Teriakanku mengundang Mas Suma keluar dari kamar. Dia tergopoh menghampiri kami, sambil mengancingkan kancing baju. Dari rambutnya yang sedikit basah terlihat dia baru saja selesai mandi. Mandi untuk kedua kali setelah semalam. "Kenapa-kenapa? Rani, kamu kenapa?" tanyanya menunjukkan wajah kebingungan. Dia menatap kami bergantian. "Tidak apa-apa, Pi. Ini lo, Kak Wisnu gangguin Mama," ucap Amelia menjelaskan. "Oh, aku pikir kamu teriak karena ada apa-apa. Kaget aku," ucap Mas Suma sambil memberikan tatapan kawatir kepadaku. Suamiku ini mengusap-usap punggungku sekilas. Sentuhan sesaat, tetapi menghangatkan hati ini. Aku membalasnya dengan senyuman, begitu juga dia. Sesaat, kami saling pandang di satu garis lurus. "Cie-cie, Papi, Mama. Tidak berperi kejomloan," celetuk Wisnu disambut tawa kecil Amelia. Yang bergabung bertambah lagi. Amelia aku suruh mengambil pisang goreng yang sudah ditata oleh Bik Inah di piring besar yang sudah aku siapkan tadi. Kami pindah ke meja makan
Melihat Mama bahagia dengan Papi Kusuma, hati ini merasa lega. Kebahagiaan Mama yang sempat terenggut, seakan tidak berbekas. Senyuman, candaan, bahkan kekesalan yang ditunjukkan Mama kepada Papi Suma, menunjukkan betapa indahnya hubungan mereka. Mereka selalu menunjukkan kemesraan yang sebenarnya. Setelah kejadian yang membuat pipi Mama memerah, entah kemana Papi menarik Mama. Sekarang tertinggal aku dan Amelia meneruskan makan sambil ngobrol. "Kak Wisnu." "Apa?" Aku menoleh dan mendapati dia mengarahkan ponsel ke arahku. "Amel mau bikin status. Pamer kalau punya kakak," ucapnya, kemudian sibuk berkutat dengan ponsel. Senyumku mengembang melihat Amelia. Dia begitu membanggakan aku. Kadang aku heran, kenapa dia suka punya kakak secerewet aku ini? Adik tiriku ini sering merajuk dan mengesalkan, walaupun akan menurut saat aku mulai melotot dan menghujani omelan. "Kalau Kak Wisnu sih enak, ya." "Enak apanya?" tanyaku sambil menunjuk pisang goreng yang aku pegang. Sama d
Bohong kalau aku tidak suka dia. Berapa banyak alasan yang aku kemukakan untuk menjauhinya, selalu bermuara pada namanya. Sejauh-jauhnya kaki ini berlari, tetapi tetap berujung pada dirinya. Aku tidak tahu. Ini anugrah atau cobaan. Anugrah karena penglihatanku semakin jelas menangkap nama cinta pada dirinya. Atau, ini justru cobaan pada tujuan yang sedang aku rintis?Semakin aku sering berhubungan dengan gadis ini, konsentrasiku seakan terbagi. Begitu pula waktu dan kesempatan. Karenanya, aku memilih berlama-lama di proyek. Bukannya kesibukan yang sangat, tetapi untuk menghindari keinginanku untuk menghubungi. Begitu juga dia. Aku memposisikan kami terpisah, karena sinyal. Dengan begitu, aku bisa melakukan pekerjaan yang aku cita-citakan. Ini yang menyebabkan aku belum merasa siap untuk bersamanya. [Rima, kamu marah kepadaku karena lama membalas chat? Sudah lama kita tidak ngobrol. Aku kangen....Jempol tangan ini terhenti. Kenapa aku menulis ini? Memalukan dan membanting harga
Memang bisa kopi yang sudah dingin dipanasin? Bisa.Tinggal jerang adonan kopi di atas kompor kembali. Setahuku ada racikan kopi seperti ini, namanya kopi klotok. Kopi direbus dalam panci di atas tungku sehingga mengeluarkan bunyi klotok-klotok ketika mendidih. Kata orang-orang, cara ini mirip pembuatan kopi tradisional di Turki.Itu yang bisa aku lakukan untuk memanaskankan lagi yang sudah dingin. Seperti Rima terhadapku."Nih, kopinya Kakak, enak kembali." Aku mendekatkan kopi yang mengepul ke dekat hidungnya. Aroma kopi ini terciuk lebih menggoda dibandingkan sebelumnya. "Mau, Kak.""Hus. Kamu nanti saja kalau sudah terpaksa lembur-lembur," ucapku sambil mendudukkan diri di sampingnya. Dia masih berkutat dengan tugas dari kampus. Berbagai literatur dia cari untuk jawaban, baik dari buku ataupun pendapat yang tercatat di internet. "Enak sekarang. Kalau cari bahan tinggal klik di kolom pencarian. Semua yang kita cari muncul semua," ucap Amelia tanpa melepaskan pandangan mata dar
Aku mengikuti Papi yang terlihat bersemangat. Mama bertanya, katanya ini urusan laki-laki."Bilang saja kangen," sahut Mama sambil tertawa dan membiarkan kami pergi."Ada apa, Pi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku saat langkahnya berhenti.Dia membalikkan badan dan menghampiri aku yang tiga langkah di belakangnya."Kalau jalan dengan Papi jangan di belakang. Sini!" ucapnya sambil merangkul pundak ini. Kami berjalan beriringan seperti bapak dan anak.Ya, itu yang aku rasakan. Papi Kusuma walaupun ayah tiri, tetapi memperlakukan tidak dengan batasan. Perlakuan dari Papa Bram yang sudah tidak lagi aku dapatkan.Terkesan cengeng, tapi aku yakin semua anak lelaki seusia berapapun, pasti merindukan seperti saat ini."Kita mau apa dulu?" tanya Papi setelah kami di atas. Rofttop dengan bentukan sederhana tetapi asri. Angin semilir terasa sejuk menyelinap di sela tanaman gantung.Aku duduk di kursi kayu, mengeluarkan kotak catur dan menyusun bidak. Sedangkan Papi mengambil minuman dingin yang suda
Kata orang, kalau kita ingin kehidupan yang mudah, kerjakan hal yang tidak mudah. Sebaliknya, kalau kita mengerjakan sesuatu yang mudah saja, bisa saja hidup kita tidak akan mudah. "Benar itu, Pi?" tanyaku kepada Papi, setelah aku kembali naik kembali ke roff top. Berkumpul kembali dengan Papi dan Mama untuk berbincang santai. Aku tidak bisa ngobrol banyak dengan Rima. Baru saja aku angkat ponsel yang berbunyi, dia langsung berkata, "Mas Wisnu, maaf. Dosen yang aku tunggu sudah datang. Tadi pas aku telpon, saat menunggu konsultasi proposal PKL. Aku tutup, ya. Nanti malam kita telponan."Nadanya terdengar tergesa dan berbisik. Aku hanya bisa mengatakan iya dan menelan ludah. Niatku ingin berbincang banyak dengannya tertunda. Rinduku mendengar suaranya, tergantung begitu saja. Bukan salah dia juga, tetapi kesempatan yang belum berpihak kepada kami. "Kamu bertanya seperti itu, untuk masalah usaha, atau percintaan?" Papi Suma memandang Mama, kemudian mereka tersenyum simpul kepadaku.
Urusan laki-laki. Ini perbincangan dengan Papi Kusuma. Memang Mama adalah orang tua yang menurutku sempurna. Sekaligus teman yang baik juga untuk berdiskusi. Aku melihat, Mama orang yang serba bisa dan tahu. Akan tetapi sebagai anak lelaki, aku merasa ada beberapa lubang kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan berbincang dengan Mama. Seperti saat ini, bertukar pikiran dengan Papi."Kata Mama kamu, ada beberapa pilihan yang kamu incar. Sudah memastikan yang mana?""Sebenarnya tidak tahu benar, Pi. Mereka semuanya cantik, baik, pintar, dan kalau melihat gelagatnya ... sayang juga kepada Wisnu.""Ya sudah. Pilih salah satu. Kamu tidak ada keinginan mempunyai teman dekat seorang wanita?""Ingin juga. Tetapi Wisnu masih berkonsentrasi pada karir, Pi. Mempunyai pacar, dalam bayangan kepala ini akan ribet, dan mengurangi kesempatan bekerja."Papi tersenyum, kemudian bersandar di sofa dan melipat kakinya. "Sudut pandang kamu digeser sedikit. Jangan melihat di sisi negatif. Kamu dulukan serin
"Amelia disuruh manggil malah ikutan macet, ya," ucap Mama sambil menatap kami bertiga. Aku, Amelia, dan Papi Kusuma mengambil jeda untuk tersenyum bersama. Seperti anak-anak yang ketahuan oleh ibunya. Seakan kompak, kami pun memberikan tatapan memohon pengampunan kepada Mama. Jeda hanya sebentar, kemudian .....JRENG!~~Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tukTuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak, suara sepatu kuda~~Tidak hanya itu, kami bertiga bernyanyi sambil memiringkan badan ke kanan dan ke kiri dengan kompak. Mengubah Mama menjadi tersenyum lebar, dan sekarang tertawa melihat kekonyolan kami bertiga. Sungguh kebersamaan yang membahagiakan, walaupun sederhana."Kalian ini, tidak yang masih muda sampai yang sudah ubanan, tidak tahu kalau sekarang sudah sore. Ayo sekarang turun. Tuh, Denish dan Anind nyariin dari tadi." Omelan Mama walaupun terjeda, tetap saja berhasil tayang. Papi cuma senyum-senyum sambil mengalungkan tangan di bahu Mama. Meredakan omelan yang masi