"Bik Inah, tolong cobain. Enak, kan?" Aku buka satu bungkus pepes untuk dicoba. Setelah dipanggang sebentar, bau pepesnya terasa lebih enak.
"Heem, enak Bu. Rasanya seger, tidak ada rasa amis. Enak. Ini saya coba dikit saja, ya. Tak bawa ke belakang buat Kang Maman. Dia suka yang ginian," katanya sambil menunjukkan jempol. Kemudian, dia bergegas merapikan makanan itu dan menyisihkannya.
"Saya mandi dulu ya, Bik? Tuan dan Nona masih lama kembalinya. Tolong dijaga sebentar, ya." Aku rapikan peralatan dapur dan diteruskan Bik Inah mencuci peralatan dapur. Untuk urusan cuci mencuci diambil alih dia.
*
Terasa hilang pegal di badan dan sedikit terurai otakku yang penuh dengan ingatan file-file tadi.
Hmmm ... ternyata capek juga.
Aku memakai baju bersih, baju hijau toska dipadukan dengan rok tiga perempat dengan warna hijau tua. Rambut disanggul rapi dan riasan tipis. Mbak Anita sudah berpesan, aku harus selalu tampil rapi dan bersih.
Aku cek ponsel, mungkin ada yang menghubungi. Satu pesan yang masuk, dari Wisnu-anakku.
[Ma, bagaimana pekerjaannya? Mama baik-baik saja?]
[Mama sudah di tempat kerja. Alhamdulillah, kerjaannya baik. Kamu jaga diri. Do'akan Mama selalu sehat]
[Selalu, Ma. Wisnu selalu berdo'a buat Mama. I love you, Ma]
Dia langsung menjawab pesanku, ini menunjukkan dia menantikan balasanku sedari tadi. Terasa sesak di dada, ingin menangis karena perhatiannya . Aku menghela napas dalam-dalam mencari kekuatan. Aku harus kuat dan tega kepada Wisnu, supaya dia menjadi anak yang mandiri dan kuat.
[Iya, sayang. Love you anakku]
Wisnu, dia anak satu-satunya. Setelah berpisah dengan Mas Bram-mantan suami, kami menetap di rumah orang tuaku. Tinggal ibu saja di sana, bapak sudah meninggal. Ibu mempunyai beberapa peternakan ayam yang dikelola rekanan. Nanti hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan. Hasilnya lumayan untuk kehidupan kami bertiga. Namun, akhir-akhir ini harga tidak stabil, kami mengalami kebangkrutan. Bukan untung, malah tabungan kami keikut untuk biaya operasional.
Minggu kemarin, Wisnu memberi kabar gembira. Kabar ini yang membuat aku bertekad untuk mencari pekerjaan dengan berpenghasilan tetap.
"Mama ...! Mama ...! Aku diterima kuliah!" teriak Wisnu kala itu. Dia berlari dan memelukku. Wajahnya terlihat sangat senang, cita-cita sekolah di perguruan tinggi di Malang tercapai. Arsitektur, jurusan yang menjadi pilihannya.
"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kerja kerasmu tercapai. Mama senang sekali." Aku mengusap rambutnya yang panjang ikal sebahu. Rambutnya gondrong, dia berjanji akan memotongnga kalau yang diinginkan tercapai. Badannya sudah kelihatan tinggi, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang, dan wajah bersih, dia kelihatan lebih dewasa dan ganteng.
Aku bertekad untuk mengantarmu menjadi orang sukses tanpa mengandalkan Mas Bram, Papamu.
Sakit hati ini kalau mengingat penghianatannya. Tiga tahun dia membohongiku.
Tiga tahun, aku dibodohi mereka!
Pembukaan cabang di Batam hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan istri barunya. Sampai mempunyai anak dua, dan bodohnya aku tidak menyadari penghianatan ini. Aku sangat kecewa dan merasa menjadi orang bodoh sedunia.
Saat ini, anggap saja kembali seperti dulu ketika kami tidak pernah kenal. Ya, kembali dititik awal itu.
Aku menganggap tidak pernah mengenal Mas Bram, dan mencoretnya dari kisah hidup ini. Oleh karena itu, aku menolak dengan tegas pembagian harta ataupun biaya untuk Wisnu. Aku bertekad menghilangkan namanya dari hidupku.
Aku ingin hidup tenang.
Tin .... Tin .... Tin ....
Terdengar bunyi klanson mobil. Aku melongokkan kepala ke depan, ternyata Nona Amelia pulang dari sekolah."Selamat siang, Nona Amelia. Perkenalkan, saya Maharani, panggil saja Rani," ucapku memperkenalkan diri.
"Ini Tante Rani, ya! Wah, sudah dateng!" Dia langsung menghampiriku, memelukku dan menggelayut manja seperti seorang anak kepada ibunya. Tanpa rasa canggung sedikitpun. Anak ini manis sekali, sejenak aku teringat Wisnu. Wajahnya cantik putih bersih, memakai baju seragam kotak-kotak, sepatu putih, cantik sekali.
"Non, segera bersih-bersih dan langsung makan, ya. Tante sudah masak buat Non Amelia."
"Ok!" jawab Amelia. Dia langsung berlari ke kamarnya.
Gegas, aku menyiapkan makanan di atas meja makan dengan piring, sendok, garpu termasuk napkin yang ditata sedemikian rupa seperti di restoran.
Di buku panduan tercantum, anak ini menyukai jus mangga, dan tidak suka jus buah naga. Baik, aku buat jus mangga dengan racikan seperti di restoran tempatku pernah bekerja. Dulu sebagai manager, aku tahu benar resep dan rasa yang pas.
"Wow, enak sekali!" teriak Amelia melihat makanan yang tersedia di meja.
"Heeemmm, jusnya enak banget. Tante racik sendiri, ya?! Tidak seperti biasanya," komentarnya setelah minum jus mangga sampai tandas.
"Mau lagi, Te"
"Cukup ya. Makan dulu. Nanti Tante buatkan lagi setelah makan. Nona, ayo makan!"
Aku ambilkan nasi di piringnya. Pepes kubuka sedikit. Dia memandangku terus, apa yang aku lakukan dia perhatikan.
Entah, apa yang dipikirkan."Tante, jangan panggil aku nona, dong. Aku malu. Panggil aja Amel atau sayang. Seperti temanku dipanggil mamanya. Aku pingin gitu," rajuk Amelia kepadaku.
Matanya menatapku seperti memohon.
Deg ...!
Aku iba melihatnya.
"Baik. Tante panggil Amel atau sayang, ya. Ayok, sekarang makan. Ini pakai lauk yang mana, Sayang?"
Kamipun mulai akrab. Ternyata Amelia yang memilihku untuk bekerja di sini. Berkas lamaran yang dikirim lewat online dia pelajari semua, dan jatuh pilihannya kepadaku. Katanya, merasa sudah klik.
Ini kesempatan pertama, dia memilih orang yang bekerja di sini. Biasanya, Nyonya Besar yang mengirim orang untuk bekerja mengurus pekerjaan ini. Kata Amelia, orangnya banyak yang aneh-aneh. Paling lama satu tahun bertahan.
Kami makan bersama, dia memaksa untuk ditemani. Makannya lahap sekali, bahkan sekarang sudah piring kedua. Seperti lapar sekali.
"Sayang, di sekolah apa tidak makan di kantin?"
"Makanan di kantin tidak enak. Amel malas makan. Di sekolah makan camilan aja," katanya sambil mengunyah makanannya.
"Kalau Tante bawakan bekal makanan mau?"
"Mau banget, Tante! Wah, aku bisa pamer sama temanku! Biasanya aku suka dipameri bahkan diledek sama mereka. Mereka suka bawa bekal, katanya mamanya yang buat. Yang enak, ya?"
Melihat tingkah Amelia, dadaku terasa sesak. Anak ini dari umur lima tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu.
Kasihan.
Sambil makan, dia terus tersenyum dan sesekali memandangku.
Manis sekali.
***
Hari semakin malam dan terasa sepi. Bik Inah dan Pak Maman pulang ke rumah belakang. Tinggal satpam saja yang di depan. Setelah makan, Amelia langsung kembali ke kamar, katanya banyak tugas sekolah. Rumah sebesar ini terlihat sangat sepi.Aku berkeliling di dalam rumah, sambil mengenal semua sudut yang ada. Tanggung jawab besar, apapun yang ada, apapun yang terjadi adalah tanggung jawabku. Apalagi Tuan Kusuma jarang ada di rumah, jam segini saja belum sampai. Kasihan Amelia, pantas dia kelihatan girang melihat kedatanganku."Non Amelia sudah menunggu kedatangan, Bu Rani. Makanya dia seneng banget. Dia tidak ada teman ngobrol. Kalau ngobrol, Bibik sering tidak nyambung. Bibik tidak mengerti dia ngomong apa," kata Bik Inah tadi siang.Dari lantai paling atas, separuh lantai atas adalah ruang terbuka. Ada ruang fitnes yang menghadap taman di roff top, di dalamnya berbagai peralatan tersedia, tetapi seperti jarang digunakan. Taman di atas ada teras yang terdapat kursi dan meja panjang, ad
Mas Bram, sebutanku untuk laki-laki bernama Bramantya Atmaja. Dia adalah mantan suamiku. Kami bersama dari masa kuliah dahulu, dan meresmikan setelah mendapatkan ijasah kelulusan. Dimataku, dia orang yang spesial. Dengan postur yang tinggi, badan tegap walaupun tidak terlalu besar, dan kulit sedikit gelap menambah dia kelihatan keren pada saat itu. Dia mengambil jurusan Tehnik Sipil sedangkan aku di D3 Design Interior, pasangan yang sempurna. Berbekal ilmu dan tekad, kami mulai membuka usaha di Bali. Itu tempat yang kami impikan semenjak dulu. Kami bisa bekerja sekaligus berlibur di setiap harinya. Impian yang indah untuk pasangan baru. Bertahap tetapi pasti, usaha kami mulai berkembang. Kebahagiaan saat itu menjadi lengkap dengan lahirnya anak lelakiku, Wisnu Atmaja. Harapan menjadi anak lelaki yang bijaksana yang tersirat disitu. Awalnya, usaha kami masih belum ada hasil memuaskan, untuk membantu keuangan aku bekerja sebagai manager restoran di pusat pariwisata ini. Pengalamanku b
Kriiing .... Kriiing ....Jam weker berbunyi. Pukul empat pagi, kalau di kampung kami dibangunkan oleh azan subuh. Di sini mana ada? Aku segera mandi dan siap-siap untuk salat subuh. Kemarin Amelia minta dibuatkan bekal sekolah. Menu ayam pesannya, tetapi bukan ayam kentucky. Tadi malam, aku memasak ayam lengkuas. Ayam dibumbui dan spesialnya parutan lengkuas yang berlimpah. Sengaja aku buat rebusan ayam bunbu agak banyak. Jadi kalau mau makan tinggal goreng saja. Digoreng hingga kering, enak dimakan dengan nasi putih.Menu ini kesukaan Wisnu. Dia kalau dimasakkan menu ini, alamat nasi terancam habis. Tersenyum aku ingat dia. Bagaimana makannya di kost? Dia sudah enam bulan kuliah di universitas negeri di Malang."Mama tidak usah kawatir. Wisnu di asrama, banyak temannya. Urusan makan, Wisnu bisa atur. Jangan kawatir, ya." Dia menenangkan ketika aku tanya tentang pola makannya. Dia tinggal di asrama di dalam areal kampus, jadi lebih aman.Anakku lebih mandiri, dia adalah kekuatank
Seharian kami sibuk.Pesanan dadakan ayam lengkuas, langsung dieksekusi hari itu juga. Pak Maman sampai Pak Satpam dapat tugas mengupas lengkuas dan bumbu lainnya. Bik Inah memarut lengkuas. Mereka semangat dengan imbalan nasi kotak ayam lengkuas."Lama-lama kita buka pesanan nasi kotak ya, bu?" celetuk Bik Inah sambil tertawa. Aku tersenyum melihat kesibukan ini. Ini benar-benar tragedi!Aku belanja peralatan untuk nasi kotak. Harus yang bagus, jangan sampai membuat malu. Jadi ingat kalau mau hajatan di kampung.Tak lupa, siang hari nasi bekal makan siang untuk Tuan Kusuma. Kalau lupa, bisa diomelin lagi. Aku siapkan di food pack khusus, sehingga makanan tetap hangat sampai di tempat. Tadi sudah ada orang dari kantor ada yang mengambil.Untuk besuk, serundeng lengkuas aku goreng dulu, disimpan di tempat kedap udara. Besuk tinggal goreng ayamnya dan masak nasi. Beres!Tring ... Tring ... Tring ...Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Amelia. [Tante! Papa bilang, tante suruh jempu
#Pembantu_Rasa_Bos 8#Kamu_Cantik!Penat rasanya!Setelah ganti baju kebangsaan emak-emak, daster gombrong, terasa merdeka badan ini.Aku menggosok kakiku dengan minyak angin supaya pegal-pegalnya reda. Maklumlah faktor usia, jalan di mall sebentar sudah angkat tangan. Seperti biasa sebelum tidur, aku membaca cerita favoritku di aplikasi. Alhamdulillah, bisa istirahat lebih awal.Tok ... tok ... tok ....Pintu kamarku ada yang ketok, siapa ya? Apa Bik Inah. Aku buka pintunya, ternyata Amelia dengan menampilkan selarik senyum penuh arti. Dia membawa guling."Ada apa, Sayang?" "Tante, aku tidur sini ya. Please," pintanya dengan tampang memelas. Anak ini memang menggemaskan, manja sekali. "Iya boleh. Tapi besuk harus bangun pagi!" "Beres!" Dia langsung menyelonong masuk dan berbaring memeluk guling yang dia bawa tadi. Iba rasanya melihat anak ini. Bagaimana hari-hari kemarin ketika aku belum datang. Pasti sangat kesepian."Langsung mau tidur? Atau mau makan apa gitu?" kataku sam
"Papi, aku suka yang ini," kata Amelia putriku. Dia menyodorkan berkas kerja ke tanganku.Sudah berbulan-bulan kami mencari pekerja yang mengurus keperluan rumah. Ratusan lamaran yang masuk secara online, banyak yang berminat karena gaji yang ditawarkan besar. Anita karyawan Mami, yang menyortirnya dan tersisa lima belas kandidat. Tumpukan berkas itu sudah satu minggu di meja kerjaku tanpa sempat aku sentuh. Aku tidak ada waktu.Sebenarnya, yang aku cari tidak hanya sekedar pengurus rumah. Namun, teman untuk anakku, Amelia. Diumurnya yang masih labil, dia membutuhkan sosok yang bisa mendampinginya. Aku sebagai papinya tidak sempat dan tidak mengerti kebutuhan anak perempuan seusia dia. Sering kali dia membuatku stres tanpa aku tahu harus bagaimana. Mamiku yang akhirnya turun tangan."Papi! Dilihat dong, Pi. Aku pingin cepet punya temen," rengeknya dengan manja. Kebiasaan kalau ada yang diinginkan dia akan menggelendot di lenganku. Dan tidak akan dilepas sebelum keinginannya terkabul.
Hampir dua minggu aku bekerja di rumah ini. Sedikit demi sedikit aku mengerti tentang sifat Tuan Kusuma dan Nona Amelia. Aku merubah sedikit penataan rumah sehingga terkesan asri dan lebih nyaman, tentunya dengan seijin Tuan Kusuma. Dia membebaskanku untuk mengatur apa yang aku mau. Yang aku rombak di bagian dalam rumah dulu. Di depan pintu rumah, di bagian dalam, aku menaruh meja tinggi sebagai foyer yang di atasnya ada pot besar dengan dedaunan hijau dan bunga sedap malam. Jadi ketika masuk rumah, langsung disuguhi pemandangan daun hijau dan bau wangi bunga. Harapannya, masuk rumah langsung hilang aura negatif dari luar.Di ruang bagian dalam, aku juga meletakkan beberapa bunga hidup di beberapa titik yang aku ambil dari taman belakang. Kesan segar dan nyaman. Dalam hal ini, Pak Maman dan Pak Satpam yang membantuku. Ruang kerja Tuan Kusuma juga aku beri sentuhan sedikit. Setiap hari aku rangkai bunga pisang kecil berwarna kuning yang tumbih banyak di taman belakang. Aksen warna k
Hari minggu yang cerah.Matahari pagi, menghangatkan badanku. Alhamdulillah ....Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya. Riang sekali dia. Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian."Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan."Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deke