"Bilang pada ibu, kamu sedang bercanda kan?"Rima menghela napas panjang, terasa berat ketika akhirnya harus mengatakan semua ini. "Rima tidak bercanda, Bu. Maaf," ucapnya lirih.Ibu kini benar-benar diam, ia menangis tertahan, kemudian menutup teleponnya, sebetulnya banyak yang ingin ditanyakan, kenapa tiba-tiba perceraian ini terjadi.Jalanan masih terasa begitu padat, sementara matahari terasa begitu terik. Atas segala yang ia punya, Rima tak pernah merasa hidupnya begitu sempurna, ia hanya bersyukur banyak orang yang menyayanginya, hingga pada akhirnya asumsi itu salah, terlalu banyak orang munafik di sekitarnya.[Kamu dimana?]Sebuah pesan dari Galih datang, tapi kali ini ia tidak membalasnya.Sementara Alan nampak tak karuan di kamarnya, ia begitu berantakan dan duduk di sisi ranjang dengan mata ya
Rima mengajak adik iparnya untuk menikmati makan siang tak jauh dari gedung kantor. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, beberapa pesan dari Galih pun tak ia balas."Perpisahan itu sudah bulat?" tanya Galih.Rima hanya mengangguk, ia tak seceria biasanya."Sudah dipikirkan dengan matang?"Rima kembali mengangguk."Aku percaya, kamu tidak mungkin memutuskan semuanya dengan gegabah. Tapi aku hanya penasaran, apa tidak sedikitpun terbersit untuk memulai kembali dari awal?""Aku pernah mengatakan alasannya pada Alan, tidak mungkin kita hidup bersama lagi, sementara otak dan hatiku tertuju pada hal sakit yang sudah terjadi."Galih menghela napas panjang, ia mencoba memahami situasi ini meski sulit."Pagi tadi Alan mengajukan pengunduran diri," lanjut
Suasana liburan yang seharusnya menyenangkan berganti dengan kepanikan yang luar biasa, karyawan lainnya menunggu dengan cemas. Begitu juga Gayatri dan Alan yang saat ini berada di rumah sakit.Benar saja, Rima kehilangan banyak darah akibat benturan itu, sementara stok darah di rumah sakit tipis dan seperti permintaannya tadi, Gayatri mendonorkan darah untuk keselamatan Rima."Saya tahu ini rencana busuk kamu menyelakai anak saya!" Ibu Rima yang baru saja datang seketika menyerang Gayatri baru saja mendonorkan darahnya dan duduk bersandar di sebuah kursi besi. Ayah Rima yang biasa membela kini diam, seolah menyetujui pendapat istrinya.Gayatri dipukul tas mahal ibu Rima, Alan segera mendekat ketika melihat kegaduhan ini."Tenang, Ma! Ini bukan salah siapapun, apa yang menimpa Rima itu kecelakaan," ucap Alan seraya berusaha menghadang pukulan ibu mertuanya yang
Rima tercenung sendirian ketika melihat bulan yang tersemat di ponselnya. Bagaimana bisa sekarang ada di bulan Juni, ia ingat betul bila bulan ini adalah bulan Januari."Makan dulu, Sayang!" Alan membawakan nampan berisi makanan. Setelah seminggu sadarkan diri, Rima diizinkan pulang. Dan hingga saat ini Gayatri masih belum menemuinya."Aku heran, apa yang membuatmu menjadi begitu manis?" Rima mengernyitkan dahi.Alan tersenyum manis. "Aku hanya mencoba menjadi suami terbaik untukmu.""Aneh saja!" jawab Rima. "Oh, iya, Mas. Sekarang bulan apa?""Kenapa bertanya bulan?""Sepertinya hapeku eror, di sini ko bulan juni, harusnya kan ini bulan Januari.""Iya, hapemu sepertinya eror. Sudah sekarang makan dulu, nanti keburu dingin."Rima menganggguk dan menerim
"Kamu cantik berjilbab," ucap Rima ketika Alan pergi dari ruangan ini."Kamu sudah membaik?" Gayatri mengalihkan pembicaraan."Seperti yang kamu lihat. Aku tidak ingat enam bulan ke belakang.""Kamu harus terus konsultasi ke dokter agar bisa sembuh total." Gayatri tidak mengetahui bila Rima sudah tahu kemelut yang ada di antara mereka, meski sedikitpun ia tidak ingat sama sekali."Perubahanmu dalam rangka kembali menarik hati Alan?"Gayatri termangu, kaget dan tidak menyangka dengan apa yang Rima katakan."Aku tidak tahu seperti apa hubungan kita enam bulan ini, aku sama sekali tidak ingat. Tapi ketika aku tahu perceraian yang akan terjadi antara aku dan Mas Alan adalah karenamu, rasanya tidak bisa berkata-kata."Gayatri hanya menatap Rima dengan pandangan yang datar.<
Sekelebat ingatan terkadang hadir, namun ketika Rima sekuat tenaga untuk mengingat semuanya, kepalanya sakit luar biasa.Kali ini ia berdampingan duduk dengan Alan, melakukan proses mediasi yang tidak mendapatkan titik temu karena Rima bersikukuh. Meski belum sepenuhnya ingat, tapi ia yakin bila berkas yang sudah sampai dilimpahkan ke pengadilan agama, itu pasti adalah buah pemikiran yang panjang, atas hal yang diputuskan dengan segala resikonya.Gerimis tipis-tipis ketika keduanya keluar dari ruangan mediasi. Kursi roda Rima didorong oleh ibunya, sejak tadi ia menunjukkan wajah yang tidak bersahabat."Tolong jangan hubungi aku, Mas. Aku butuh tenang, semua kenyataan ini membuatku berpikir ektra keras. Aku sakit," ucap Rima ketika mereka hendak masuk ke dalam mobil.Alan diam. "Maaf ... semoga kamu segera pulih seutuhnya."
"Kamu jangan terlalu berpikir keras, santai dan biarkan semuanya mengalir. Itu demi kesembuhanmu," ucap Galih ketika Rima mulai terbangun. Ia menyandarkan diri pada dipan dan masih merasakan kepalanya pusing."Aku pun inginnya begitu. Tapi terkadang kenyataannya sulit.""Bisa! Kamu bisa."Alan terlihat masuk ke dalam kamar dan membawakan segelas air, kemudian diberikan pada Rima. Setelah meminumnya, Rima segera beranjak untuk bergegas pulang."Yakin mau pulang sekarang?" tanya Galih."Aku antar, ya!" ucap Alan."Tidak perlu, aku ada supir."Kondisi tubuhnya belum sepenuhnya membaik, tapi Rima memaksa untuk pulang. Tanpa banyak kata, ia pun pamit dan masuk ke dalam mobil."Kalau ada apa-apa di jalan, hubungi aku!" ucap Galih seraya menutup pintu.<