Isi kepalaku berisi berbagai prasangka dan analisa siapa yang sebegitu penasaran dengan kehidupan kami. Seperti gado-gado yang aku makan sekarang ini, campur baur. Apa dia orang dari masa lalu Mas Suma? Atau, justru orang yang pernah penasaran denganku? Bisa jadi, lawan bisnis kami yang mencari kelemahan di keluarga kami. Sampai selesai makan, Claudia belum menampakkan wajahnya. Aku menyeruput jus pepaya di bagian terakhir. Otakku yang sedang berpikir, ternyata tidak menyurutkan rasa lapar, justru membuatku khilaf. “Sudah selesai makannya, Bu Rani? Ini ada camilan.” Claudia datang diikuti anak buahnya yang membawa namban berisi toples kecil-kecil yang lucu dan teh hangat yang masil mengepul. “Sudah. Makanannya enak. Terima kasih, ya,” sahutku sambil melemparkan senyuman. “Sebenarnya aku menunggu rekaman CCTV itu, lo. Mana?” “Masih disiapkan orang IT saya. Sekalian saya berikan copynya ke Bu Rani. Tapi, saran saya dilihat di rumah saja. Karena sekarang Bu Rani kan lagi perawatan, j
Jangan ditanya bagaimana perasaanku sekarang ini. Menatap sosok di depanku yang mengingatkan kejadian beberapa tahun yang lalu. Ya, wanita ini seseorang yang penasaran dengan Mas Suma. Masih lekat tindakannya yang bisa digolongkan tindak kriminal. Walaupun karena permohonan ayahnya lah, akhirnya dia direhabilitasi karena kecanduan obat dan gangguan mental. Pemakluman dari Mas Suma yang membebaskan dia dari hukuman. Namun, itu ternyata tidak membuatnya jera. Sepertinya semua ucapan dari siapapun tidak mampu membuat otaknya yang bebal itu sadar. Kalau laki-laki yang diharapkan, tidak mungkin dia dapatkan. Seketika tangan ini terkepal keras, menahan amarah yang sudah terlepas dari rasa pemakluman. “Bu Rani kenal dengan dia?” tanya Claudia dengan suara pelan. Walaupun berbisik, suarany membuatku terhenyak dari kubang kekesalan melihat sosok di depanku ini. Seketika aku sadar, aku harus keluar amarah yang mulai menguasai. Bukankan, emosi yang tidak terkontrol hanya akan membuat kita mud
Sesaat kami saling pandang dengan menajamkan mata. Kami seperti dua kucing betina yang siap menerkam untuk menunjukkan ketajaman cakar yang mulai gatal.Wajahnya yang putih mulai mengeras. Kedua alis matanya pun mulai bertaut. Namun, aku sambut dengan senyuman dan kedipan mata.Bukankah ini perlawanan yang elegan? Membuat lawan menyerah pada kekesalan, hanya dengan senyuman?“Bu Rani.”Suara pelan Claudia mengingatkan aku pada permintaannya tadi. Ada nada kekawatiran di sana. Pasti dia takut kami berakhir dengan saling menjambak rambut dan membuat berantakan tempatnya yang tenang ini.Seketika tercetus ide, aku mengurungkan niat untuk menangguhkan perawatan berikutnya. Menghadapi Catherine tidak cukup dengan menegangkan otak, tetapi harus dengan kehalusan juga. Terutama untuk mengikat lebih erat suamiku dan mematahkan pikirannya kalau suamiku sudah bosan denganku. Aku harus memanfaatkan nama Mas Suma untuk membuatnya menyerah.Bukankah itu yang menjadi incarannya, sampai dia bersikap
Anggap saja dia burung gagak yang mengganggu. Aku, si elang tidak akan menghiraukan patukannya. Lebih baik aku melesat terbang tinggi dan si gagak akan luruh dengan sendirinya. Untuk apa terpusat dengan gangguan, hanya membuat rusak hari saja. Lebih baik aku menikmati sisa hari ini dan menyambut waktu untuk bahagia. Dalam hati sebenarnya aku menaruh iba kepada Catherine. Dengan apa yang dia miliki, dia tidak bisa bersyukur dan menikmatinya. Justru dia terfokus pada hal yang bukan haknya. Bukankah itu namanya merugi? Penampilannya luar biasa, kecantikan dan badan di atas rata-rata, bahkan materi pendukungpun ada. Trus, kenapa dia masih merasa kurang? “Ini tahapan yang paling akhir, kan?” tanyaku kepada Claudia. “Iya. Tinggal relaxasi saja. Bagaimana? Sudah merasa segar, kan?” Aku mengacungkan jempol tanganku sambil tersenyum puas. Badanku terasa segar dan relax. Aroma harum shea butter pilihanku menguar lembut dari tubuh ini. Kulitku pun terasa halus dan kenyal. Senyum ini terci
Aku dan Mas Suma saling perpandangan dengan kening berkerut mendapati reaksi Catherine. Masih ingat apa yang diucapkan saat tadi bertemu denganku dan aku bertanya kabar. “Keadaanku semakin baik. Apalagi aku sekarang sudah bebas!” ucapnya dengan tersenyum, bahkan dia merentangkan kedua tangannya seakan mensyukuri keadaannya. Namun, kenapa sekarang reaksinya berbanding terbalik? Belum sepenuhnya kami mengerti yang dia maksud, wanita ini semakin tergugu dengan tangisannya. Kemudian merangkul Mas Suma dan menenggelamkan kepalanya di pelukan suamiku. Kedua tangan Mas Suma terentang dengan wajah kebingungan. Jangan ditanya bagaimana reaksiku? Wajah ini semakin berkerut dengan menyorotkan tatapan kesal ke arah mereka. Memang bukan salah Mas Suma, tapi dia kan bisa berkelit ala Jackie Chan? Bisa kan dia berkelit, pasang kuda-kuda, atau berlari menghindari pelukan wanita yang sudah mematik amarahku ini? “Papa, Mas Suma….” Ucapnya kemudian terhenti karena tangisan yang semakin keras. Bebe
Mobil yang membawa kami membelah jalanan yang mulai ditinggalkan surya, terganti dengan sinar temaram dari lampu jalanan. Langit yang gelap pun semakin indah dihiasi gemerlap bintang dan sang dewi yang menunjukkan bentuk bulat penuhnya. Ya, bulan purnama mulai muncul malu-malu di sela bayangan pohon di tepian. “Kita masuk ke sini. Tempatnya keren,” seru Mas Suma, kemudian memutar setir ke kiri. Seperti dipaksa masuk ke atmosfer yang ditawarkan, kanan kiri jalan yang dipagari pohon cemara berjajar hanya disinari lampu sorot yang terpancar dari tanah. Sinar yang menghidupkan pepohonan seakan mengucapkan selamat datang. Udara sejuk menyeruak masuk seiring kaca mobil yang terbuka pelan. Bahkan, pendengaran ini menangkap lamat-lamat debur ombak yang menerbitkan senyumanku seketika. Dalam kepalaku sudah terbayang, tempat makan malam bagaimana pilihannya. “Kamu suka?” ucap Mas Suma sesaat setelah membukakan pintu untukku. Tangannya terulur dan kusambut dengan senyuman. Rasa hangat menjal
Perbincangan kami malam itu masih terngiang. Suamiku seakan menumpahkan semua rasa tentang perjalanan kisah kami. Memang, tak jarang terpatik rasa cemburu dan kesal, karena kesalah pahaman. Namun, secara keseluruhan Mas Suma mendapatkan kedamaian dan ketenangan di dalam pernikahan kami.Ini sungguh membanggakan dan membahagiakan bagiku sebagai istri. Menunjukkan kalau kami mendapatkan pilihan yang tertepat dari-Nya di kesempatan kedua ini.“Menikah itu tujuannya tidak cukup untuk bertujuan menyatukan cinta, namun untuk ketenangan dan kedamaian. Menikah tidak cukup memiliki rumah dalam bentuk bangunan, tapi untuk membangun rumah dalam wujud keluarga. Yah, home not house.”“Jadi saat kita pulang ke rumah, maksudnya rumah adalah keluarga?” timpalku saat itu menarik kesimpulan.“Betul banget. Dan rumahku adalah kamu. Sepenat-penatnya aku di kantor, saat pulang aku merasa semua menguap begitu saja. Begitu juga saat aku meninggalkan rumah, tidak ada kekawatiran karena ada kamu. Ini aku rasa
Rumah sekarang sudah normal kembali. Kepulangan anak-anak dari kampung menambah hidup rumah ini. Setiap pagi, mulai disibukkan dengan tingkah lucu Danish dan Anind, juga kesibukan Amelia. Sedangkan Wisnu kembali ke kampus untuk mengurus acara wisuda.Suasana di meja makan kembali normal. Aku menyiapkan makan pagi Amelia dan Mas Suma. Sesuai permintaan kemarin, mereka minta sarapan nasi uduk dengan lauk ayam lengkuas.Dari dapur aku mendengar mereka berbicara serius, suatu hal yang jarang aku temui. Amelia menunjukkan raut wajah tidak terima, sedangkan Mas Suma berbincang seakan menyakinkan sesuatu. Dari dapur, aku mencoba menajamkan telinga. Namun, suara mereka yang seperti sengaja dipelankan membuatku tidak bisa menangkap apapun.Entah, apa yang mereka bicarakan.Aku bergegas menyelesaikan menyiapkan makanan dan langsung membawa bergabung dengan mereka. Siapa tahu mereka menungguku untuk membicarakan masalah yang terlihat serius itu.“Pesanan nasi uduk datang! Ayo kita makan dulu!”A