Aku panik ketika melihat darah di hidung Mayang, dan wajahnya pun terlihat pucat. Astaga, apa yang harus kuperbuat saat ini?
Kuinjak gas mobil dengan kecepatan tinggi, dan melaju sekencang-kencangnya tanpa memikirkan kendaraan yang melintas.
Mayang, istriku, ia kenapa? Ada apa dengan tubuhnya? Apakah ada penyakit serius yang ia derita?
Setelah mencari rumah sakit terdekat dari rumah ibu, akhirnya kumenemukan sebuah rumah sakit besar hanya dalam waktu sepuluh menit.
Kuparkirkan mobil di depan ruang UGD persis, dan petugas beserta team medis segera membawa Mayang ke ruang gawat darurat. Ada perasaan cemas dan tegang di dada ini. Lalu kupinta petugas untuk memarkirkan mobil ke halaman parkir.
"Mas, tolong parkirkan mobil saya, ini kuncinya! Ditunggu di depan UGD, ya!" suruhku. Kemudian, ia pun mengangguk tanpa basa-basi, dan bergegas pergi membawa mobilku.
Aku lihat jam yang melingkar di tanganku ini. Sudah pukul dua siang,
"Mayang, kamu tidur, Sayang?" tanyaku sekali lagi. Kali ini tangan kiri berusaha menyentuh pipinya, agar ia terkejut dengan colekanku.Sepertinya ia tidak tidur, aku harus mengecek napasnya. Kupegang bagian lubang hidung, tapi masih ada napas yang berhembus. Aku tak membuang waktu lagi, gas mobil kuinjak dengan kencang, dan segera menuju ke Rumah Sakit Maya Bakti. Kali ini aku yakin Mayang bukan sakit biasa.Sambil melaju kencang ku coba pegang tubuh Mayang. Astaga, dingin sekali tubuhnya. Kemudian, aku menepi untuk memeriksa denyut nadi Mayang. Setelah itu, kupegang tangan sebelah kanannya, dan dengan uraian air mata, aku pun teriak."Mayang!""Mas, awas!" teriak Mayang seketika mengejutkanku. Hampir saja mobil yang aku kendarai menabrak portal jalan. Ternyata aku hanya melamun, rasa cemas dan takut kehilangan Mayang membuatku membayangkan yang negatif."Mas, kamu kenapa sih? Yang fokus kalau nyupir," celetuk Mayang menatapku lirih."
"Mas, kamu ngapain?" tanya Mayang seketika membuatku terkejut. Kertas yang sedang kubaca pun terpaksa dimasukkan kembali ke dalam tasnya."Kamu sudah bangun? Tadi ada telepon masuk dari nomer tak dikenal, mau diangkat sudah mati," jawabku dengan alasan. Ia pun sontak meraih tas yang sedari tadi kupegang. Masih ada rasa penasaran di dalam dada ini. Namun, untuk sementara aku biarkan Mayang mengambil tasnya itu dari tanganku.Mumpung Mayang sudah bangun, aku mengajaknya untuk jalan-jalan ke taman. Siapa tahu ia masih ingin bercerita padaku."Kita ke taman, mau nggak?" tanyaku. Mayang menggelengkan kepalanya. Ia menolak ajakanku."Masih pusing?" tanyaku sambil merapikan rambutnya. Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika merapikan rambut yang berantakan tiba-tiba rambut panjangnya banyak yang kebawa."Mayang, rambutmu rontok banyak banget, kamu serius baik-baik saja?" tanyaku sembari menatap netranya yang sayup."Mas, aku tuh lagi nggak cocok sh
"Sudahlah, tidak perlu cemas, ini hal biasa," jawab Mayang sembari meraih tisyu yang aku pegang. Kemudian, aku tatap kembali wajahnya. Ia tersenyum tipis di hadapanku, tapi setelah itu, air mata mulai membasahi pipinya."Mayang, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Aku menanyakan tepat di hadapan wanita yang kupersunting dengan mas kawin hanya sepasang anting kecil yang masih melekat di telinganya.Tangannya mencoba meraih jari jemariku. Kemudian, ia mengecupnya dengan mesra."Mas, aku baik-baik saja," ucapnya sambil menitihkan air mata."Kamu sudah tidak bisa berbohong, ini pasti ada apa-apanya," sahutku sambil menggelengkan kepala.Tiba-tiba ketukan pintu terdengar dari arah luar. Sepertinya ada tamu yang datang."Mayang, aku lihat ke depan, sepertinya ada tamu," tutupku. Kami belum selesai bicara, tapi sudah terjeda lagi dengan kedatangan tamu."Aku tunggu di sini, Mas," jawabnya pelan.Kemudian aku melangkah dengan cep
POV ArdanMayang, istriku tergeletak di lantai kamar mandi. Entah apa yang ingin ia lakukan hingga harus ke kamar mandi sendirian tanpa bantuan orang lain.Aku membopongnya dengan tergopoh-gopoh, kemudian segera membawanya ke rumah sakit."Mbok, kamu ikut saya," suruhku. "Bu, Sita, jaga Arya!" perintahku dengan sengaja. Aku melakukan hal ini karena ada yang ingin kutanyakan pada Mbok Ani."Terbalik, Ardan. Ibu yang ikut, Mbok di rumah jaga Arya!" aturnya. Padahal, ini rumahku, dan Mayang adalah istriku. Seharusnya, memang terserah aku saja."Jangan bantah, Bu. Kan Mayang sedang dalam keadaan sakit," sahutku. Di balik ingin bicara pada Mbok Ani, aku pun masih merasakan hal yang aneh pada diri ibu. Ia seakan-akan tidak tulus ingin meminta maaf pada Mayang.Tanpa basa-basi lagi, Mbok Ani turut masuk ke dalam mobil. Ia duduk di belakang bersama Mayang.Dengan perasaan cemas dan gemetar, aku menyalakan mesin mobil dan menginjak gas dengan
"Mayang mengidap kanker, Pak," sahutku sambil mengeluarkan air mata."Astaga, kamu suaminya baru mengetahui ini?" sentak Pak Wijaya."Iya, Pak. Makanya, saya mau tanya ke Pak Wijaya, siapa tahu paham dengan pengobatan terbaik," ucapku lemas."Saya akan bantu carikan, nanti saya tanya pada Tiara. Sepertinya saya pernah dengar temannya ada yang sembuh, tapi temannya Tiara masih stadium 1 waktu itu," jawabnya."Semoga saja Mayang juga bisa sembuh, Pak. Aku belum tahu sudah separah apa penyakitnya, Dokter belum keluar, sekarang masih di ruangan tindakan," ujarku lirih."Ardan, ini kesalahanmu, tidak memahami kondisi istri, hingga sudah seperti ini baru sadar," cetus Pak Wijaya membuatku merenung. Pantas saja ia sering nangis ketika melihat Arya, mungkin pikirannya sudah mengarah dekat dengan kematian. Astaga, laki-laki macam apa aku ini? Benar-benar memalukan!Telepon pun aku matikan tanpa berpamitan lagi. Pukulan-pukulan itu datang menampar hat
Aku tersentak ketika mendengar pertanyaannya. Papa Sandi dan Mama Ratna terus menerus menatapku. Mereka menunggu pernyataan tentang penyakit Mayang."Ardan, kenapa bengong?" tanya papa."Pah, Mah, aku baik-baik saja," ucap Mayang. Ia tidak pernah berhenti meyakinkan kami bahwa ia baik-baik saja.Krekek ....Suara pintu dibuka oleh salah seorang suster. Ternyata dokter yang menangani Mayang datang untuk visit."Pagi, Mayang ...." sapa dokter dan susternya. Kuperhatikan mereka sudah amat dekat, seperti sudah lama bertemu."Pagi, Dokter Sulis," jawab Mayang. Ia mengenal nama dokternya. Itu artinya sudah sering bertemu.Kami semua mundur, mempersilahkan dokter memeriksa kondisi Mayang."Bagaimana si, kan saya bilang banyak-banyak istirahat di rumah, nggak usah becicilan," canda dokternya."Dokter bisa saja," ejek Mayang gantian. Kemudian, setelah diperiksa, aku pun mendekatinya."Dok, bagaimana dengan istri saya?" tan
"Siang, Bu. Cari siapa, ya?" tanyaku dengan sopan. Namun, pandangan wanita itu terus menatap ibuku. Mereka berdua saling beradu pandangan, kulihat keduanya seperti saling mengenal."Bu, Ibu kenal tamu yang datang?" tanyaku penasaran. Akan tetapi, ibu tidak mendengar."Bu, Mas Ardan tanya ke Ibu," celetuk Sita sambil mengagetkan ibuku dengan tepukan ke pundaknya. Mereka berdua pun seketika salah tingkah. Kulihat keduanya saling mengalihkan pandangannya."Maaf, ada Mayang?" tanya wanita yang masih berdiri di hadapanku."Mayang? Ibu kenal dengan Mayang? Lalu tadi ibuku menyebutkan nama Anika, apa kalian saling kenal?" tanyaku menyelidik."Ya, saya kenal Mayang, dan kenal Ibumu itu," ucapnya sambil menunjuk dengan bibirnya. Alisnya terangkat kemudian tersenyum tipis pada ibu."Maaf, kenal Mayang di mana?" tanyaku keheranan. Masa iya istriku berteman dengan sepantaran ibuku."Boleh masuk dan duduk terlebih dulu?" pintanya membuatku malu. R
POV MayangArya adalah salah satu alasan untukku bertahan. Setiap kali menyusui anak itu, wajah mungilnya selalu membuatku menitihkan air mata. Ia akan kehilangan sosok seorang ibu.Bukan sekadar karena penyakit yang aku derita, tapi rasa bersalahku yang terus menerus menyiksa, membuat penyakitku semakin bertambah parah. Bagaimana tidak, ucapan ibu mertuaku bahwa melahirkan Caesar tidaklah ibu yang sempurna, membuatku merasa bersalah pada Arya yang telah melahirkannya dengan persalinan operasi.Selain penyakit yang aku derita ini, ada sesuatu hal yang aku rahasiakan pada Mas Ardan. Itu sebabnya, aku akan mengutarakan ini semua pada tanggal 5 September. Banyak yang ingin kubicarakan di hari spesial itu."Pah, jangan marah pada Mas Ardan, ia tidak tahu apa-apa, suamiku itu hanya tidak ingin disebut anak durhaka," ucapku ketika Mas Ardan pulang. Papa yang teramat benci pada suamiku, membuat mulut ini harus menguak semua yang aku tahu."Kamu ngga