ISTRIKU SERING MENANGIS
Bab 5
"Aku berikan Mama hanya 1 juta rupiah, puas? Atau malah tidak percaya?" Itu pun baru bulan ini ngasih, karena uang hasil ngojek yang kukumpul ada lebihan," jawab Mayang membuatku terkejut.
"Mayang, kalau memang kamu ingin berikan Mama sejumlah uang, ngomong pada Mas," ucapku sambil mencari dompet. Sebaiknya aku ganti uang Mayang, siapa tahu dengan seperti ini, ia mau menjawab semua rasa penasaranku.
Setelah mendapatkan dompet itu, aku pun segera mengeluarkan sejumlah uang yang ia sebutkan tadi.
"Ini, Mas gantikan uang yang kamu berikan untuk Mama atas namaku. Terima kasih ya, Dek. Kamu telah ingatkan Mas untuk memberi meskipun tahu orang tuamu berkecukupan," jawabku. Ia hanya terdiam, kemudian meraih uang yang kuberikan padanya.
"Terima kasih, Mas. Aku simpan uang pemberian kamu, terima kasih sekali lagi sudah percaya dengan ucapanku," ketusnya. Kemudian, ia letakkan uang itu di sebuah laci yang tak pernah aku buka sebelumnya, kuintip sedikit laci yang ia buka, ternyata ada sejumlah uang di sana. Aku tersentak dan melontarkan senyuman tipis ke arah Mayang. Ia pun memberikan senyuman itu kembali padaku.
"Kenapa, Mas? Ingin tahu juga isi laci ini?" tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala.
Kemudian, kami pun berpencar, Mayang melakukan tugasnya, aku hanya rebahan di ranjang. Ada keinginan membuka laci tersebut, dan menghitung jumlah uang yang ada. Namun, di sisi lain aku menghargai privasi istri.
***
Gara-gara sibuk mencari alasan Mayang ngojek, dan maksud tulisan yang ada di bukunya, aku jadi kelelahan dan tertidur hingga maghrib. Tersadar ketika mendengar suara isak tangis Mayang di kamar sebelah.Astaga, itu suara Mayang seperti sedang menangis. Kedengarannya di samping, kamar Arya. Lebih baik aku lihat langsung saja, dan menanyakan padanya.
Kulangkahkan kaki ini, beranjak dari ranjang besi yang berusia seperti pernikahanku dengan Mayang. Saksi bisu cintaku pada Mayang yang tak pernah rapuh dilekang oleh waktu.
Pintu kamar terbuka setengah, kucoba masuk tanpa memberikan salam agar ia tidak menyembunyikan kesedihannya. Aku dekati wanita yang sedang menggendong Arya, ia sedang menyusui anak kami. Namun, air mata yang tak pernah kulihat selama di rumah, kini terlihat bercucuran di hadapan Arya. Tampak tangan Arya sedang memegang pipi ibunya, seperti tahu ibunya sedang menangisinya. Bibir Mayang pun tidak henti-hentinya menciumi tangan Arya yang sedang menyeka air matanya.
"Mayang, kamu menangis?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian. Ia pun tampak menyeka air matanya. Kemudian memancarkan senyuman, Arya yang belum tidur pun bangun dan ketika melihatku, ia meminta digendong oleh papanya.
"Papa, endong," ucap bocah berusia 2 tahun September nanti. Dengar celotehan Arya, aku pun tersenyum dan mengecup keningnya.
"Arya, Arya berhenti ASI ya, biar Mama nggak nangis lagi," ucapku pada anakku. Namun, anak itu tidak terlalu paham dengan apa yang kubicarakan.
"Mama ais eyus," celetuk Arya sontak membuatku menelan saliva ini.
"Iya, Mama nangis terus karena sayang dengan Arya, ia pengen Arya berhenti nyusu, Arya mau?" tanyaku pelan. Arya pun yang belum mengerti hanya mengangguk.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak keberatan jika Arya masih ASI, nanti tepat 2 tahun baru diberhentikan," sahut Mayang. Matanya sudah kering, air mata yang bercucuran tadi seketika sudah tak terlihat mengalir lagi di pipinya. Mayang kenapa jadi pandai menyembunyikan kesedihannya?
"Mayang, sebenarnya ada apa kamu menangis? Kenapa tiap kali menyusui Arya kamu nangis? Ini tidak baik untuk kamu dan Arya," ucapku sambil menatap mata wanita yang kupersunting setelah pacaran 3 tahun lamanya.
"Nanti akan kuceritakan pada tanggal 5 September, Mas," jawab Mayang dan setelah itu ia bangkit dari duduknya. Kemudian, dengan posisi menggendong Arya aku tarik tubuh wanita yang kini turun bobot tubuhnya.
"Mayang, jika aku bersalah dalam membina rumah tangga, tolong ditegur! Jangan hukum aku seperti ini," ungkapku sambil memegang lengannya yang tidak ada dagingnya itu.
"Kamu tidak bersalah, Mas. Kamu baik, makanya aku tak pernah mengeluhkan apa pun padamu," jawab Mayang lagi.
"Lalu, apa yang kamu pikirkan selama ini? Uang yang aku berikan padamu untuk merawat dirimu saja, itu tak digunakan untuk mempercantik dirimu sendiri," sahutku.
Uang yang kuberikan satu setengah juta memang tidak besar, tapi itu aku berikan khusus untuk Mayang, tidak untuk keperluan rumah tangga lainnya. Seperti listrik, makanan, kebutuhan kamar mandi, itu semua sudah kusediakan tiap bulan. Jadi, uang itu murni untuk Mayang senang-senang. Namun, tak kulihat ia bersenang-senang dengan uang yang kuberikan.
"Iya, Mas. Terima kasih, itulah kenapa aku nggak pernah mengeluhkan ini padamu, karena memang aku tahu semua kebutuhan sudah kamu penuhi. Tapi ...." ucapannya terputus. Ia tampak menyorot Arya setelah ingin bicara tapi memilih untuk tidak melanjutkannya.
"Sambung, Mayang. Tapi apa?" tanyaku penasaran.
"Sudah, Mas. Kita siap-siap makan malam, masakan ibumu masih banyak di dapur," ucapnya. Teringat bicara soal masakan, aku pun segera menyampaikan bahwa besok ibu tidak dapat mengirim makanannya.
"Dek, ada yang aku lupa, besok Ibu nggak bisa antar makanan, kamu masak ya," suruhku.
"Bukankah masakanku nggak enak, Mas?" tanya Mayang. Aku menautkan kedua alis yang tebal ini. Rupanya ia tahu aku ini lebih suka masakan ibu.
"Enak kok, siapa yang bilang masakanmu tidak enak? Kalau aku tidak mikir takut kamu kelelahan, pasti lebih baik kamu saja yang masak," jawabku sambil berusaha merangkulnya.
"Ibumu, yang bilang Mas. Kata Ibu, ia mengirimkan makanan karena kamu tidak menyukai masakanku," jawab Mayang. Aku terdiam sejenak, sepertinya ucapan ibu ini membuat Mayang nangis terus. Namun, aku memutar perkataannya kembali, hanya soal masakan seperti ini bisa membuat istriku ngojek? Rasanya tidak mungkin alasan ini yang dibuatnya.
"Maafkan ibuku, ya. Mungkin ia salah tanggap dengan ucapanku."
Kami pun tidak melanjutkan pembicaraan tentang masakan, yang terpenting sekarang aku harus lebih banyak bicara dan perhatian pada Mayang.
***
"Aku berangkat kerja, ya, Sayang. Ingat, jangan ngojek lagi!" tekanku pada Mayang."Iya, Mas. Hari ini aku kan masak, Ibu nggak kirim makanan, jadi nggak mungkin aku ngojek," celetuknya.
Aku pun bergegas berangkat kerja setelah sarapan pagi bersamanya. Di tengah perjalanan, sudah lumayan jauh dari rumah, berkas penting yang akan kulaporkan tertinggal di rumah. Kuhubungi Mayang, tapi tidak diangkat olehnya. Sepertinya aku harus putar balik, mengambil berkas penting itu.
Hanya dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah. Namun, sepertinya ada tamu yang datang. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Baru jam setengah sembilan sudah bertamu.
Kulangkahkan kaki perlahan, suara mobil masih kunyalakan, karena terparkir di depan rumah tetangga, mungkin Mayang tidak mengira itu mobilku. Biasanya kalau tahu juga ia langsung membuka pintu untukku.
"Ini sudah cicilan yang terakhir ya, Mayang, alias sudah lunas," ucap wanita yang berada di dalam rumahku. Cicilan? Utang? Sudah lunas? Apa ini yang ada di catatan buku Mayang? Akhirnya kuurungkan niat untuk masuk, khawatir malah mereka tidak jadi bicara kelanjutannya, lebih baik aku mendengarkannya dari balik pintu saja.
Bersambung
ISTRIKU SERING MENANGISBab 6"Kalau begitu, aku permisi dulu ya, makasih loh!" ucap wanita itu lagi. Sepertinya ia mau pulang, lebih baik aku nongol lebih dulu, agar bisa tanyakan langsung padanya."Assalamualaikum," ucapku sambil melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka."Waalaikumsalam, loh Mas kamu pulang lagi?" tanya Mayang heran. Ia pun sontak memandang wajah wanita yang berada di hadapannya."Iya, ada yang ketinggalan. Maaf, Mbak ini siapa ya?" tanyaku pada wanita yang tak kukenal, dari parasnya usia wanita itu sekitar seumuran Mayang. Ada urusan apa ia ke sini? Tagihan apa yang Mayang punya?"Mas, kamu sudah dari tadi ya di depan pintu?" tanya Mayang balik. Rasanya ia selalu menutupi setiap kali aku ingin mengetahui apa yang ia lakukan."Maaf Mayang, aku tanya temanmu dulu, agar tahu istriku ini punya cicilan apa!" tekanku pada Mayang. Ia pun tertunduk, kemudian Mayang duduk di sofa. Ada tarikan napas keluar dari mulut
Bab 7Pov MilaAku mengeluarkan tangisan di hadapan Mas Hendra. Sehingga membuat Hendra panik dan cemas melihat kondisiku saat ini.Kulepaskan dekapannya, kemudian kuambil secarik kertas sebelum membuka laptop yang kepegang, dengan hentakan kaki pelan, aku meletakkan kertas dan pulpen di atas pahanya."Apa ini?" tanya Mas Hendra. Kedua alisnya ia tautkan ketika melihat aku memberikan secarik kertas."Baca saja!" sahutku. Kemudian matanya mulai menatap dan membacanya dari atas ke bawah.Setelah membaca dengan teliti, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian, memejamkan matanya sejenak. Lalu bicara berhadapan denganku."Kenapa semua aset minta dipindah atas namamu?" tanyanya pelan."Wajar, aku istri sah kamu, dan Ayu darah dagingmu," sahutku sambil terisak."Alasannya apa? Kalau aku tidak mau, kamu minta cerai?" tanyanya.Kemudian, aku membuka laptop yang berisikan reka
Bab 8Bola mata Mayang tampak berputar, kelihatan seperti ia sedang mencari alasan."Aku mau ke dokter gigi, Mas. Maaf ya, selama ini aku perawatan gigi nggak bilang-bilang," sahut Mayang. Mataku menyipit sambil memegang kedua pipinya, lalu kubuka rongga mulutnya."Mana? Nggak ada gigi yang ditambal, ngerawat apanya, Sayang?" tanyaku keheranan. Pipinya aku remas sambil becanda dengannya."Mas, perawatan gigi memang harus ada yang ditambal?" tanya Mayang balik, sepertinya ia sudah pandai memutar balikkan fakta. Aku tersenyum tipis, kemudian mengelus-elus rambutnya ya selalu diikat dengan karet jepang."Ya sudahlah, hati-hati di jalan, kalau butuh apa-apa telepon aja, ya. Oh ya, kamu ke dokter gigi memakai asuransi kantor, kan?" tanyaku lagi."Iya, Mas," jawabnya sambil tersenyum merekah.Aku segera bergegas berangkat ke kantor. Ada Pak Wijaya yang telah menunggu kehadiranku di ruang meeting. Takkan kubiarkan pekerjaan yan
Tok ... tok ... tok ...."Masuk!" teriak Pak Wijaya. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan pada pihak asuransi. Petugasnya belum selesai memberikan aku informasi tapi sudah kututup teleponnya, karena ada seseorang yang mengetuk pintu.Dibukanya daun pintu yang terbuat dari kayu jati itu, kemudian masuklah sosok wanita yang ternyata Mayang. Kenapa ia bisa tahu aku berada di sini, di ruangan Pak Wijaya?Aku menoleh keheranan, mataku terpanah pada wanita yang berdiri di samping pintu yang terbuka lebar."Maaf, Pak. Kalau saya lancang ke sini, tapi tadi saya sudah bicara pada Bu Tiara melalui sambungan telepon," terang Mayang. Kemudian, Pak Wijaya pun mengangguk. Ia tersenyum, lalu menghampiriku dan menepuk-nepuk pundak ini."Selesaikan masalahmu dulu, silahkan bicarakan ini berdua di taman atau di tempat yang menurut kalian nyaman," suruh Pak Wijaya. Ia membuatku terharu, mana ada atasan sebaik Pak Wijaya dan Bu Tiara?
Bab 10FlashbackPOV Mayang"Pokoknya kamu harus bayarin utang Ibu, Ardan pinjam uang Ibu loh, lagian siapa suruh Caesar? Jadi wanita kok lemah banget, mules segitu aja udah minta Caesar!" cetus ibu lagi. Astaga, memangnya aku menginginkan itu? Kalau boleh pilih, pastinya akan kupilih melahirkan normal karena tidak perlu menyobek perut ini.Aku menghela napas dalam-dalam, air mata ini menetes ketika mereka mencemooh tentang aku yang melahirkan Caesar. Jangan sampai ucapan mereka membuatku terpuruk, lalu menjadikan Arya korban atas semua ini.Meskipun bekas sayatan operasi masih amat sakit, tapi mendengar penuturan mertua dan adik iparku sangatlah lebih menorehkan luka.Sita, ia itu adik iparku, istri dari Rayyan, adik Mas Ardan. Sita melahirkan putri pertamanya dengan cara normal. Jarak melahirkan antara kami hanya berbeda dua bulan. Sita lebih dulu positif hamil dan pastinya lebih dulu melahirkan. Namun, memang ia lebih berunt
Bab 11POV Ardan 💗Aku terharu sekaligus terkejut usai mendengarkan cerita Mayang, tidak kusangka ibuku melakukan hal seperti itu. Ya Tuhan, selama ini aku telah salah menuduh istriku yang tidak-tidak. Jadi teringat ketika bermalam di rumah ibu.***Flashback ketika Ardan bermalam di rumah ibunya."Jangan memanjakan istrimu dengan memberikan uang terus menerus, ia tidak bekerja apa-apa di rumah," ucap ibu ketika aku berada di depan televisi yang berukuran 32 inchi. Sudah kesekian kalinya aku bermalam tanpa izin Mayang. Namun, untuk malam ini, ibu terus menerus mencuci otakku."Bu, menurut Ibu, Mayang itu istri yang seperti apa?" tanyaku padanya sambil memutar channel televisi ketika iklan sedang berlangsung.Pertanyaanku memang hanya sekadar iseng, karena channel televisi yang sedang kutonton sedang iklan saja kupertanyakan pada ibu."Menurut Ibu, Mayang itu terlalu mengandalkan kamu, dikasih baby sitter mau, tidak diperbolehkan
Kemudian mereka berdua saling tertawa riang. Tidak lama kemudian, ibu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Baju daster yang ia gunakan lebih memudahkan untuk merogohnya."Iya, gila dua tahun aku ngibulin menantu sendiri, abisnya punya menantu dari keluarga orang kaya raya, tapi pelitnya naudzubillah," sindir ibu membuatku semakin sesak. Astaga, yang kaya raya kan orang tuanya Mayang, aku pun malu jika harus meminta-minta pada orang tuanya.Kemudian, wanita yang melahirkanku itu memberikan ponselnya pada Rika. Setelah itu ia tunjuk ke arah layar."Apa ini? Wih, saldo rekening Bu Diah banyak banget," ledek Rika. Wanita yang kupikir adalah teman dari Mayang, ternyata ia teman karib ibuku."Saldoku ini, hasil morotin anak dan menantu," celetuknya sambil terkekeh. Mereka berdua tertawa dengan bahagianya. Padahal, ada anak menantu yang terluka."Kalau gitu, jatahku ditambah ya, masa cuma dapat segini? Berapa ini jumlahnya?" sindir Rika sa
Aku panik ketika melihat darah di hidung Mayang, dan wajahnya pun terlihat pucat. Astaga, apa yang harus kuperbuat saat ini?Kuinjak gas mobil dengan kecepatan tinggi, dan melaju sekencang-kencangnya tanpa memikirkan kendaraan yang melintas.Mayang, istriku, ia kenapa? Ada apa dengan tubuhnya? Apakah ada penyakit serius yang ia derita?Setelah mencari rumah sakit terdekat dari rumah ibu, akhirnya kumenemukan sebuah rumah sakit besar hanya dalam waktu sepuluh menit.Kuparkirkan mobil di depan ruang UGD persis, dan petugas beserta team medis segera membawa Mayang ke ruang gawat darurat. Ada perasaan cemas dan tegang di dada ini. Lalu kupinta petugas untuk memarkirkan mobil ke halaman parkir."Mas, tolong parkirkan mobil saya, ini kuncinya! Ditunggu di depan UGD, ya!" suruhku. Kemudian, ia pun mengangguk tanpa basa-basi, dan bergegas pergi membawa mobilku.Aku lihat jam yang melingkar di tanganku ini. Sudah pukul dua siang,