Lelaki yang menjadi tumpuanku justru beringsut menjauh, berujung tangan ini menemui ruang kosong. Mataku yang sudah terpejam karena menahan kepala yang berputar, hanya pasrah saat tubuh ini terhunyun.“Kenapa?”Tangan besar menangkap kedua lengan ini. Dan, saat kubuka mata wajah menyiratkan kecemasan terpampang di sana. Segera aku menegakkan diri sambil menekan pelipis yang berdenyut.“Tidak apa-apa, Pak Tiok. Mungkin karena lelah dan masih mengantuk. Saya ke toilet dulu,” ucapku kemudian bergegas meninggalkan mereka.*Di depan cermin aku memindai wajah yang terlihat pucat. Apa tekanan darahku rendah lagi? Aku selalu minum vitamin dan makan pun tidak pernah terlambat. Atau, sekarang waktunya aku datang bulan? Tetapi perutku tidak sakit seperti biasanya, dan jadwalnya masih satu minggu lagi.Untuk memastikan aku ke toilet.Hmm… benar.Mungkin karena stres, jawal bulananku datang lebih awal.Ada flex berwarna kecoklatan. Warna yang terlihat tidak seperti biasanya, tapi mungkin saja ini
Suami yang kuat, kalau sakit manjany a melebihi bayi. Kebalikan dengan istri. Dia yang lembut, saat sakit justru menunjukkan sekuat wonder woman. Apalagi saat masih ada tanggung jawab yang berhubungan dengan suami atau anak-anak. Diana Prince si Wonder Woman pun kalah.Aku menangkup mulut mengurangi bau yang menyengat, menahan napas untuk mengurangi rasa tidak enak. Cepat-cepat aku mengambil tutup untuk menghentikan kepulan uap.Mata ini menilik jam di dinding. Masih ada waktu tiga jam sebelum kedatangan suamiku. Masih ada waktu untuk memulihkan diri.“Kak Amel, masakannya sudah siap. Yang di wadah ini untuk Papi, ya. Kalau Kakak ingin makan, ambil di panci yang besar ini.”Kebiasaanku. Setiap memasak selalu menyisihkan makanan pertama kali untuk suamiku. Terlebih, saat dia belum datang. Ini memang terlihat sepele. Tapi menurut wejangan Ibuku dulu, ini merupakan perwujudan menghormati suami sebagai kepala keluarga. Meletakkan dia di posisi yang utama.Suamipun saat mendapati ini, a
Mata ini mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadaranku. Bukan Mas Suma yang aku dapati, justru wajah Amelia yang menunjukkan kecemasan. “Mama bikin Amelia takut. Dari tadi dibangunin tidak bangun-bangun.” “Oya?” “Iya. Amel sudah tiga kali mondar-mandir ke kamar Mama. Biasanya di ketuk pintu saja sudah bangun, ini sampai Amel goyang-goyang masih tidur saja. Mama sakit?” Mata Amelia menatapku dengan memicing, seakan memastikan kecurigaannya. Belum sempat aku jawab, tangannya terulur meraba dahi ini. “Anget agak panas. Mama meriang?” Aku meraba leherku, memang sedikit hangat. Akan tetapi tubuh ini terasa segar, walaupun pikiran ini masih bercampur dengan mimpi barusan. “Papi mana?” Amelia tertawa kecil. “Papi kan belum sampai, Ma. Wah jangan-jangan ini meriang karena kangen sama Papi. Hayo… ngaku.” Dia menunjuk sambil tersenyum meledek. Aku tersenyum menjawab ledekannya. Bukannya berhenti, dia malah menjadi-jadi. “Cuma ditinggal beberapa hari saja sudah kangen sampe meriang. Malu
Mata sampai lupa mengerjap. Memindai tampilan yang ditayangkan di layar dan kepalapun terikut bicara. Satu per satu ditunjukkan dengan penjelasan secara sekilas, dan semua seperti puzzle yang dipadukan menjadi kesimpulan.“Ini rekaman CCTV tetangga sebelah. Sempat menangkap mobil yang parkir di depan rumahnya. Namun, sayangnya tidak menangkap plat nomor secara jelas. Tapi, sempat pengemudi membuka cendela walaupun sedikit.”“Tuh lihat! Dari celah jendela kelihatan bulu-bulu ayam!” seruku memotong penjelasan Pak Tiok. Video dihentikan, dan aku menunjuk yang aku maksud.“Iya. Yang Bu Rani curigai itu benar. Pelaku menggunakan topi gaya victoria.”“Topi?” Mas Suma menoleh ke Pak Tiok sambil mengernyit.“Iya betul. Ini sama dengan rekaman CCTV di depan rumah Pak Suma. Bisa dipastikan, ini mobil yang sama.”Tayangan di layar berganti lagi. Pak Tiok memperbesar gambar yang menunjukkan plat nomor yang terlihat samar.“Ini saya dapatkan dari kamera mobil yang kebetulan lewat saat kejadian. Ka
Kami saling berpandangan di satu garis lurus, menghujam dan menghangatkan hati. Gelenyar indah menggeleparkan diri dan melantunkan senyuman saat dia mulai mengikis jarak. Memberikan jawaban betapa kerinduan ini sudah membuncah.Mungkin kalau tidak di ruangan ini, kami sudah saling memuaskan.“Kamu kangen saya?” bisiknya setelah memberi jeda, dan mengapit kedua tangan ini.“Sangat,” jawabku sambil memberikan tatapan memuja. Tidak bertemu dalam sepekan, hati ini seakan kembali dilanda cinta. Kerinduan ini menegaskan betapa aku mencintai lelaki di depanku ini.“Mas Suma tahu tidak apa yang aku lakukan saat mulai kerinduan itu datang?”“Apa?“Aku mengingat semua kenangan indah kita. Dan, memeluk novel yang Mas Suma belikan sebelum berangkat. Ingat?”“Yang ada aku tulis pesan itu?”“Hu-um. Bagiku itu sangat manis.” Tangan ini kembali mengalung di lehernya, mengerjapkan mata dan tersenyum menunjukkan betapa aku merindukan dia.“Sama. Aku pun tidak pernah melepas kerudungmu ini. Selalu aku g
Hubungan keluarga itu kadang terlihat aneh. Saat berkumpul bertengkar, tetapi saat berjauhan saling merindukan. Wujud kasih sayang tidak hanya dengan peluk dan cium, justru saat saling mengolok dan menjengkelkan menjadi kenangan yang ingin diulang.Ini tidak hanya antar saudara, bahkan antara orang tua dan anak.Seperti sekarang ini, keseruan di meja makan sudah mulai terjadi. Padahal pelakunya masih Amelia dan Mas Suma. Aku tidak tahu kalau Danish dan Anind sudah besar dan bisa menimpali obrolan mereka, bisa dipastikan meja makan semakin seperti pasar.Pematiknya karena oleh-oleh yang dibawakan Mas Suma. Ini juga diluar kebiasaannya, dia membelikan Amelia baju. Cantik dengan hiasan payet-payet bermotif etnik. Masalahnya, Amelia kesusahan saat memakainya.“Orangnya bilang ini all size. Bahkan Papi menyebutkan usia kamu. Kok tidak cukup, ya?”Amelia menunjukkan wajah cemberut. Dari ekspresinya dia menyukai baju itu, maklum ini kali pertama Mas Suma membelikan atas keinginan sendiri.“T
“Orang Jawa, menyebut suami istri itu adalah garwo yang kepanjangan dari sigarane nyowo artinya belahan jiwa. Biasa saat ada, dan sakit saat terpisah, karena suami istri itu adalah satu.”Kalimat ini yang pernah ibuku katakan.Teman hidup itu, dalam keseharian rasanya biasa. Bahagia, walaupun tak jarang muncul rasa kesal bahkan amarah. Namun saat kita berjauhan, kerinduan dan kekosongan menyeruak tak terkendali. Apalagi saat kehilangan, membayangkan saja hati ini sudah tidak sanggup. *“Mas Suma, kecelakaan ini menyita perhatian satu kawasan. Bahkan, mereka meningkatkan pengamanan. Kata Pak Maman, ada perwakilan mereka yang datang meminta maaf.”“Itu yang sebenarnya dari dulu aku protes ke mereka,” sahut Mas Suma menanggapi ucapanku. “Penjaga hanya fokus memeriksa orang memasuki kawasan yang menggunakan sepeda motor, atau mobil barang. Mereka ditanya-tanya detail, bahkan disuruh meninggalkan kartu identitas. Memang ciri-ciri orang jahat seperti itu? S.O.P nya aneh, kan?”Aku mengang
Prosentase hanya sebuah dugaan. Apapun kemungkinan bisa terjadi, walaupun itu hanya nol koma sekian persen. Kalau yang di Atas menghendaki, semua bisa terwujud. Kedua tangan bertumpu di meja wastafel. Berkali-kali kupejamkan mata, dan mengeratkan jemari, tetapi semua masih terasa sama. Sambil merapatkan ke meja, aku membasuh wajah. Rasa tidak nyaman ini tidak pergi sepenuhnya. Namun, kesegaran membuatnya berkurang. Dugaan kalau ada sesuatu yang tumbuh di rahim ini, masih dalam keraguan. Dulu Dokter bilang, kemungkinan hamil itu ada. Akan tetapi karena keadaanku yang tidak sekuat dulu dan usia yang tidak muda, itu memperkecil kemungkinan. Hanya satu cara untuk memastikan hal ini, melakukan tes kehamilan. Masih ada test pack yang aku simpan di lemari obat, sisa yang aku punya dulu. Aku siapkan di wadah kecil, dan alat itu dicelupkan sesuai petunjuk. Dengan hati yang masih gamang, diri ini menunggu hasil dengan harap-harap cemas. Sekian detik, cairanku itu seakan terserap dan memperj