“Mami…. Kenapa bersikap seperti itu kepada Dewi. Bagaimanapun dia itu Maminya Amelia. Dia kan datang sebagai tamu yang berniat baik, “ ucapku mengingatkan.Tadi, aku sengaja. Setelah Rani selesai menyuapi Mami, aku menyuruh Amelia dan Wisnu pergi ke kantin. Awalnya dengan alasan aku ingin makan pisang kepok kukus, tapi langsung dijawab Wisnu.“Itu di foodpack ada, Pi. Tadi Mama sebelum ke sini masak pisang kukus. Mama juga bikin nagasari labu kuning kesukaan Eyang.”Huuft, inginnya menjadikan alasan. Ternyata Maharani tahu apa yang ada di otakku sebelum aku minta. Istriku itu selalu mengerti.Akhirnya, aku mencari alasan lain.“Papi ingin makan klepon. Itu yang bulat-bulat hijau. Di dalamnya ada gula merah dan dikasih parutan kelapa. Tahu?”“Ngerti, Pi. Yang sering dibelikan Eyang Sastro saat di kampung, kan?” sahut Amelia.“Betul banget! Di kantin ada, kok. Kalau habis, ada di supermarket sebelah,” ucapku sambil menunjukkan jempol.Amelia dan Wisnu akhirnya pergi. Ini kesempatan
Dituduh itu perlakukan yang paling membuatku kesal setengah mati. Apalagi itu sesuatu yang tidak benar dan dilontarkan oleh orang yang mengecewakan seperti Mas Bram, Papanya Wisnu. “Kenapa Wisnu tidak berangkat-berangkat ke Bali? Kamu mau masa depannya terhambat?” ucapnya setelah mengucap salam. Seperti serangan teror yang datang mendadak, panas hati ini langsung terpatik kekesalan. Dalam kondisi lelah dan mengantuk, justru disuguhi ucapan yang tidak mengenakkan. “Maksudnya apa, ya, Mas?” “Bisa tidak kamu mengutamakan Wisnu dibandingkan keluarga barumu itu. Kapan hari aku mengajak Wisnu berangkat, alasannya Pak Kusuma sakit. Sekarang alasan lagi, mertua kamu sakit. Memang apa hubungannya dengan Wisnu? Dia sebenarnya di rumahmu itu jadi apaan, sih. Jadi pesuruh?” Aku menghela napas. Meraih kewarasan yang hampir menguap. Aku bisa saja melontarkan kata-kata lebih keji dibandingkan yang dia bisa. Rasa kantuk menghilang seketika. Ucapannya membuatku kesal. Ingin rasanya membanting pon
Wisnu dan Amelia tidak hanya membawa klepon. Mereka juga beli jajanan lainnya. Ada lapis, lemper, ongol-ongol, kue lumpur, dan kue wajik. Ini seperti akan hajatan saja.“Tempatnya jauh, Ma. Nanggung kalau Cuma beli ginian doang,” ucap Amel memberikan alasan.“Kan Papi bilang di kantin.”“Kantin yang mana, Pi. Wisnu tanya ke penjaga, mereka bilang kalau tidak pernah jualan namanya klepon. Wisnu saja sampai kasih foto yang ambil di internet. Siapa tahu beda nama.”“Oh, kalau begitu kantin di rumah sakit satunya. Papi lupa-lupa ingat.”“Ya. Amel maklum. Kan faktor U,” ledek Amel sambil tertawa.“Eit! Kalian ini jangan rame-rame, Eyang lagi istirahat.” Aku mendesis sambil menaruh telunjuk di depan bibir.“Eyang lagi baca buku, Ma. Aman,” seru Wisnu. Kemudian dia mendekat kepadaku, sambil mengusap-usap perut. “Ma laper.”Astaga! Karena mengantuk, aku jadi tidak konsentrasi. Padahal, rencananya tadi setelah menyuapi Nyonya Besar, aku akan mengeluarkan makanan yang aku bawa dari rumah.Diban
Semakin usia bertambah, jumlah pertemanan bukan bertambah justru semakin sedikit. Bahkan tidak jarang kita kesulitan memiliki teman yang sebenarnya, apalagi sahabat.Akan senang sekali kalau di saat usia senja menemukan teman yang sejalan dan sepemikiran. Kita mendapatkan sahabat untuk teman bicara mengusir kesepian yang mendera disaat anak-anak sudah sibuk dengan urusannya.Itu yang dialami Nyonya Besar dan Ibuku, Eyang Sastro.*Mendengar ibu mertuaku dirawat di rumah sakit, Ibuku berusaha untuk datang membesuk. Sebelumnya aku larang karena keadaan Nyonya besar yang belum stabil. Dan, sekaranglah aku memberikan izin.Ruang perawatan seketika heboh. Bukan seperti rumah sakit, tetapi seperti arisan dadakan. Ibuku tidak hanya sendirian. Dia bersama kelompok pengajian yang ternyata kenal dekat dengan mertuaku.Mendirikan villa tidak jauh dari rumahku di kampung, ternyata membuat Nyonya besar berbaur dengan ibu-ibu di sana. Aku tidak tahu, ternyata beliau juga nyaman dengan keriuhan oran
Sesampai rumah tidak ada yang menyambut. Hanya para penjaga rumah saja yang bersiap di depan. Bik Inah pun sudah tidak terlihat. Ruangan tengahpun tertinggal lampu sorot saja. Sepi.‘Pantas saja sudah jam segini,’ batinku setelah melihat jarum jam di dinding yang menunjuk angka dua belas lebih.Dengan berjingkat, aku membuka pintu tempat Denish dan Anind tidur. Mereka begitu tertelap. Wajah mereka menunjukkan kedamaian.Mereka masih kecil dan aku masih mempunyai kesempatan bersamanya. Aku tersenyum, membayangkan saat nanti mereka sudah besar. Mereka akan memiliki kesibukan masing-masing dan tidak mempunyai waktu bersamaku lagi.Pasti itu yang dirasakan Mami dan Ibu. Kesepian.Berapapun jumlah anak yang dimiliki, saat waktunya tiba kita harus merelakan kepergian mereka.Saat usia tua, apalagi sudah kehilanga pasangan, sahabat untuk teman bicara sangat dirindukan. Bahkan itu obat yang paling manjur dibandingkan obat di apotek. Dokter yang paling hebat di masa tua, adalah teman bicara.K
“Apakah kamu akan menikah lagi kalau aku meninggal duluan?” Pertanyaan Mas Suma yang membuatku tersentak. Pertanyaan macam apa itu? Pagi ini, di rumah masih begitu sepi. Kedua balitaku masih tertidur. Amelia dan Wisnu masih di rumah sakit. Hanya terlihat Bik Inah dan pembantu lainnya yang melakukan rutinitas.Saat ini aku duduk berdua dengan Mas Suma di kamar. Masih enggan dan malas untuk keluar kamar, setelah mendapati Danish dan Anind masih tidur.Aku memilih di dalam kamar sambil menikmati teh hangat Chamolie yang menenangkan. Sudah lama rutinitas seperti ini terabaikan. Kesibukan dan kejadian yang terjadi secara beruntut, membuat kami melupakan untuk rehat.“Kenapa Mas Suma bertanya seperti itu?” tanyaku sambil mengernyit. Aku menatap dengan tatapan kecurigaan. Apa maksudnya Mas Suma ini. Setelah semalaman berbagi peluh, paginya justru menyampaikan pertanyaan yang aneh.“Ini seandainya. Sekali lagi, ini seandainya, ya? Aku penasaran,” ucapnya dengan penekanan kata seandainya..O
Koran yang di pegang Mas Suma bergetar samar. Matanya menyorotkan ketidak percayaan. Aku menarik tangannya supaya duduk di sofa. Setelahnya, berkali-kali dia memicingkan mata dan membaca, seakan tidak percaya kalau ini benar.“Apakah ini pasti Chaterine?” tanyaku yang ikut membaca dari samping suamiku.Di artikel itu tidak menuliskan nama jelas. Mereka hanya menulis inisial wanita bernama C kebangsaan orang kita. Memang tempat kejadian tertulis jelas di Singapur, tapi apakah ini merujuk Catherine?Mas Suma menoleh ke arah Pak Tiok, sepertinya dia sepemikiran denganku.“Iya. Memang ini pasti Catherine?” Mas Suma mengajukan pertanyaan sambil mengernyit.Pak Tiok beringsut memperbaiki posisi duduknya. Menegakkan badan sambil menjulurkan tangan menerima koran dari suamiku.“Betul. Di artikel ini memang tidak menjelaskan dia ini Catherine. Tetapi ciri-ciri yang ditulisnya mirip sekali dengan dia. Lihat ini.” Koran disodorkan kembali, dan kami membaca bersama-sama bagian yang ditunjuk.~~W
Lalu lintas yang padat, seperti tidak mengijinkan mobil ini untuk menepi. Di jam kerja, para pengendara berpacu dengan waktu untuk mencapai tujuan. Pengendara motor bagaikan buta lampu sein yang berkedip-kedip. Terpaksa, tangan aku keluarkan dari jendela untuk meredam mereka yang melaju tak sabaran.“Huuft, mereka seperti diburu waktu!” seruku sambil menghela napas lega. Merebahkan badan ke sandaran kursi sambil mengamati Tiok yang sedang menerima panggilan telpon.Yang aku dengar hanya ucapan iya pak, dan siap pak. Selebihnya tidak tahu. Lebih baik aku memejamkan mata sambil menenangkan pikiran.Masih tidak habis pikir, kalau perjalanan ini untuk memastikan kabar kematian Catherine. Sebenarnya berita ini membuatku merasa bersalah. Aku merasa akulah yang menyebabkan seseorang bunuh diri. Menghilangkan nyawa sendiri dengan alasan adalah aku.Bukankah itu sama saja dengan membunuh?Mata ini terpejam, dan ingatan itu datang seperti film yang diputar. Masih terasa lekat, tingkahnya yang m