginjak pesal gas. Beneran, ya. Kamu harus hati-hati. Pokoknya, lihat terus angka kecepatan," tandas Papi tadi malam. Raut wajahnya yang menunjukkan kekawatiran, membuatku senang. Cerewetnya dia menunjukan kasih sayang. Aku suka. "Siap, Pi. Wisnu pasti hati-hati," sahutku sambil mengangguk. Kekawatira
Jarum jam di arloji seperti bergerak cepat. Waktu dua jam yang seharusnya lama, ternyata tidak bisa diperlambat. Ini semua gara-gara dia. Kalau sebelumnya dada ini sering sesak oleh rindu yang terus menggerutu karena tidak kunjung bertemu. Sekarang seakan berdendang, karena terbayar dengan senyuman. Entah kenapa, aku sekarang menjelma menjadi pujangga. Yang juga melantunkan ungkapan yang dulunya sering membuatku tertawa. "Wisnu. Jatuh cinta itu merubah sifat seseorang. Yang dulunya diam, menjadi cerewet. Yang sebelumnya kaku, sekarang tiba-tiba menjadi romantis," ucap Papi Kusuma sebelum menceritakan tentang dirinya. Terlihat jelas binar cinta di setiap kata yang menceritakan Mama. Tertangkap kenyataan, kalau Papi begitu mengupayakan Mama. Tidak hanya saat dulu, tetapi sampai sekarang pun tetap memastikan Mama nyaman bersamanya."Kamu pikir Papi, dari dulu seperti ini? Tidak. Tapi Papi berusaha supaya Mamamu bahagia. Salah satu caranya membaca buku-buku seperti ini," jelas Papi me
Hati yang sempat berbunga sekarang layu kembali. Bahkan hati ini pun memanas. Kecemburuan yang sebenarnya bukan hakku, menyeruak begitu saja. Aku seperti lelaki tidak tahu diri. Meletakkan keegoan pada seseorang yang sudah aku baikan. Sadar. Aku sadar benar. Namun, kenapa hati ini tidak bisa diajak kompromi?Lukas datang. Dia tergesa. Terlihat dari keringat membasahi wajahnya, dan napas yang terengah-engah. "Aku berusaha menghubungimu. Tapi ponselmu jarang aktif," seru Lukas sambil mengambil kursi. Dia duduk tepat di depanku. Wajahnya masih seperti dulu, justru terlihat lebih matang dengan rambut mulai memanjang. Kulitnya yang cerah, menyempurnakan tubuhnya yang tinggi besar. Sosok yang mengundang wanita manapun mengejarnya, bahkan rela diduakan. Kalau dibandingkan aku. Jujur, secara fisik aku kalah. 'Ck! Pantas saja Rima memilih dia. Sampai-sampai rela menangis hanya untuk cecunguk ini,' bisik hatiku dengan kepalan tangan semakin erat. "Ada yang aku tanyakan kepada kamu."
"Benar, kita latihan di sana tidak apa-apa?" tanyaku sekali lagi masih ragu. Aku ingat, Rima juga pernah menceritakan kalau Papinya tidak suka kalau dia menari. Kalau seandainya kami kepergok, bagaimana? Latihan berdua saja. Bisa jadi menimbulkan penafsiran yang aneh-aneh. "Tidak. Rima jamin, deh. Teman-temn kalau membuat tugas kelompok dan membutuhkan ruangan lebar, juga Rima ajak kesana," ucapnya membuatku yakin. Aku dan Rima berangkat pagi-pagi. Rencananya, kami memanfaatkan waktu di hari minggu ini full untuk latihan tari. Menyelesaikan koreografi, dan nantinya bisa diperdalam di tempat masing-masing.Pintu gerbang langsung dibuka saat Rima membunyikan bel. Muncul perempuan separuh baya yang dipanggil Bik Suti."Syukurlah, Neng Rima sudah datang," seru Bik Suti dengan menunjukkan wajah lega.Dia mengangguk kepadaku, dan mempersilakan masuk sebelum menutup pintu gerbang tinggi itu.Rima mengajak untuk masuk setelah memarkir motor di garasi. Rumah yang lumayan besar kalau diperun