Ikuti juga keseruan cerita lainnya dengan nama pena: Astika Buana. . . Terima kasih. . Selamat Tahun Baru, sehat dan bahagia selalu, ya.
“Om Tiok! Sini. Ayok makan!” teriak Amelia sambil melambaikan tangan kepada lelaki jangkung itu.Senyuman mengembang dan menyisakan mata tertinggal segaris. Dia melangkah menuju meja dapur dan meletakkan nampan yang dia bawa.“Mau?” tanyaku sambil menunjuk piringku.“Ada?”“Masih, Om. Amelia ambilkan, ya?” seru anak gadisku sambil beranjak dari tempat duduk.Sebenarnya ini aku hindari. Memasukkan laki-laki ke areal rumah saat suami tidak di tempat. Aku merasa ini tidak tepat, walaupun tidak ada niat apapun. Anggap saja saat aku tidka ada di rumah, kemudian Mas Suma memasukkan perempuan lain dan makan bersama. Pasti aku akan terbakar kalau mendapatinya.Namun, bagaimana lagi. Amelia sudah menyiapkan dan menyodorkan spagheti yang tersisa di atas kompor tadi.Aku menuangkan air putih dan menyodorkan.“Makasih,” sambutnya sambil tersenyum.Aku membalas dengan senyuman kaku. Seperti tahu ketidaknyamananku, Pak Tiok banyak berbincang dengan Amelia.“Ini dulu makananku setiap hari.” Pak Tio
Saudara yang tidak sedarah tidak hanya sahabat, tetapi juga karyawan yang setia.Kalau dirunut, yang menjaga kami di rumah selain Pak Tiok adalah karyawan. Kami tidak terikat sebagai pekerja dan majikan yang sebatas pada tugas dan gaji, tetapi juga ikatan persaudaraan yang terjalin dengan sendirinya.Begitu juga dengan Tias. Dia memang pengasuh Danish, tetapi dia menjalankan tugasnya dengan hati. Dia menyayangi dan merawat anakku dengan kasih sayang. Bahkan saat bekerja, dia tidak memperhitungkan ini pekerjaan siapa dan tugas siapa. Itu yang aku tegaskan di rumah, antara Tias, Dwi, Bik Inah, dan Pak Maman, begitu juga dengan ketiga satpam yang biasanya. “Aku akan cari tahu dari tetangga. Minta CCTV atau kamera mobil. Siapa tahu plat nomor itu terekam.” Pak Tiok kemudian cerita dengan antusias. Dulu pernah melakukan itu saat peristiwa penyerangan pengawal.“Ok, aku kembali ke kantor. Nanti sore simulasi tentang dugaan kemarin selesai. Kita bisa diskusikan dengan Pak Kusuma. Syukurlah
Lelaki yang menjadi tumpuanku justru beringsut menjauh, berujung tangan ini menemui ruang kosong. Mataku yang sudah terpejam karena menahan kepala yang berputar, hanya pasrah saat tubuh ini terhunyun.“Kenapa?”Tangan besar menangkap kedua lengan ini. Dan, saat kubuka mata wajah menyiratkan kecemasan terpampang di sana. Segera aku menegakkan diri sambil menekan pelipis yang berdenyut.“Tidak apa-apa, Pak Tiok. Mungkin karena lelah dan masih mengantuk. Saya ke toilet dulu,” ucapku kemudian bergegas meninggalkan mereka.*Di depan cermin aku memindai wajah yang terlihat pucat. Apa tekanan darahku rendah lagi? Aku selalu minum vitamin dan makan pun tidak pernah terlambat. Atau, sekarang waktunya aku datang bulan? Tetapi perutku tidak sakit seperti biasanya, dan jadwalnya masih satu minggu lagi.Untuk memastikan aku ke toilet.Hmm… benar.Mungkin karena stres, jawal bulananku datang lebih awal.Ada flex berwarna kecoklatan. Warna yang terlihat tidak seperti biasanya, tapi mungkin saja ini
Suami yang kuat, kalau sakit manjany a melebihi bayi. Kebalikan dengan istri. Dia yang lembut, saat sakit justru menunjukkan sekuat wonder woman. Apalagi saat masih ada tanggung jawab yang berhubungan dengan suami atau anak-anak. Diana Prince si Wonder Woman pun kalah.Aku menangkup mulut mengurangi bau yang menyengat, menahan napas untuk mengurangi rasa tidak enak. Cepat-cepat aku mengambil tutup untuk menghentikan kepulan uap.Mata ini menilik jam di dinding. Masih ada waktu tiga jam sebelum kedatangan suamiku. Masih ada waktu untuk memulihkan diri.“Kak Amel, masakannya sudah siap. Yang di wadah ini untuk Papi, ya. Kalau Kakak ingin makan, ambil di panci yang besar ini.”Kebiasaanku. Setiap memasak selalu menyisihkan makanan pertama kali untuk suamiku. Terlebih, saat dia belum datang. Ini memang terlihat sepele. Tapi menurut wejangan Ibuku dulu, ini merupakan perwujudan menghormati suami sebagai kepala keluarga. Meletakkan dia di posisi yang utama.Suamipun saat mendapati ini, a
Mata ini mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadaranku. Bukan Mas Suma yang aku dapati, justru wajah Amelia yang menunjukkan kecemasan. “Mama bikin Amelia takut. Dari tadi dibangunin tidak bangun-bangun.” “Oya?” “Iya. Amel sudah tiga kali mondar-mandir ke kamar Mama. Biasanya di ketuk pintu saja sudah bangun, ini sampai Amel goyang-goyang masih tidur saja. Mama sakit?” Mata Amelia menatapku dengan memicing, seakan memastikan kecurigaannya. Belum sempat aku jawab, tangannya terulur meraba dahi ini. “Anget agak panas. Mama meriang?” Aku meraba leherku, memang sedikit hangat. Akan tetapi tubuh ini terasa segar, walaupun pikiran ini masih bercampur dengan mimpi barusan. “Papi mana?” Amelia tertawa kecil. “Papi kan belum sampai, Ma. Wah jangan-jangan ini meriang karena kangen sama Papi. Hayo… ngaku.” Dia menunjuk sambil tersenyum meledek. Aku tersenyum menjawab ledekannya. Bukannya berhenti, dia malah menjadi-jadi. “Cuma ditinggal beberapa hari saja sudah kangen sampe meriang. Malu
Mata sampai lupa mengerjap. Memindai tampilan yang ditayangkan di layar dan kepalapun terikut bicara. Satu per satu ditunjukkan dengan penjelasan secara sekilas, dan semua seperti puzzle yang dipadukan menjadi kesimpulan.“Ini rekaman CCTV tetangga sebelah. Sempat menangkap mobil yang parkir di depan rumahnya. Namun, sayangnya tidak menangkap plat nomor secara jelas. Tapi, sempat pengemudi membuka cendela walaupun sedikit.”“Tuh lihat! Dari celah jendela kelihatan bulu-bulu ayam!” seruku memotong penjelasan Pak Tiok. Video dihentikan, dan aku menunjuk yang aku maksud.“Iya. Yang Bu Rani curigai itu benar. Pelaku menggunakan topi gaya victoria.”“Topi?” Mas Suma menoleh ke Pak Tiok sambil mengernyit.“Iya betul. Ini sama dengan rekaman CCTV di depan rumah Pak Suma. Bisa dipastikan, ini mobil yang sama.”Tayangan di layar berganti lagi. Pak Tiok memperbesar gambar yang menunjukkan plat nomor yang terlihat samar.“Ini saya dapatkan dari kamera mobil yang kebetulan lewat saat kejadian. Ka
Kami saling berpandangan di satu garis lurus, menghujam dan menghangatkan hati. Gelenyar indah menggeleparkan diri dan melantunkan senyuman saat dia mulai mengikis jarak. Memberikan jawaban betapa kerinduan ini sudah membuncah.Mungkin kalau tidak di ruangan ini, kami sudah saling memuaskan.“Kamu kangen saya?” bisiknya setelah memberi jeda, dan mengapit kedua tangan ini.“Sangat,” jawabku sambil memberikan tatapan memuja. Tidak bertemu dalam sepekan, hati ini seakan kembali dilanda cinta. Kerinduan ini menegaskan betapa aku mencintai lelaki di depanku ini.“Mas Suma tahu tidak apa yang aku lakukan saat mulai kerinduan itu datang?”“Apa?“Aku mengingat semua kenangan indah kita. Dan, memeluk novel yang Mas Suma belikan sebelum berangkat. Ingat?”“Yang ada aku tulis pesan itu?”“Hu-um. Bagiku itu sangat manis.” Tangan ini kembali mengalung di lehernya, mengerjapkan mata dan tersenyum menunjukkan betapa aku merindukan dia.“Sama. Aku pun tidak pernah melepas kerudungmu ini. Selalu aku g
Hubungan keluarga itu kadang terlihat aneh. Saat berkumpul bertengkar, tetapi saat berjauhan saling merindukan. Wujud kasih sayang tidak hanya dengan peluk dan cium, justru saat saling mengolok dan menjengkelkan menjadi kenangan yang ingin diulang.Ini tidak hanya antar saudara, bahkan antara orang tua dan anak.Seperti sekarang ini, keseruan di meja makan sudah mulai terjadi. Padahal pelakunya masih Amelia dan Mas Suma. Aku tidak tahu kalau Danish dan Anind sudah besar dan bisa menimpali obrolan mereka, bisa dipastikan meja makan semakin seperti pasar.Pematiknya karena oleh-oleh yang dibawakan Mas Suma. Ini juga diluar kebiasaannya, dia membelikan Amelia baju. Cantik dengan hiasan payet-payet bermotif etnik. Masalahnya, Amelia kesusahan saat memakainya.“Orangnya bilang ini all size. Bahkan Papi menyebutkan usia kamu. Kok tidak cukup, ya?”Amelia menunjukkan wajah cemberut. Dari ekspresinya dia menyukai baju itu, maklum ini kali pertama Mas Suma membelikan atas keinginan sendiri.“T