"Mayang mengidap kanker, Pak," sahutku sambil mengeluarkan air mata.
"Astaga, kamu suaminya baru mengetahui ini?" sentak Pak Wijaya.
"Iya, Pak. Makanya, saya mau tanya ke Pak Wijaya, siapa tahu paham dengan pengobatan terbaik," ucapku lemas.
"Saya akan bantu carikan, nanti saya tanya pada Tiara. Sepertinya saya pernah dengar temannya ada yang sembuh, tapi temannya Tiara masih stadium 1 waktu itu," jawabnya.
"Semoga saja Mayang juga bisa sembuh, Pak. Aku belum tahu sudah separah apa penyakitnya, Dokter belum keluar, sekarang masih di ruangan tindakan," ujarku lirih.
"Ardan, ini kesalahanmu, tidak memahami kondisi istri, hingga sudah seperti ini baru sadar," cetus Pak Wijaya membuatku merenung. Pantas saja ia sering nangis ketika melihat Arya, mungkin pikirannya sudah mengarah dekat dengan kematian. Astaga, laki-laki macam apa aku ini? Benar-benar memalukan!
Telepon pun aku matikan tanpa berpamitan lagi. Pukulan-pukulan itu datang menampar hat
Aku tersentak ketika mendengar pertanyaannya. Papa Sandi dan Mama Ratna terus menerus menatapku. Mereka menunggu pernyataan tentang penyakit Mayang."Ardan, kenapa bengong?" tanya papa."Pah, Mah, aku baik-baik saja," ucap Mayang. Ia tidak pernah berhenti meyakinkan kami bahwa ia baik-baik saja.Krekek ....Suara pintu dibuka oleh salah seorang suster. Ternyata dokter yang menangani Mayang datang untuk visit."Pagi, Mayang ...." sapa dokter dan susternya. Kuperhatikan mereka sudah amat dekat, seperti sudah lama bertemu."Pagi, Dokter Sulis," jawab Mayang. Ia mengenal nama dokternya. Itu artinya sudah sering bertemu.Kami semua mundur, mempersilahkan dokter memeriksa kondisi Mayang."Bagaimana si, kan saya bilang banyak-banyak istirahat di rumah, nggak usah becicilan," canda dokternya."Dokter bisa saja," ejek Mayang gantian. Kemudian, setelah diperiksa, aku pun mendekatinya."Dok, bagaimana dengan istri saya?" tan
"Siang, Bu. Cari siapa, ya?" tanyaku dengan sopan. Namun, pandangan wanita itu terus menatap ibuku. Mereka berdua saling beradu pandangan, kulihat keduanya seperti saling mengenal."Bu, Ibu kenal tamu yang datang?" tanyaku penasaran. Akan tetapi, ibu tidak mendengar."Bu, Mas Ardan tanya ke Ibu," celetuk Sita sambil mengagetkan ibuku dengan tepukan ke pundaknya. Mereka berdua pun seketika salah tingkah. Kulihat keduanya saling mengalihkan pandangannya."Maaf, ada Mayang?" tanya wanita yang masih berdiri di hadapanku."Mayang? Ibu kenal dengan Mayang? Lalu tadi ibuku menyebutkan nama Anika, apa kalian saling kenal?" tanyaku menyelidik."Ya, saya kenal Mayang, dan kenal Ibumu itu," ucapnya sambil menunjuk dengan bibirnya. Alisnya terangkat kemudian tersenyum tipis pada ibu."Maaf, kenal Mayang di mana?" tanyaku keheranan. Masa iya istriku berteman dengan sepantaran ibuku."Boleh masuk dan duduk terlebih dulu?" pintanya membuatku malu. R
POV MayangArya adalah salah satu alasan untukku bertahan. Setiap kali menyusui anak itu, wajah mungilnya selalu membuatku menitihkan air mata. Ia akan kehilangan sosok seorang ibu.Bukan sekadar karena penyakit yang aku derita, tapi rasa bersalahku yang terus menerus menyiksa, membuat penyakitku semakin bertambah parah. Bagaimana tidak, ucapan ibu mertuaku bahwa melahirkan Caesar tidaklah ibu yang sempurna, membuatku merasa bersalah pada Arya yang telah melahirkannya dengan persalinan operasi.Selain penyakit yang aku derita ini, ada sesuatu hal yang aku rahasiakan pada Mas Ardan. Itu sebabnya, aku akan mengutarakan ini semua pada tanggal 5 September. Banyak yang ingin kubicarakan di hari spesial itu."Pah, jangan marah pada Mas Ardan, ia tidak tahu apa-apa, suamiku itu hanya tidak ingin disebut anak durhaka," ucapku ketika Mas Ardan pulang. Papa yang teramat benci pada suamiku, membuat mulut ini harus menguak semua yang aku tahu."Kamu ngga
Bab 22Aku pikir Mayang dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri, atau rumah sakit pilihan orang tuanya. Namun, ternyata Papa Sandi hanya memindahkan ke kamar lain. Ada rasa penasaran juga di dalam hati ini. Kenapa mereka memindahkan Mayang secara tiba-tiba.Lebih mengejutkan lagi, Mayang tiba-tiba muncul dari persembunyiannya. Ini seperti sudah disusun rencana dengan rapi.Ditambah lagi, ada yang ingin Mayang bicarakan pada ibuku. Rasanya otak ini disuruhnya bekerja keras memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa semuanya jadi aneh begini.Ibuku yang akan mendengarkan penuturan Mayang pun tidak ingin Bu Anika tahu, karena ini urusan keluarga. Ya, yang diucapkan ada benarnya juga. Ia hanya kenal karena pernah menjadi penumpang, bukan bagian dari keluarga kami."Sepertinya yang diucapkan Ibu ada benarnya juga, Mayang. Bu Anika bukan siapa-siapa, jadi lebih baik kita bicarakan ini nanti," celetukku ketika Bu Anika menghampiri ibu. Hentaka
Mungkinkah Mayang sungguh-sungguh dengan ucapannya? Sulit untuk kupercaya, wanita yang telah merawat dan membesarkanku bertahun-tahun ternyata bukan ibu kandung.Ucapan Mayang membuatku jadi terombang-ambing, terlebih-lebih jika aku tak mempercayai ucapannya, nanti ada penyesalan lagi seperti yang dahulu.Kedatangan Bu Anika yang tiba-tiba mengatakan harus tes DNA sekarang, sontak membuat otakku tak henti-hentinya berpikir bahwa jangan-jangan ini hanya akal-akalannya saja. Masa iya sudah selama itu ia baru mencari keberadaanku dengan ibu!"Apa, Bu?" tanyaku dengan mata menyipit. Kemudian, Bu Anika masuk dan menghampiri kami."Ya, akulah ibumu, Ardan. Dulu namamu adalah Ryan Kusuma," jawabnya. Namun, aku masih belum bisa mempercayai begitu saja. Banyak kejadian seperti ini, mengakui ketika ia kesulitan memiliki seorang anak."Maaf, Bu. Apakah ada bukti akurat?" Kemudian ia pun mengeluarkan secarik kertas, dan berisikan surat kelahiranku
POV Bu DiahSudah susah payah membuat Mayang terpukul akan proses melahirkan Caesarnya, dan mendapatkan uang dari Ardan. Kini, aku akan kehilangan semuanya dalam sekejap. Semua gara-gara Anika, kenapa ia tiba-tiba muncul? Ketika Ardan sudah mulai sukses dalam karirnya.Aku tidak boleh tinggal diam, jangan sampai mereka mengetahui bahwa Anika itu ibu dari Ardan yang sesungguhnya.Lebih baik aku hubungi Sita, dan menceritakan ini padanya. Ia pasti bisa membantuku."Halo, Sita," ucapku melalui sambungan telepon."Ya, Bu, ada apa?""Bisa ke sini, nggak?""Bentar, Bu. Lima belas menit lagi," tutupnya.Aku menunggu Sita datang, dan sambil menunggunya kucoba mencari cara untuk menggagalkan aksi tes DNA mereka.Tidak lama kemudian, ia pun datang dan aku pun mulai menceritakan pokok masalahnya."Sita, kamu tahu nggak si, ternyata Ibu kandung Ardan ada di sini, malah istri direktur sekarang," ujark
Aku terkejut ketika mendengar penuturan Mama Ratna melalui sambungan telepon. Bibirku kaku seakan tak mampu bicara lagi. Astaga, Mayang kondisinya tiba-tiba menurun dan saat ini di ruangan ICU.Aku berusaha menyetabilkan detakkan jantung ini. Tak kuat rasanya mendengar kabar buruk ini. Kalau boleh pinta, biarkan aku saja yang berada di dalam ruangan ICU.Bu Anika mencoba menenangkanku. Rasanya tidak mampu jika harus kehilangan Mayang secepat ini. Janji untuk membahagiakannya pun belum terpenuhi."Bu, kita ke Rumah Sakit Maya Bakti sekarang, Mayang masuk ruang ICU lagi. Kondisinya melemah," ujarku setelah beberapa menit menenangkan diri. Kaki yang tadi tak kuat berdiri pun sudah mulai kugerakkan dan berusaha untuk bangkit."Ibu ikut!" seru Bu Diah. Aku menoleh ke arahnya. Sebaiknya ia tidak perlu ikut terlebih dahulu, agar tidak memperkeruh keadaan."Bu, aku saja yang menemui Mayang, ia berada di ruang ICU, percuma juga jika Ibu ikut,"
"Oh, ya, Mayang, sekarang tanggal 4 September, besok ulang tahun Arya, kamu bangun, Sayang," pintaku sambil mengecup tangannya. Aku seperti orang gila, tersenyum dan bicara sendiri di depan orang yang tidak sadarkan diri."Ada lagi, Mayang. Kamu mau beri aku kejutan satu lagi, apa itu, Sayang? Tolong bicara padaku, kejutan apa yang akan kau berikan?" Mayang belum memberikan respon apapun. Akankah aku kehilangannya untuk selamanya?Aku menggelengkan kepala ini, bicara apa saja agar Mayang terbangun dari komanya. Namun, tak satupun respon yang ia berikan. Matanya tidak mengeluarkan air mata, jarinya pun tidak ia gerakkan. Pupus sudah harapanku menyadarkan Mayang dari tidurnya."Mayang, jangan lama-lama tidurnya, ya. Aku tahu kamu lelah, tapi Arya masih butuh kasih sayangmu. Aku pun sama, masih butuh sosok wanita yang selalu ceria dan tak pernah mengeluhkan apa pun itu," bisikku lagi. Namun, rasanya percuma, Mayang mungkin marah padaku, hingga tidak ingin bicara se