Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe
Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke
"Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir
Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida
KETIKA ISTRIKU BERUBAHAlan meletakkan handuk yang baru saja dipakainya dengan sembarang, tapi Rima hanya diam seraya mengambil handuk itu. Tak seperti biasanya yang mengoceh panjang seperti kereta api."Aku tidak akan sarapan di rumah," ucap Alan. Rima hanya mengangguk tanpa sepatah kata.Lagi ... Alan termangu. Biasanya satu kata itu berhasil menciptakan sebuah drama panjang dengan tangisan."Kenapa gak mau makan? Masakanku gak enak? Iya aku memang tak pintar masak, aku gak becus jadi istri," celoteh Rima panjang sambil berkaca-kaca yang pada akhirnya Alan pun mencicipi makanannya.Tapi kali ini, Rima diam. Istri yang ia nikahi selama tiga tahun itu melenggang keluar kamar sendirian dan menikmati nasi gorengnya yang asin pun sendirian. Alan memperhatikan dari jauh, tapi tak berani bertanya apa pun.Sud
DAN AKHIRNYA ISTRIKU DIAMBAGIAN 2[Mas, ini tidak benar! Sebaik-baiknya wanita adalah istrimu, Rima.]Satu baris kalimat balasan dari Gayatri membuat Alan seketika tidak fokus pada pekerjaannya. Gayatri memang ia kagumi sejak lama, jauh sebelum ia menikah dengan Rima. Gadis sederhana yang membuatnya terpukau, kepintarannya dibalut dengan kelembutan yang sempurna. Sosok yang begitu mempesona bagi seorang Alan.Hingga ... satu langkah menggapai cinta Gayatri kandas, ketika Rima mendatanginya dengan binar penuh cinta. Sebuah perasaan yang tidak bisa ditolak, satu kenyataan yang membuat Gayatri mundur perlahan.Gayatri dan istrinya adalah dua sahabat yang begitu dekat, mereka saling menyayangi seperti kakak beradik, sosok Gayatri yang merupakan anak dari seorang tak berpunya, kemudian dibawa oleh orang tua Rima yang kaya raya, ia diber
"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!" ucap Rima tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masih menunggu apa yang akan dikatakan pria di hadapannya itu. Apakah ia akan berkata jujur atau kembali bersandiwara."Jawab, Mas!"Alan hanya mengangguk, ia tak lagi bersandiwara."Bahkan setelah kita menikah?" Alan kembali mengangguk.Dada seketika begitu sesak, mulut tak lagi dapat berkata. Rima membuang pandangannya, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Alan pun terlihat bingung, ingin mendekat tapi seperti tertahan.Hingga ... akhirnya Rima kembali menegakkan pandangannya seraya menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir aku kuat, ternyata ini lebih sakit daripada yang aku bayangkan. Seharusnya tadi kamu bersandiwara saja, aku rasa itu jauh lebih baik.""Maaf," ucap Alan pelan dengan segenap perasaan bersalah.
Rima menunggu. Ia hanya ingin tahu saja, Alan masih menatapnya, kini ia berdiri, mereka saling berhadapan terhalang meja."Aku mengatakan, kamu cantik dengan anting kecil itu."Rima termangu. "Kamu memujinya?"Alan menganggguk ragu dengan wajah bingung dan mungkin juga sebuah perasaan bersalah."Di hadapanku?"Alan terdiam."Bahkan kamu tidak pernah melakukan itu padaku."Alan masih mematung, menatap Rima dengan perasaan bersalah."Senang juga sepertinya dipuji laki-laki dengan kebohongan manis, sudah lama tidak ada yang seperti itu padaku, sepertinya aku haru mulai membuka diri," lanjut Rima yang kemudian segera berlalu ke mejanya tanpa mendengar balasan apa pun dari