Logika berkata ada bagian yang harus segera diselesaikan saat ini juga, tapi Rima berpikir, apakah dengan semudah itu dilepaskan. Bukan tentang cinta atau perasaan yang lemah, tapi ia hanya memberi waktu pada dirinya untuk berpikir tenang. Rima merasa pikirannya masih berkecamuk dan butuh sendirian, bukankah untuk setiap yang berumah tangga, membutuhkan waktu sejenak berpikir saat mengambil keputusan paling penting."Semua selesai, aku dan kamu!" ucap Rima melepaskan pegangan tangan Alan. Kemudian ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Alan yang masih mematung.Tak lama setelahnya Alan pun Turut pergi, ia mencoba menghubungi Gayatri dan memastikan kabar yang Rima berikan, tapi sama sekali ia tak mendapatkan jawaban. Alan pun memutuskan untuk datang ke apartemennya, ia berdiri di depan pintu hampir satu jam, tapi Gayatri tak membukakan pintu.****. 
Alan tercenung sendiri di ruang kerjanya, ia menikmati waktu sendirian di ruang kerja dengan satu gelas vanilla latte.Saat ini ia masih tak menemukan jawaban tentang Gayatri yang pernah hamil, malam itu, ia menunggu sampai satu jam di depan apartment dan wanita yang pernah sangat berarti dalam hidupnya itu sama sekali tidak keluar. Sementara di kantor, Gayatri terus menghindar dan pesan atau telepon yang Alan kirim tak pernah ia gubris.[Hai ... waktumu senggang hari ini? Bisa kita bertemu?]Pesan dari seorang wanita anak salah satu pemilik perusahaan terkenal yang selalu mencari perhatian. Namanya Elina, cantik, seksi dan terlihat sensual. Tapi Alan sama sekali tidak tertarik, ia selalu mengabaikan pesan wanita itu. Apalagi di tengah permasalahannya dengan Rima yang tidak kunjung selesai.[Bisa kita bertemu dan bicara, Ay]Gayatri memba
Tiga tahun pernikahan, salah satu hal yang sangat Rima tutupi adalah Alan yang selalu mengatakan untuk menunda memiliki anak, ia beralasan bila belum siap secara mental, ia memberi pengertian pada Rima yang membuat istrinya itu selalu menerima setiap keputusan Alan. Di depan banyak orang, di depan orang tuanya di depan keluarganya, Rima selalu menutupi perkara momongan dengan kata belum dipercaya.Jarak Alan semakin dekat, mungkin wajah mereka kini hanya terhalang satu jengkal, Rima membuang wajah dan menangis."Aku bukan seseorang yang akan merenggut kehormatanmu, Rima! Aku suamimu."Rima masih membuang muka dan mulai sesenggukan, Alan semakin membawa diri lebih dekat, satu tangannya terangkat hendak menyentuh istrinya, tapi ia dengan cepat membawa surat nikah yang ada di tangan istrinya."Apa maumu sebenarnya?" ucap Rima lirih, seolah pasrah pada keadaan.
"Dapat gombalan dari mana? Internet, ya. Kuno banget," ucap Rima ketika Alan mendekati mejanya."Aku hanya berusaha.""Yang kreatif dikit!""Aku gak pintar menggombal, gak pandai berkata-kata juga.""Tak perlu memaksakan, aku juga tidak butuh kata-kata seperti itu," ucap Rima seraya berlalu meninggalkan meja Alan, membuat suaminya itu gemas.Rima keluar dan memberikan berkas pada Gayatri. "Aku rasa kamu membuat laporan sedang mengantuk, banyak data yang salah, perbaiki semuanya. Saya tunggu hari ini juga!"Gayatri hanya mengangguk, ia sama sekali tak menjawab. Jujur saja Rima kesal melihat sikap Gayatri yang justru malah diam, sama sekali tak menggubrisnya."Kamu dengar gak ucapan saya?""Iya, Bu!" jawanya pelan sambil mengangguk. 
Alan mengerjap ketika Rima belum sempat mengambil ponsel milik suaminya untuk sekadar melihat pesan yang Gayatri kirimkan."Jam berapa ini? Aku harus ke kantor," ucap Alan."Tak perlu ke kantor, istirahat saja di rumah.""Banyak pekerjaan.""Memangnya pekerjaanmu tidak bisa dikerjakan orang lain, Mas?"Alan diam, dalam lubuk hatinya begitu senang mendapat perhatian dari Rima, sejenak berpikir untuk sakit lebih lama saja, agar istrinya itu tidak beranjak."Aku buatkan sarapan dulu, kalau siang ini belum membaik, kita pergi ke dokter.""Tidak ... aku tidak mau ke dokter!""kenapa?""Dirawat kamu saja aku akan sembuh.""Jangan aneh-aneh," jawab Rima kemudian memilih pergi ke dapur sekadar membuatnya
"Apa dalam benakmu yang pernah terjadi di masa lalu adalah karena aku mencintaimu?" Galih nampak datar melihat ke arah Gayatri."Lalu apa lagi?""Kamu terlalu percaya diri!" jawab Galih yang kemudian berlalu. Gayatri masih mematung di sana menatap Galih yang pergi.Rima yakin pasti ada sesuatu yang membuat kakak beradik itu begitu mengagumi sosok Gayatri. Secara fisik, ia memang sempurna, Rima mengakui itu. Tanpa polesan skincare mahal, wajahnya begitu mulus, tubuhnya tinggi semampai, memakai apa pun selalu terlihat menarik."Berkasmu tertinggal." Suara Rima mengagetkannya. Ia pun membalikkan badan."Oh, iya. Maaf saya teledor," jawabnya seraya mengambil berkas itu."Aku tahu, Gayatri. Kedatanganmu ke sini untuk memastikan kondisi Alan bukan?"Gayatri menata
Galih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah riuhnya jalanan ibu kota. Titik air pada lampu yang temaram begitu indah menghiasi taman.Gayatri memang benar, ia mencintai Rima sejak pertemuan pertama mereka ketika sekolah dulu. Gadis manis yang imut dan sangat manja dan juga baik hati begitu memesonanya. Hanya saja, ia berkali-kali kehilangan kesempatan.Hingga ... Galih berasa pada satu fase mendoakannya, mendoakan Rima untuk tidak lagi di dekatkan, tidak lagi dieratkan, melainkan untuk dicukupkan segala perasaan, diusaikan segala pengharapan, dan ia ingin, hidupnya berjalan tidak lagi tentang Rima.[Makasih, vitaminnya sudah sampai di rumah.] Pesan dari Rima membuyarkan lamunannya.[Sama-sama kakak ipar, makan teratur sampai habis.][Aneh dipanggil kakak ipar. Biasanya juga, heh, Rima, hey!"
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Rima masih menatap wajah suaminya."Sekali lagi jangan salah paham, aku hanya bertanya," ucap Alan tak ingin semuanya menjadi tak nyaman."Tapi pertanyaanmu itu sangat konyol, Mas!""Iya maaf ... kalau kamu gak berkenan tak perlu menjawabnya."Rima membuang muka, ia benar-benar marah pada Alan. Tak habis pikir bila pertanyaan itu akan ia lontarkan. Ia pun langsung beranjak, tapi Alan segera menahan dengan memegang tangannya."Jangan marah, sekali lagi maafkan aku." Alan merajuk, ia benar-benar tak ingin Rima marah.Istrinya itu menghela napas panjang, kemudian melihat ke arah Alan dengan tatapan tak bisa dijelaskan. "Sudahlah, Mas! Tak perlu dibahas lagi. Juga jangan pernah berbicara tentang perasaanku, perasaanmu, perasaan kita. Biar saja itu menjadi bagian dari hati ki