Hari minggu yang cerah.
Matahari pagi, menghangatkan badanku. Alhamdulillah ....Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.
Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya.
Riang sekali dia.
Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian.
"Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan.
"Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deket, kok!" Dia menunjuk ke depan, ke arah areal yang rimbun penuh pepohonan tinggi.
Kami istirahat di taman, udaranya sejuk sekali. Aku regangkan tangan dan kakiku. Rasa kaku terasa menghilang, lama tidak olah raga. Biasanya aku rutin menemani Wisnu jalan-jalan pagi. Kadang-kadang ikutan nge-dance ala kadarnya sambil melihat video NCT. "Hati-hati encok, Ma," kelakar Wisnu. Saat itu kami sangat bahagia.
"Tante, anak tante di mana sekarang. Apa dia tidak kangen?" Tiba-tiba dia bertanya tentang Wisnu.
"Anak tante kuliah, Say. Ya kadang-kadang dia hubungi Tante. Kalau ngikutin kangen, ya gak bisa. Wisnu harus konsentrasi dengan cita-citanya." Sengaja aku cerita tentang Wisnu untuk memotivasi dia.
"Namanya Wisnu? Cowok? Dimana sekolahnya, Te?" tanyanya penasaran.
"Iya, namanya Wisnu. Dia sekolah negeri di Malang, Arsitek."
"Cerita, dong. Aku pingin tahu Kak Wisnu, orangnya bagaimana," rajuknya. Tanganku digoyang-goyang menunjukkan ketidaksabarannya.
Pikiranku melayang teringat dia.
Seketika hatiku berdesir. Kangen.Tidak pernah kami berpisah lama semenjak dia kecil. Dulu, aku dan Mas Bram-Papanya Wisnu- selalu bersama. Walaupun saat itu kami pasangan muda yang bekerja, Wisnu kami rawat sendiri.
Untuk keseharian dia, aku langsung yang menangani. Karena kami tahu seorang anak tidak hanya membutuhkan makan dan minum, tetapi perkembangan karakter untuk bekal hidupnya nanti, juga sangat penting. Terbukti, sekarang Wisnu jadi anak kuat dan mandiri.
"Ayo, Tante. Cerita ..., " rengek Amel sekali lagi. Anak ini selain manja juga pemaksa. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya.
"Dia anaknya pintar menggambar. Makanya dia tertarik sekolah di jurusan Arsitek. Alhamdulillah, diterima di negeri."
"Suka juga sama NCT, ya, Te?" cetus Amel, ternyata dia ingat percakapan kami tadi malam.
"Iya. Dia suka sekali NCT. Sampai dibela-belain belajar bahasa Korea, katanya supaya tahu arti lagunya. Ternyata, artinya bagus, bikin semangat. Tante sering dipaksa mendengarkan ceritanya!" Dengan antusiasnya aku bercerita. Terkekeh aku ingat masa-masa itu.
"Dia suka juga nge-dance. Laptopnya penuh video NCT!"
"Ada foto, Kak Wisnu?! Liat dong!"
"Ada!"
Aku keluarkan ponselku dari kantong celana.
"Ini anak Tante," kataku sambil menunjukkan foto-foto Wisnu. Ada beberapa foto kami berdua ketika di rumah ataupun ketika jalan-jalan. Aku jelaskan momen di setiap foto. Tersenyum mengembang di wajahku teringat kala itu.
"Tante! Aku lihat ini!" teriak Amel, direbut ponsel ditanganku. Digerakkannya jari untuk diperbesar foto Wisnu. Terlihat foto kami berdua, duduk di atas motor dengan wajah tertawa lepas.
"Motornya bagus, ya. Amel tidak pernah naik motor. Tidak boleh sama Papi. Pasti asyik!" Dia memandangku dengan mata berbinar.
Motor lawas Honda CB tahun 70-an yang dinaiki kami. Lawas sekali, aku saja belum lahir, he-he-he-he.
Motor itu milik kakeknya yang teronggok tidak terpakai di gudang. Wisnu suka sekali. Dia modifikasi mesin dan dipercantik dengan beberapa asesoris. Hasilnya luar biasa. Foto itu diambil ketika keluar pertama dari bengkel. Test drive, katanya.
"Anak Tante ini, sangat sayang dengan Tante," ucapku terdengar serak. Terasa berat dan sesak mengimpit dada ini. Mataku terasa kabur terhalang air mata yang mulai mengembun.
"Tante sedih. Maaf, ya," bisik Amel sambil memelukku.
"Malang itu deket, Tante. Kapan-kapan ke sana, yuk! Sekalian mau jalan-jalan. Amel bosan di rumah saja. Atau besok saja! Besok kan libur. Aku mau ajak, Papi!" teriaknya.
Dia beranjak dari duduknya. Ditariknya tanganku untuk bergegas pulang ke rumah.
***
Makan sudah aku siapkan. Makan pagi setengah siang. Biasa, kalau hari minggu jadwal makan tidak teratur. Tuan Kusuma dan Amelia sudah siap di meja makan.Aku sajikan jus pepaya yang ditambah perasan jeruk nipis sedikit, ini bagus untuk menetralisir lambung. Menu utama, ayam suwir bumbu serai, terong balado dan opor ayam sudah tersaji.
"Rani, sekalian ikut makan saja. Kamu pasti sudah lapar!" pinta Tuan Kusuma, lebih terdengar perintah, sih. Aku tarik kursi dudukku. Kalau tidak dituruti bisa ngomel lagi dia.
"Ambilkan saya nasi, ayam dan terong. Kasih sedikit kuah opor!" ujarnya menyodorkan piringnya.
"Aku juga, Tante!" sela Amelia.
Aku kerjakan perintah mereka.
Kami makan bersama. Amelia bercerita tentang kegiatan kami tadi. Bahkan, dia bercerita tentang Wisnu dengan antusiasnya."Pi ..., ayok kita ke Malang. Amel mau jalan-jalan. Bosan di rumah. Apalagi besuk libur tanggal merah. Boleh, ya, Pi?" rajuknya kepada Papinya.
"Iya, boleh," sahut Tuan Kusuma langsung mengiyakan. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya dia tidak terlalu paham dengan permintaan Amel. Asal menjawab saja.
"Asyik ...!" teriak Amel menyambut jawaban Papinya.
Benar, dia tidak sadar dengan apa yang dijawabnya tadi. Dia konsentrasi dengan ponsel ditangannya.
"Pi, boleh enggak minta sesuatu?!" Amelia memandang Papinya dengan serius.
"Aku mau punya kakak!" katanya serius.
Tuan Kusuma terhenyak, ditaruhnya ponsel dan menatap balik putrinya. Sesaat terdiam dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Amelia, Sayang. Kalau minta jangan aneh-aneh. Memang ada yang jualan 'kakak'?!" ucapnya sambil masih tertawa. Amel merengut melihat tanggapan Papinya itu.
"Papi, kok ketawa, sih! Amel pingin punya saudara kayak teman-teman Amel!" katanya marah.
"Aku mau Kak Wisnu jadi kakakku!" teriakan Amel mengagetkanku.
Aku tersedak kaget.
Tawa Tuan Kusuma langsung berhenti.Kami saling tatap tidak mengerti apa yang ada di pikiran Amelia.
***
"Rani, maafkan Amelia, ya. Tolong dimengerti. Seumur dia, pikirannya masih labil," ucap Tuan Kusuma kepadaku. Suaranya terdengar berat, seakan ada beban disana. Mungkin dia menyadari, seberapa kesepiannya Amelia selama ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Merasa iba hati ini.Amelia sudah mengurung diri di kamar. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kata Tuan Kusuma, biasanya, dia akan keluar sendiri setelah kekesalannya reda. "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Amelia hanya membutuhkan sosok teman. Mungkin dia melihat teman-temannya yang mempunyai saudara, dan itu terlihat menyenangkan," jelasku. Aku sodorkan teh chamomile hangat, teh ini untuk merelaxkan pikiran. Tuan Kusuma menghelakan napas dengan keras, seakan berusaha mengurai beban yang dia rasakan."Menghadapi Amelia, sering kali saya tidak mengerti. Susah sekali. Dia mempunyai saudara sepupu yang seumur. Tetapi, mereka di luar negeri. Hanya, saya, eyangnya yang diajak bicara. Itupun, jarang," jelas Tuan Kusuma lirih. "Rani, t
'Naluri lelaki adalah penggoda, ketika ada yang membuatnya tertarik. Endingnya? Tergantung si wanitanya bagaimana menanggapinya'***Sudah satu bulan berlalu, aku bekerja di keluarga Tuan Kusuma. Menyenangkan.Aku mempunyai kebebasan untuk melaksanakan tugasku, memasak, mengatur tatanan rumah, bahkan mengelola keuangan keperluan rumah. Aku anggap ini adalah rumahku sendiri yang harus memberikan yang terbaik.Diri ini juga diberi kebebasan untuk mendidik Amelia. Untuk hal terakhir ini, tentunya atas diskusi dan persetujuan dari Tuan Kusuma. Amelia mulai tertarik dengan salat dan malah minta diajari mengaji. Setiap Magrib, kami berjamaah dan dilanjutkan mengaji. Kadang-kadang, kami bercerita tentang kehidupan. Dikesempatan inilah, aku berusaha menggali apa yang dia inginkan dan aku mencoba ajarkan untuk kemandirinnya. Aku anggap dia sebagai anakku sendiri.Bertahap, aku mendidiknya. Aku arahkan dia untuk melakukan sesuatu bukan atas suruhan orang lain, apalagi paksaan. Namun, tetap d
Kesepakatan kami sebagai sahabat sudah terdeklarasi malam itu. Tugasku semakin banyak dan merepotkan. Selain mengatur rumah dan mengurus Amelia, aku diharuskan menjadi teman diskusi Tuan Kusuma.Alasannya, karena sebagai sahabat harus saling membantu, saling bicara, dan saling support. Bukankah itu wajar dan memang harus begitu, jelas Tuan Kusuma. Namun dengan satu syarat yang aku ajukan, tidak ada kontak fisik. Apapun alasannya, baik tidak sengaja ataupun sengaja. Waktuku seharian hampir habis karena mereka, Amelia dan Tuan Kusuma. Terkadang mereka berebut untuk bersamaku, dan bisa bekerja dengan tenang hanya ketika mereka tidak ada di rumah.Pernah Amelia memintaku menemani mengerjakan pekerjaan rumah, bersamaan Tuan Kusuma memintaku mendengarkan keluhannya."Papi ini kayak anak kecil! Tante harus ngajarin aku buat PR. Aku ada yang nggak ngerti!" Protesnya ketika Tuan Kusuma mencoba menghentikanku mengajari Amelia."PR apa sih!? Belajar aja sendiri. Atau, cari jawabannya di inter
Selama satu minggu kemarin, rumah ini terasa lebih hening, karena Amelia ujian semester. Tuan Kusuma sepertinya mengerti, dan dia membiarkan aku untuk mendampingi anak gadisnya. Setelah makan malam, aku langsung menemaninya belajar bahkan sampai tertidur dengan buku masih berserakan. Biasa, gaya belajar kebut semalam.Hari ini, penerimaan raport. Seharusnya Tuan Kusuma yang diharuskan hadir. Akan tetapi karena masih ada keperluan di kantor, terpaksa aku harus menemani Amelia ke sekolah terlebih dahulu. Di sekolah lebih ramai dari biasanya, tempat parkir penuh. Padahal, pembagian raport dibagi tiga gelombang, dan setiap kelas berbeda hari. Bagaimana tidak ramai, satu anak minimal memakai dua jatah tempat parkir mobil. Satu mobil anak dan satu mobil orangtua. Bahkan ada yang lebih, mama dan papanya membawa mobil sendiri-sendiri. Acara sekarang ini, bukan sekedar untuk terima raport, tapi, juga ajang menunjukkan status sosial. Dari kemarin, Tuan Kusuma menegaskan aku untuk tampil
Insiden tadi pagi menjadi trending topic hari ini. Awalnya, Wisnu kaget sekali. Setelah dijelaskan sifat papinya oleh Amelia, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Termasuk Bik Inah yang tadi pagi ketakutan setengah mati. "Tuan memang sering marah-marah, Bu. Tapi, baru tadi pagi saja, Tuan teriak keras seperti itu. Untung saya tidak jantungan," ucap Bik Inah sambil menepuk dadanya."Aku juga, Ma. Kaget! Pas, Om Kusuma teriakin nama aku, aku langsung mikir. Wah, ini pasti motorku. Apa aku nabrak mobil. Atau, kesalahan apalah. Makanya aku segera turun. Takut motorku dikiloin," cetus Wisnu sambil tertawa. "Memang laku, dikiloin?" tambahku."Ya, harus dibantu doa orang sekampung, Te!" timpal Amelia diakhiri tawa mengejek. Mereka langsung tergelak bersama. Aku tersenyum. Rumah semakin tambah ramai. Kami bersama dan bercanda, Amelia kelihatan senang sekali. Dia bercerita terus, dari tentang teman-temannya di sekolah, sampai tentang papinya. Wisnu manggut-manggut saja sambil makan camilan
"Kak! Kak! Kak Wisnu!" teriak Amelia, mengetuk kamarku. Aku yang di dapur mendekatinya, ada apa, ya? Wisnu baru saja bangun. Setelah salat subuh dia tidur lagi, katanya masih mengantuk. Tadi malam, setelah Tuan Kusuma mengangkat Amelia yang ketiduran, turun, dia mengajak Wisnu kembali ke atas. Mereka malah minta dibuatkan kopi, mau main catur, katanya.Sampai tengah malam malam, baru anakku itu kembali ke kamar. Terus terang aku agak kesal, waktuku dengan anakku seperti terampas oleh mereka, Amelia dan Tuan Kusuma. "Cari Kak Wisnu? Kak Wisnu lagi mandi. Baru aja. Tunggu di meja makan saja. Tante sudah buatkan puding mangga," ucapku sambil menarik tangan Amelia. Amelia duduk, dia masih sibuk dengan ponselnya. "Ini, pudingnya dipotong. Trus disiram saus santan," kataku sambil menyodorkan piring kecil didepannya. Aroma mangga dan santan kental menyeruak, Amelia langsung mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dia pegang."Hmm ... baunya enak. Amel mau!" katanya, dan langsung melahap
Jadwal olah raga pagi Tuan Kusuma, berangsur-angsur menghilang seiring kesibukannya yang luar biasa. Tersisa tiga pasang sepatu sport yang teronggok menunggu dipakai kembali.Sepatu, sabar, ya!Sekarang, tinggal Amelia dan Wisnu saja yang latihan fisik di ruang fitnes. Setelah latihan fisik, bersih-bersih, makan terus kembali lagi ke atas untuk latihan untuk pentas. Wisnu sangat keras melatih Amelia. Apalagi waktu pentas kurang dua hari lagi.Tuan Kusuma pun senang melihat hal ini, keinginan dari putrinya untuk berusaha sudah mulai tumbuh.Yang aku sengaja sembunyikan sudah diketahui Tuan Kusuma. Malam itu, ketika mereka main catur, Wisnu dikorek informasi tentang kami. Akhirnya dia tahu, bahwa kami sebelumnya tinggal di Kuta, Bali dan aku lulusan D3 Design Interior yang pernah menekuni bisnis properti.Aku tidak bisa menyalahkan Wisnu, toh dia bicara apa adanya. Bagaimanapun, suatu saat pasti akan diketahui. Dan, pastinya Tuan Kusuma yang ahli menggali informasi bukan tandingan Wisnu
Aku berusaha tidak mengingat kejadian kemarin. Begitu juga Wisnu, dia tidak pernah membahasnya atau sekadar bertanya. Dia bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.Dia lebih konsen dengan latihan bersama Amelia di lantai atas. Katannya, tinggal hari besuk acara di sekolah.Begitu juga Tuan Kusuma. Tidak pernah dia tanya apa dan kenapa yang terjadi kemarin. Dia hanya bertanya, "Ketika mengantar berkas ke kantor, apakah bertemu dengan orang yang kau kenal?""Bertemu Desi saja. Tidak ada yang lain," jawabku seolah aku tidak tahu yang dia maksud. Aku yakin dia tahu, aku lari dari Mas Bram. Dan, aku yakin dia curiga Mas Bram adalah mantan suamiku, papanya Wisnu.Setelah itu dia tidak membahasnya kembali. Hanya sempat dia marah, ketika tahu kami naik motor ke sana. Kawatir ada apa-apa di jalan, alasannya. Setelah aku jelaskan, barulah dia mengerti, dengan catatan, jangan diulangi lagi.Huuuft ....Pupus sudah, harapan jalan naik motor bersama Wisnu. Padahal, tujuan membawa motor ke sini