Membuang rasa penasaran, aku bergegas ke parkiran bandara. Tanpa banyak pikir, kuterima tawaran taxi bandara. Menyebut nama hotel di daerah Kuta, kemudian kendaraan pun melaju.Lucu kan, kalau aku bertemu dengan Papa yang bersama dengan Tante Wulan. Bisa jadi aku dipaksa untuk ikut bersama mereka. Bisa jadi misiku gagal total.[Sayang. Aku masih dijalan, sekitar lima belas menit bisa kita video call? Aku kangen] Send.Status pesan belum terbaca.Ok. Mungkin kekasihku sibuk berkutat dengan diktat. Proses revisi penyusunan skripsi itu, sering merontokkan rambut.Sepanjang jalan, mata ini siaga, menunggu pesan balasan. Namun sampai di tujuanpun, status tetap tidak berubah.Aku memesan kamar dengan pemandangan pantai Kuta. Ada balkon dengan sepasang kursi. Pas untuk nongkrong sambil berbincang. Namun, sekarang dengan siapa? Harapanku video call dengan Rima, justru dia tidak ada kabar.Satu kaleng minuman soda aku keluarkan dari lemari pendingin ukuran kecil. Menikmati ini ditemani deburan
Bab 600.Beneran kami video call seperti live orang jualan onlen, berjam-jam. Beberapa kali terjeda karena Rima dipanggil orang tuanya, ambil makanan, bahkan pamit ke kamar kecil. Begitu juga aku.Aku sampai pesan makanan untuk diantar ke kamar. Dan sekarang kami makan bersama. Aku di sini dan dia di sana makan bersama di waktu yang sama.“Kita ini lucu, ya? Mas Wisnu makannya apa, kok kayaknya enak.”Aku memiringkan piring menunjuk ke layar.“Nasi campur Bali. Ini sate lilit tuna, pepes ikan, urap-urap, dan sambel matah. Mau?”Aku tertawa melihat wajah Rima yang mupeng-mukak pengen. Sengaja, aku makan sate lilit dengan gaya menikmati sambil merem-merem gitu.“Mas Wisnu. Aku juga punya ini.” Tidak mau kalah, dia tunjukkan nasi Padang lengkap dengan rendang dan sayuran singkong yang dilengkapi dengan cabai hijau. Dari bentuknya, kelihatan sekali kalau beli.“Beli?”“Iya. Papa dari kantor dan pulangnya beli ginian.”“Papa kamu tahu kalau kita telponan?”Rima tersenyum sambil menggelen
Dalam pernikahan memang tidak cukup dengan rasa cinta, apalagi gairah semata. Itu tidak lebih dari sepuluh persen saja, selebihnya komunikasi, toleransi, dan pengertian.Ini yang sering aku abaikan. Aku memang pernah gagal di perkawinan pertama. Apakah aku akan mengulangi kesalahan lagi?Dulu, kepiawaian Maharani dalam membantu bisnisku, justru mengalihkan kepercayaan client kepadanya. Mereka lebih mempercayai bertransaksi dengannya dari pada denganku. Padahal aku kan bosnya?Bagaimana aku tidak merasa insecure? Rasa rendah diri menghantui di setiap aku terjaga, walaupun Maharani terlihat selalu tidak mengenyampingkanku. Dia selalu mengikutsetakan aku di setiap mengambil keputusan. Walaupun aku tertinggal menjawab persetujuan. Namun harga diri ini terusik. Karenanya, aku menunjukkan keakuanku dengan membuka cabang baru di Batam.Itu awal aku bertemu dengan Wulan. Dia begitu mendambaku dan itu menjadi pemuas keegoanku sebagai laki-laki.Sekarang itu terulang lagi. Wulan wanita yang li
“Itu saja?” ucapku sambil memindai raut wajahnya yang menunjukkan keyakinan.Wanita memang makhluk yang sudah dimengerti. Selalu memberikan perlambang yang sering membuatku sakit kepala. Aku tidak ingin terjebak dengan penafsiranku yang keliru. Lebih baik aku tanyakan secara jelas, mengurangi prosentase salah.“Iya. Mas Bram keberatan? Atau masih ….”Aku tertawa sambil mencolek hidungnya yang mancung.“Selalu seperti itu. Cemburu dengan orang yang sudah menjadi milik orang lain.”Dia cemberut. “Tapi aku sering mendapati Mas Bram mengingatnya.”Kedua tangannya aku ambil. Aku menatapnya lekat-lekat tepat di manik mata. Memaksanya hanya tertuju kepadaku.“Lihat kedua metaku,” ucapku sambil menunjuk. “Apakah aku terlihat tidak serius bersama denganmu? Apakah kesengsaraanku karena kau meninggalkan aku, kau anggap pura-pura?”Dia menggeleng.Aku tersenyum.“Tidak mungkin aku menghapus ingatan pada Mamanya Wisnu. Kalau ada formula menghapus kenangan, aku akan menggunakannya untuk mengantikan
Aku tidak mengira kedatanganku disambut sedemikian rupa. Mungkin orang tidak tahu, mengira iring-iringan ini menyambut kedatangan orang penting.Keluar dari pintu kedatangan, bukan hanya wajah Pak Maman yang aku dapati seperti biasanya.Semua ada di sini. Papi Kusuma, Mama, Amelia, kedua adikku-Anind dan Denish tentu saja bersama pengasuhnya. Termasuk Kevin dan yang paling mengejutkan, wajah yang aku rindukan menyembul dari kerumunan keluargaku, Rima kekasihku.Langkah ini terhenti melihat sorak sorai mereka. Ingin menangis sekaligus tertawa. Terlebih melihat bendera kecil di tangan Denish dan Anind yang dikibarkan. Tidak kuasa, air mata ini menyeruak. Aku tidak bisa menahannya lagi, apalagi melihat Mama tersenyum dengan kedua tangan membentang.“Welcome home, anakku. Mama sangat merindukan kamu,” serunya sambil menciumi pipiku. Dalam pelukannya aku terisak. Aku tidak mengira sebegitu banyak orang yang mencintaiku.Padahal, dahulu sempat aku meratapi kesendirianku pasca perpisaham Mam
Sebenarnya pertanyaan ini sering mencuat di kepalaku. Eyang Uti itu sebenarnya dulu apa, ya? Hampir orang-orang terkemuka mengenalnya. Dan yang membuatku kagum, mereka tidak hanya kenal tetapi juga menaruh hormat.Apa dulu dia dulu seorang mafia seperti di novel-novel itu? Sekarang sudah mantan, tetapi masih menyisakan kekuasaan.Tidak hanya di kalangan pengusaha, bidang sosial, bahkan di pemerintahan pun mengenal nama Rianti Adijaya. Sungguh, ini merupakan kebanggaan sudah mendapat kasih sayang dari sosok yang hebat seperti Nyonya Besar.Seperti malam ini, perayaan penyambutanku oleh para eyang ini mempunyai maksud. Keduanya mengetahui rencana besarku.“Dalam kesempatan ini, aku sampaikan akan menginvestasikan dana untuk proyek cucuku, Wisnu,” ucap Nyonya Besar setelah makan bersama usai. Kemudian dia menoleh ke arah Papi. “Kusuma. Tolong nanti diatur. Anita akan mengirimkan berkas ke kalian.”Papi tersenyum sambil menyatakan kesediaannya. Aku langsung beranjak menghampiri Eyang Uti,
Posisiku sekarang seperti Nyonya Besar saat mengenalku, sebelum aku menjadi menantunya. Seperti harapannya kepadaku yang disampaikan saat itu.”Mami hanya ingin kamu merasakan kebahagiaan yang Mami rasakan. Mempunyai menantu seperti kamu yang mengerti Mami, menyayangi anak Mami, dan menjaga keluarga ini dengan cinta.”Saat itu aku merasa tersanjung. Ternyata apa yang aku lakukan menyebabkan kebahagiaan bagi mertuaku.Sekarang, giliranku menempatkan diri sebagai mertua. Tepatnya calon mertua.*“Rima kamu pulang sendiri? Mana Amelia dan Kevin?” Gadis berkulit putih itu menghampiriku, dan memberi salam.“Amelia dipanggil dosen, Ma. Sepertinya lama, dia ditemani Kevin, dan Rima pulang menggunakan taxi,” ucapnya sambil tersenyum.Sejak beberapa waktu yang lalu, atas permintaanku dia memanggilku mama, begitu juga kepada Mas Suma. Dia memanggilnya papa. Ini pertanda kami sudah siap menerimanya. Membuatnya tidak canggung lagi dengan keluarga ini.“Kenapa tidak telpon Pak Maman? Dia bisa me
“Kamu bisa mengemudikan mobil?”“Bisa, Ma.” Gadis itu menjawab dengan cepat.“Mahir? Atau sekadar bisa?”Aku menatapnya dengan mata menyipit, memastikan jawabnya benar. Terkadang banyak orang yang bisa menjalankan mobil, tetapi tidak mahir. Aku memang jelas-jelas tidak bisa, tapi aku tahu pengemudi yang mahir atau sekadar bisa.Beberapa pengemudi yang sering mengantarku, Pak Maman lah yang menjadi juaranya. Dalam kecepatan lambat ataupun cepat, selalu kenyamanan penumpang yang diutamakan.“Emm … Rima tidak mahir seperti Rio Haryanto atau Sergio Perez dari Red Bull. Tapi kalau Rima yang membawa mobil, Papa bisa tertidur,” jawab Rima sambil tersenyum memastikan.“Sip kalau begitu. Sekarang kamu jadi sopir Mama. Ambil kunci itu yang gantungannya kulit berwarna merah.” Aku menunjuk mangkuk kayu yang berisi beberapa kunci yang berada di meja sudut.“Kamu tidak keberatan, kan?” “Tidak, Ma. Justru seneng.”Selayaknya ibu dan anak, kami berjalan beriringan. Sekarang aku mempunyai dua anak p