Seharian kami sibuk.
Pesanan dadakan ayam lengkuas, langsung dieksekusi hari itu juga. Pak Maman sampai Pak Satpam dapat tugas mengupas lengkuas dan bumbu lainnya. Bik Inah memarut lengkuas. Mereka semangat dengan imbalan nasi kotak ayam lengkuas.
"Lama-lama kita buka pesanan nasi kotak ya, bu?" celetuk Bik Inah sambil tertawa. Aku tersenyum melihat kesibukan ini. Ini benar-benar tragedi!
Aku belanja peralatan untuk nasi kotak. Harus yang bagus, jangan sampai membuat malu. Jadi ingat kalau mau hajatan di kampung.
Tak lupa, siang hari nasi bekal makan siang untuk Tuan Kusuma. Kalau lupa, bisa diomelin lagi. Aku siapkan di food pack khusus, sehingga makanan tetap hangat sampai di tempat. Tadi sudah ada orang dari kantor ada yang mengambil.
Untuk besuk, serundeng lengkuas aku goreng dulu, disimpan di tempat kedap udara. Besuk tinggal goreng ayamnya dan masak nasi. Beres!
Tring ... Tring ... Tring ...
Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Amelia.
[Tante! Papa bilang, tante suruh jemput Amel ke sekolah. Langsung mau ke mall. Sekarang ya, Te][OK]
Aku segera siap-siap. Pilihan pakaianku kemeja putih dan rok bunga-bunga. Tidak ada asesoris yang mencolok, karena memang tidak punya. Yang penting tampil rapi. Yang penting, jangan sampai kena marah lagi sama pak bos.
"Pak Maman, ayok berangkat jemput Amel. Dia sudah menunggu! Dia pulang cepat."
*
Sekolah Amelia sangat besar, mobil penjemput berjajar panjang. Semua merk mobil mewah ada disana. Pasti sekolah mahal. Ya iyalah, anaknya bos.
[Tante sudah dimana?]
[Sudah dijalan masuk sekolah. Masih antri. Sabar ya]
[Tidak usah parkir. Amel tunggu di depan gerbang]
[OK]
Kata Pak Maman, antrian panjang mobil penjemput terjadi setiap hari. Ini terjadi juga ketika mengantar sekolah. Makanya, Amelia selalu buru-buru. Oh itu dia, kelihatan Amelia celingak-celinguk melihat mobil yang lewat. Pak Maman berhenti, aku turun membukakan pintu untuk Amelia.
"Tante, duduk di belakang, ya. Bareng Amel," katanya sambil menarikku masuk di bangku belakang. Kami langsung menuju mall sesuai arahan Amelia.
Sampai tujuan, kami langsung menuju butik langganan mereka. Kata Amelia, ini butik langganan keluarga Adijaya. Selain kualitas bagus, koleksinya juga lengkap. Tersedia dari baju anak muda, tua, wanita atau pria bahkan asesoris juga ada. Ternyata butik ini berkerjasama dengan beberapa designer terkenal.
"Selamat siang, Non Amel."
Kami disambut beberapa pegawai yang menjaga pintu, diantarkannya menuju ruangan seperti ruangan untuk tamu. Seorang wanita cantik keluar dari ruangan menghampiri kami.
"Hai Amel cantik. Tadi Papi telpon. Sudah tante disiapkan pesanannya. Ini yang namanya Bu Rani?" katanya, dia melihatku dari atas sampai bawah. Aku tersenyum membalasnya.
"Hmmm, badannya ideal. Perlu sedikit polesan saja. Saya Claudia, yang handle anda. Mari ikut saya!"
Kami mengikutinya.
"Sayang, Tante mau diapain?" bisikku ke Amel.
"Tante mau dimake over," katanya sambil tersenyum.
Ruangan yang kami tuju seperti salon khusus. Aku di lulur, facial dan dirapikan rambutku sedikit. Setelah dua jam, aku dibawa ke ruangan sebelumnya. Terlihat Amelia duduk-duduk malas sambil menikmati camilan yang disediakan.
"Wow, Tante Rani cantik sekali. Wangi!" teriak Amel sambil memelukku erat.
"Kamu tidak capek, Sayang? Maaf ya, menunggu lama."
"Gak capek. Demi, besuk diantar jemput tante. Amelia belain, deh," katanya sambil menggelayut manja.
Iya, kemarin Tuan Kusuma bilang akan membelikan baju untukku supaya tidak memalukan anaknya. Ternyata sampai make over keseluruhan. Aku sebenarnya tidak terlalu suka berjam-jam di salon seperti ini. Tampilan sederhana itu saja sudah cukup.
Mungkin pikiranku yang kolot ini membuat Mas Bram berpaling ke wanita yang lebih modis dan cantik. Laki-laki memang kalau melihat yang lebih bening menjadi jelalatan.
Huuft .... Kalau mengingat itu, hatiku terasa sesak.
Terdengar seperti rak didorong.
Benar.
Tiga rak gantungan baju di dorong ke depan kami. Diikuti wanita cantik tadi.
Oya, namanya Claudia.
"Coba, kesini Bu Rani. Bajunya pilih sendiri atau saya yang pilih?"
"Dipilihkan saja," jawabku.
Semua bagus-bagus. Modelnya sederhana tetapi mewah dan elegan. Baju dirak itu aku lihat bandrol harganya ratusan ribu bahkan hampir satu juta bahkan ada yang lebih. Tidak enak, kalau memilih sendiri, bukan uangnya sendiri.
Setelah bolak balik mencoba baju, Amelia dan Claudia yang menilai. Tak hanya baju, tetapi juga sepatu dan asesoris. Aku dibantu dua asisten untuk mendandaniku. Serasa menjadi model dadakan.
Capek rasanya! Kakiku cenut-cenut!
Mungkin kalau perempuan yang gila belanja akan senang sekali. Tetapi, kalau aku tersiksa rasanya.
"Amel, ini belanjaan tidak kebanyakan, ya?"
Tumpukan baju lebih dari satu lusin, asesoris dari anting, kalung, gelang sampai kalung dan juga beberapa pasang sepatu. Berapa totalnya ini?
"Tidak, Tante. Papi tadi yang nyuruh langsung ke Tante Claudia. Sudah tenang aja. Tante nurut aja, Papi nanti marah, lo," katanya sambil senyum-senyum senang.
"Tante, tadi Papi telpon. Katanya langsung ke rumah eyang. Jadi nanti tidak usah ditingguin."
Tring ... Tring ... Tring ...
[Rani]
[Saya langsung rumah mama]
[Jangan ditunggu]
Ternyata Tuan Kusuma yang kirim pesan. Bukannya tadi sudah kasih tahu Amelia, ya. Ada-ada saja.
[Baik, Pak. Kami masih di butik sekarang. Terima kasih atas semuanya]
[OC :-)]
Langsung dijawab pesannya dengan tanda smile di belakangnya. Ternyata bisa santai juga dia.Berarti, nanti aku bisa langsung istirahat. Tidak usah menyiapkan makan malam dan menunggu Tuan Kusuma yang pulang malam.
"Bu Rani, semua sudah selesai. Untuk semuanya, sudah saya laporkan ke Tuan Kusuma. Ada yang bisa saya bantu lagi?" kata Claudia menggangguk sopan.
"Tidak terima kasih," ujarku. Aku sudah tidak sabar untuk pulang. Capek!
Ketika melewati cermin besar, aku melirik kebayanganku. Hasil make over, memuaskan!
Sangat memuaskan!
***
#Pembantu_Rasa_Bos 8#Kamu_Cantik!Penat rasanya!Setelah ganti baju kebangsaan emak-emak, daster gombrong, terasa merdeka badan ini.Aku menggosok kakiku dengan minyak angin supaya pegal-pegalnya reda. Maklumlah faktor usia, jalan di mall sebentar sudah angkat tangan. Seperti biasa sebelum tidur, aku membaca cerita favoritku di aplikasi. Alhamdulillah, bisa istirahat lebih awal.Tok ... tok ... tok ....Pintu kamarku ada yang ketok, siapa ya? Apa Bik Inah. Aku buka pintunya, ternyata Amelia dengan menampilkan selarik senyum penuh arti. Dia membawa guling."Ada apa, Sayang?" "Tante, aku tidur sini ya. Please," pintanya dengan tampang memelas. Anak ini memang menggemaskan, manja sekali. "Iya boleh. Tapi besuk harus bangun pagi!" "Beres!" Dia langsung menyelonong masuk dan berbaring memeluk guling yang dia bawa tadi. Iba rasanya melihat anak ini. Bagaimana hari-hari kemarin ketika aku belum datang. Pasti sangat kesepian."Langsung mau tidur? Atau mau makan apa gitu?" kataku sam
"Papi, aku suka yang ini," kata Amelia putriku. Dia menyodorkan berkas kerja ke tanganku.Sudah berbulan-bulan kami mencari pekerja yang mengurus keperluan rumah. Ratusan lamaran yang masuk secara online, banyak yang berminat karena gaji yang ditawarkan besar. Anita karyawan Mami, yang menyortirnya dan tersisa lima belas kandidat. Tumpukan berkas itu sudah satu minggu di meja kerjaku tanpa sempat aku sentuh. Aku tidak ada waktu.Sebenarnya, yang aku cari tidak hanya sekedar pengurus rumah. Namun, teman untuk anakku, Amelia. Diumurnya yang masih labil, dia membutuhkan sosok yang bisa mendampinginya. Aku sebagai papinya tidak sempat dan tidak mengerti kebutuhan anak perempuan seusia dia. Sering kali dia membuatku stres tanpa aku tahu harus bagaimana. Mamiku yang akhirnya turun tangan."Papi! Dilihat dong, Pi. Aku pingin cepet punya temen," rengeknya dengan manja. Kebiasaan kalau ada yang diinginkan dia akan menggelendot di lenganku. Dan tidak akan dilepas sebelum keinginannya terkabul.
Hampir dua minggu aku bekerja di rumah ini. Sedikit demi sedikit aku mengerti tentang sifat Tuan Kusuma dan Nona Amelia. Aku merubah sedikit penataan rumah sehingga terkesan asri dan lebih nyaman, tentunya dengan seijin Tuan Kusuma. Dia membebaskanku untuk mengatur apa yang aku mau. Yang aku rombak di bagian dalam rumah dulu. Di depan pintu rumah, di bagian dalam, aku menaruh meja tinggi sebagai foyer yang di atasnya ada pot besar dengan dedaunan hijau dan bunga sedap malam. Jadi ketika masuk rumah, langsung disuguhi pemandangan daun hijau dan bau wangi bunga. Harapannya, masuk rumah langsung hilang aura negatif dari luar.Di ruang bagian dalam, aku juga meletakkan beberapa bunga hidup di beberapa titik yang aku ambil dari taman belakang. Kesan segar dan nyaman. Dalam hal ini, Pak Maman dan Pak Satpam yang membantuku. Ruang kerja Tuan Kusuma juga aku beri sentuhan sedikit. Setiap hari aku rangkai bunga pisang kecil berwarna kuning yang tumbih banyak di taman belakang. Aksen warna k
Hari minggu yang cerah.Matahari pagi, menghangatkan badanku. Alhamdulillah ....Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya. Riang sekali dia. Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian."Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan."Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deke
"Rani, maafkan Amelia, ya. Tolong dimengerti. Seumur dia, pikirannya masih labil," ucap Tuan Kusuma kepadaku. Suaranya terdengar berat, seakan ada beban disana. Mungkin dia menyadari, seberapa kesepiannya Amelia selama ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Merasa iba hati ini.Amelia sudah mengurung diri di kamar. Kami tidak diperbolehkan masuk. Kata Tuan Kusuma, biasanya, dia akan keluar sendiri setelah kekesalannya reda. "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Amelia hanya membutuhkan sosok teman. Mungkin dia melihat teman-temannya yang mempunyai saudara, dan itu terlihat menyenangkan," jelasku. Aku sodorkan teh chamomile hangat, teh ini untuk merelaxkan pikiran. Tuan Kusuma menghelakan napas dengan keras, seakan berusaha mengurai beban yang dia rasakan."Menghadapi Amelia, sering kali saya tidak mengerti. Susah sekali. Dia mempunyai saudara sepupu yang seumur. Tetapi, mereka di luar negeri. Hanya, saya, eyangnya yang diajak bicara. Itupun, jarang," jelas Tuan Kusuma lirih. "Rani, t
'Naluri lelaki adalah penggoda, ketika ada yang membuatnya tertarik. Endingnya? Tergantung si wanitanya bagaimana menanggapinya'***Sudah satu bulan berlalu, aku bekerja di keluarga Tuan Kusuma. Menyenangkan.Aku mempunyai kebebasan untuk melaksanakan tugasku, memasak, mengatur tatanan rumah, bahkan mengelola keuangan keperluan rumah. Aku anggap ini adalah rumahku sendiri yang harus memberikan yang terbaik.Diri ini juga diberi kebebasan untuk mendidik Amelia. Untuk hal terakhir ini, tentunya atas diskusi dan persetujuan dari Tuan Kusuma. Amelia mulai tertarik dengan salat dan malah minta diajari mengaji. Setiap Magrib, kami berjamaah dan dilanjutkan mengaji. Kadang-kadang, kami bercerita tentang kehidupan. Dikesempatan inilah, aku berusaha menggali apa yang dia inginkan dan aku mencoba ajarkan untuk kemandirinnya. Aku anggap dia sebagai anakku sendiri.Bertahap, aku mendidiknya. Aku arahkan dia untuk melakukan sesuatu bukan atas suruhan orang lain, apalagi paksaan. Namun, tetap d
Kesepakatan kami sebagai sahabat sudah terdeklarasi malam itu. Tugasku semakin banyak dan merepotkan. Selain mengatur rumah dan mengurus Amelia, aku diharuskan menjadi teman diskusi Tuan Kusuma.Alasannya, karena sebagai sahabat harus saling membantu, saling bicara, dan saling support. Bukankah itu wajar dan memang harus begitu, jelas Tuan Kusuma. Namun dengan satu syarat yang aku ajukan, tidak ada kontak fisik. Apapun alasannya, baik tidak sengaja ataupun sengaja. Waktuku seharian hampir habis karena mereka, Amelia dan Tuan Kusuma. Terkadang mereka berebut untuk bersamaku, dan bisa bekerja dengan tenang hanya ketika mereka tidak ada di rumah.Pernah Amelia memintaku menemani mengerjakan pekerjaan rumah, bersamaan Tuan Kusuma memintaku mendengarkan keluhannya."Papi ini kayak anak kecil! Tante harus ngajarin aku buat PR. Aku ada yang nggak ngerti!" Protesnya ketika Tuan Kusuma mencoba menghentikanku mengajari Amelia."PR apa sih!? Belajar aja sendiri. Atau, cari jawabannya di inter
Selama satu minggu kemarin, rumah ini terasa lebih hening, karena Amelia ujian semester. Tuan Kusuma sepertinya mengerti, dan dia membiarkan aku untuk mendampingi anak gadisnya. Setelah makan malam, aku langsung menemaninya belajar bahkan sampai tertidur dengan buku masih berserakan. Biasa, gaya belajar kebut semalam.Hari ini, penerimaan raport. Seharusnya Tuan Kusuma yang diharuskan hadir. Akan tetapi karena masih ada keperluan di kantor, terpaksa aku harus menemani Amelia ke sekolah terlebih dahulu. Di sekolah lebih ramai dari biasanya, tempat parkir penuh. Padahal, pembagian raport dibagi tiga gelombang, dan setiap kelas berbeda hari. Bagaimana tidak ramai, satu anak minimal memakai dua jatah tempat parkir mobil. Satu mobil anak dan satu mobil orangtua. Bahkan ada yang lebih, mama dan papanya membawa mobil sendiri-sendiri. Acara sekarang ini, bukan sekedar untuk terima raport, tapi, juga ajang menunjukkan status sosial. Dari kemarin, Tuan Kusuma menegaskan aku untuk tampil