Amelia itu sosok yang manis dan lucu. Melihatnya saja, hati ini tidak sanggup untuk kesal apalagi marah kepadanya. Kesukaan kami yang sama, semakin membuat kami dekat sebagai kakak dan adik. Awalnya aku ragu, bisa mengemban tugas sebagai kakak. Harus ngemong, ngalah, ngasih tahu, menjaga ini dan itu. Terdengar membosankan.Terlebih menghadapi Amelia, harus ekstra sabar.Akan tetapi, lambat laun kasih sayang sesama saudara menggerakkan diri ini untuk terbiasa dengan tugas itu.Yang diinginkan sekarang ini mirip dengan Rima, teman satu unit aktifitas mahasiswa dulu. Dia fakultas ekonomi jurusan managemen. Kisahnya hampir mirip, dia yang anak seorang pengusaha harus rela meletakkan cita-citanya sebagai penari. Keengganannya berimbas pada kuliah yang hampir terbengkelai.Namun, dengan syair lagu K-Pop, aku bisa membangkitkan semangatnya. Menyadarkan dia kalau kegagalan itu hanya menutup satu pintu, dan pintu-pintu lain masih terbuka lebar. Tergantung mata kita bisa melihatnya atau tidak.
Kami sudah bersiap. Sambil menunggu Amelia, aku bercanda dengan Denish. Kalau melihat dia, aku berasa menjadi anak kecil lagi.“Akak Inu. Eis mau bikin obot yang bisa tebang!” seru adikku yang gembul ini sambil menuang lego dari keranjang.“Memang Denish bisa?”“Bisa, dong. Kan Eis sudah sekolah.”“Kelas berapa?”“Kelas segini,” ucapnya sambil menunjukkan kelima jarinya.“Kelas lima?”“Hu-um,” sahutnya sambil mengangguk. Gerakan yakinnya, membuat pipi yang gembul kemerahan bergerak-gerak. Tangan ini sudah gatal ingin mencubitnya. Gemas!Dia konsentrasi dengan mainan lego. Menyusun ini dan itu kemudian berteriak. “Hole! Eis berhasil!”Dia menunjukkan hasil karyanya, robot versi Denish.“Obotnya akak Inu mana?”“Wah, Kak Wisnu kalah cepat. Kak Denish menang. Hore!” seruku disambut senyuman lebar olehnya. Aku bercanda dengannya. Guling-guling bahkan kuda-kudaan. Dia terlihat riang dan menggemaskan. Sepertinya, alasan untuk pulang semakin bertambah.“Kak Wisnu ayo kita berangkat!” seru Am
Malam ini, malam terakhir Wisnu di rumah. Besuk dia harus kembali ke Denpasar. Sebenarnya banyak yang ingin aku bicarakan dengannya, berdua. Namun kesempatan belum berpihak kepada kami. Bagaimana bisa, Amelia dan Mas Suma bergantian di sisi anak lelakiku itu.Seperti sekarang. Kami berkumpul di ruang keluarga. Tadi Anind dan Denish sempat bergabung. Bermain bersama dengan Amelia dan Wisnu. Aku pikir, semakin malam tidak hanya Denish dan Anind yang beranjak tidur. Harapanku Mas Suma dan Amelia juga. Ternyata mereka malah membuat minuman hangat dan camilan. Amelia yang membuatnya.“Papi. Ini drama koreanya viral, lo. Tidak hanya di sana, tetapi sampai luar negeri,” seru Amel memulai mengidupkan episode pertama.Aku menghela napas pelan. Kalau yang diputar film, mungkin durasinya hanya dua jam. Sedangkan ini drama berseri. Kapan mereka tidurnya.“Beneran lo, Ma. Mama sudah tahu ceritanya?” ucap Amelia mengejutkan aku.“Hmm? Apa?” tanyaku kemudian tatapan tertuju pada layar televisi. Akto
Benda mati di sekitar kita, sering kali menjadi monumen. Pengingat akan masa lalu. Baik kejadian baik, terlebih kejadian buruk. Seperti yang dialami Wisnu. Dia menceritakan bagaiman tersiksanya dia saat menapaki tangga, atau melangkahkan kaki ke lantai atas. Tempat kamar yang aku huni bersama Mas Bram dulu.Baginya, kenangan buruk lebih menyiksa, sampai-sampi lantai atas dia tutup. Dan sekarnag, dia berniat tidak meninggali rumah itu.“Aku tidak bisa berpikir, Mas. Tidak bisa konsentrasi. Mauku, aku tinggal di apartemen walaupun sesekali tetap ke rumah itu. Kalau perlu, rumah aku rombak menjadi gallery atau menjadi kantor nantinya. Cuma, kalau settingnya masih seperti dulu, bayangan Mama dan Papa masih mengusik kepalaku,” ucapnya membuatku mendesah.Merasa bersalah karena sudah meninggalkan kenangan buruk kepada anakku ini.“Kamu sudah bicara dengan Papa tentang ini dan dia tidak memberi izin karena apa?” tanyaku penasaran.“Papa Bram bilang, dia tidak rela kalau kenangan manis keluar
Mumpung di kota ini, aku coba menghubungi dia. Sekarang akhir pekan, siapa tahu dia ada di kota ini. Anggap saja bertegus sapa sebagai teman lama.[Rima. Ini Wisnu. Bagaimana kabarmu] Pesan aku kirim. Mataku tidak beranjak dari layar ponsel. Dari centrang satu, kemudian centrang dua.Huft, warna tidak kunjung berubah menjadi biru. Pertanda pesanku tidak dibaca, atau justru diabaikan? Mungkin saja pesanku hanya sebagai pengganggu semata.Tanganku terulur, meletakkan ponsel di atas nakas. Lebih baik aku tidur daripada berkutat pada rasa yang tidak jelas.Aku akui, dia tidak sekadar cantik. Saat di kampus dulu, aku pernah dipasangkan untuk menari. Konsep kami tentukan bersama, termasuk gerakan. Sedangkan costum, dia yang menentukan. Baju yang dia kenakan pas di tubuhnya yang indah. Walaupun terkesan seksi, tetapi tidak vulgar. Rambut dia ikat tinggi, menunjukkan leher jenjang putih, yang terlihat indah.Masalahnya saat itu, baju bagian atas dirancang dieratkan dengan tali yang harus dii
"Mas Wisnu! Tidak menyangka bertemu di sini!" seru Rima dengan rasa senang yang terlihat nyata. Matanya berbinar dan senyuman merekah sempurna. Dia langsung menarik kursi untuk bergabung dengan mereka, setelah memesan minuman."Kamu sendirian?" tanya Wisnu melihat gadia cantik itu sekilas, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagaimana tidak masih kesal, baju yang sudah minim tadi sekarang terlihat basah karena keringat dan menjiplak apa yang ada dibaliknya."Sama Papa dan Mama. Cuma mereka berada di resto. Eh, adik cantik ini siapa? Kakaknya Mas Ten itu, ya?" seru Rima setelah menoleh ke arah Amelia. Wajahnya menunjukkan senyuman ramah dan disambut anggukan Amelia."Rima. Temannya Mas Wisnu alias Mas Ten," ucap Rima memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangan.Amelia melirik Wisnu, kemudian menyambut uluran tangan Rima. "Amelia. Adiknya Kak Wisnu."Wisnu melihat sekilas mereka, kemudian kembali menyesap minuman yang tertinggal setengah gelas itu. Wajahnya yang semula suda
Ini pertemuan yang mengaitkan hubungan pertemanan yang sempat terjeda. Bukan untuk berniat membangun kisah romansa yang pernah aku rasa, karena itu belum tentu benar adanya. Bukankah terlalu tinggi meletakkan harapan hanya membuang waktu saja? Bahkan memperlebar kemungkinan kecewa dengan kenyataan yang belum tentu berpihak padanya. “Kak Wisnu harum.” Amelia tetap mengikutiku sampai garasi, walaupun sudah bersedia untuk di rumah membantu Mama. Tentu saja dengan iming-iming masak bareng. Katanya mereka akan membuat lasagna. Tanganku yang akan membuka pintu mobil terhenti, saat mendapati Amelia menatapku dari kepala sampai ujung kaki. Tangannya bersendekap dengan kepala dimiringkan. Matanya memicing dengan bibir menyunggingkan senyum. “Ada apa, Mel.” “Kak Wisnu dandan, ya?” “Dandan apaan, sih. Enggak, ah! Memang kamu. Kalau keluar harus ini dan itu.” “Sama kayak Kak Wisnu sekarang,” ucapnya kemudian dia mendekat. “Tuh, mukaknya jadi bening, rambut juga pake pomade. Hmm, bibirnya K
“Kak. Bagaimana? Cerita, dong.” Amelia sudah menghadang di depan pintu. Dia senyum-senyum dengan alis mata yang digerak-gerakkan ke atas.‘Ngeselin!’“Apaan, sih. Anak kecil tidak boleh kepo! Nih, pesenanmu.”Satu kantong berisi makanan pesanannya, aku serahkan. Matanya langsung berbinar dan senyumnya merekah sempurna. Dengan cepat, kantong berpindah tangan. Dia menghidu dalam-dalam sambil memejamkan mata, saat tas berisi makanan dibuka. Aroma pizza dan ayam goreng, menyeruak keras, dan terselip bau coklat pekat dari satu slice chocolate mude cake.‘Dasar Amelia tukang makan. Ingin diet, tapi remnya blong kalau menyangkut makanan,’ gerutukku dalam hati, sambil meneruskan langkah.Bukannya menikmati makanan pesanannya, Amelia justru mengekori aku sambil mencecar pertanyaan. “Tadi ketemu dengan Kak Rima?”“Iya.”“Kak Rima tambah cantik, Kak?”“Hu-um.”“Trus ngapain?”“Ngobrol.”“Cie … cie …. Yang habis ketemuan sama cewek cantik,” ucapnya sambil tertawa.“Apaan, sih, Mel.”“Kok lama b