Sudah meluncur Pembantu Rasa Nyonya versi bahasa Inggris. . Mohon doanya. . Untuk cerita ini, rencana saya di bulan ini adalah yang terakhir. Ikuti terus, ya. Terima kasih atas dukungannya.
Ketakutan berasal dari ketidaktahuan.Itu benar.Namun, jangan dijadikan alasan untuk berpikir overthingking. Jatuhnya justru berujung dugaan yang jauh dari kata positif thingking.Anak-anak datang dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Sengaja aku menunggunya di restoran depan, ingin melihat langsung kedatangan mereka. Aku tersenyum lega melihat Kevin di bangku depan bersama Wisnu, sedangkan para gadis di belakang.Lega karena dugaan Dewi ternyata salah. Mereka tidak mengumbar kemesraan seperti yang dia takutkan. Lebih lega lagi, ternyata mereka terlihat akrab. Ini harapanku sebagai orang tua, mereka nantinya akan akrab seperti saudara, walaupun sebatas ipar, atau ipar dengan ipar. Bukankah itu kebanggaan orang tua.Aku melambaikan tangan, dan mereka melihat dan menghampiriku.“Hai, Ma! Tumben makan di sini?” seru Amelia sambil mengambil tempat duduk di sebelahku. Kevin tanggap, dia mengajak Wisnu untuk menggabungkan meja kecil dengan mejaku. Dan, sekarang kami berlima di satu me
Saat seseorang terbiasa di posisi puncak dan tiba-tiba jatuh, dunia seperti mengucilkannya. Sebelumnya dunia seperti berada digenggaman, dan tiba-tiba yang didapati hanyalah ruang hampa. Keadaan inilah yang sering memaksa seseorang butuh pengakuan. Seperti Papa Bram saat ini. [Maaf, Pa. Untuk apa Papa membutuhkan uang segitu? Apa bisa Wisnu mentransfer lima juta dan sisanya sesampai di sini?] Aku bertanya sehati-hati mungkin. Jangan sampai Papaku ini merasa tersinggung. [Duh! Bagaimana, ya? Soalnya Papa sudah janji kepada teman.] [Teman? Papa punya hutang?] tanyaku penasaran. Papa justru mengirim emoticon tertawa terbahak-bahak. [Dia ini temanku SD, Wis. Tidak mungkinlah aku meminjam uang kepada teman yang tidak beruntung seperti dia] [Terus untuk apa?] Dahiku semakin mengernyit. Maksud Papa apa? Dia tidak membutuhkan uang untuk membayar hutang. Terus untuk apa? Mata ini tidak sabar melihat layar yang bertuliskan 'typing'. Penasaran menunggu apa yang ditulis, tapi ini terasa
Lama aku menimbang apa yang seharusnya aku katakan ke ayah kandungku ini. Aku mengerti posisinya sekarang. Papa Bram yang terbiasa di posisi di atas. Tidak hanya uang, kekuasaanpun ada di tangannya. Apa yang dia perlukan tersedia. Bahkan dibilang berlebih. Aku tahu ini. Saat masih bersama Mama pun, secara material semua tercukupi. Perusahaan berkembang pesat. Begitu juga saat bersama dengan Tante Wulan. Pernah aku berkunjung ke rumah mereka. Adik-adik tiriku mendapatkan fasilitas yang semuanya ada. Tante Wulan berasal dari keluarga yang terpandang dan cukup berlebih. Pernah ada acara keluarga, aku pun diundang, berkenalan dengan keluarga besar yang ternyata juga tidak mengabaikan aku sebagai anak bawaan Papa Bram. Dari yang aku amati, perusahaan yang dijalankan Papa itu adalah milik keluarga Tante Wulan. Pantas saja, sekarang saat ada masalah pada keduanya, Papa Bram seakan dilucuti. Aku enggan bertanya banyak. Aku hanya menyiapkan telinga untuk mendengar saat Papa beberapa waktu
Hubungan darah itu tidak akan terhapus oleh apapun. Baik sebagai anak, saudara, ataupun orang tua. Ada mantan teman, mantan pasangan, tetapi hubungan darah tidak bisa menjadi mantan. Jadi terima bagaimanapun mereka.Semua pasti ada hikmahnya. Perbedaan kenyataan dengan kesempurnaan merupakah tantangan, yang patut disyukuri. Kalau seperti ini, kepala harus ditundukkan. Masih banyak di luar sana yang jauh dari kata beruntung. Dengan begitu, pasti puji syukur akan terlantun.Sekarang kami di meja makan yang dipesan khusus oleh Mama. Set-up meja tidak jauh dari kolam. Semua anggota keluarga berkumpul termasuk calon anggota-Kevin dan Rima.Ting! Ting! Ting!Papi Kusuma mengetuk gelas dengan sendok. Semua mata tertuju kepadanya.“Dalam kesempatan ini, Papi akan menyatakan kalau Papi dan Mama sangat bahagia. Kalian berkumpul dengan lengkap dan tidak kurang suatu apa,” ucap Papa sambil menebarkan senyuman.Tangannya meraih tangan Mama, menggenggam erat yang dipertunjukkan di atas meja.“Yang
Pertanyaan yang meletakkan aku di persimpangan. Sempat terbersit, darimana Papi Kusuma tahu tentang kedatangan Papa Bram. Aku lupa kalau Papi orang yang mempunyai koneksi luas. Minuman aku teguk, kemudian menyangga dagu sambil mencari kata yang tepat.“Itulah yang menjadi pikiran Wisnu, Pi. Sungguh, Wisnu sangat bulat tekadnya untuk mensegerakan proyek itu. Tapi__”“Tapinya Papa kamu?” sahut Papi Kusuma dan aku jawab dengan anggukan.“Seberapa parah keadaan Pak Bram? Mungkin Papi bisa meringankan sedikit.”Aku menatap ragu kearah ayah tiriku ini. Mulutku ingin segera bercerita, tapi ini apakah pantas? Namun, kepalaku mulai merasa pecah dengan masalah orang-orang dewasa ini. Ingin bercerita dengan Mama, itu tidak mungkin. Mama sudah mewanti-wanti tidak mau mendengar cerita tentang mantan suaminya.“Cerita saja. Papi akan keep silent,” ucap Papi dengan menggerakkan ibu jari terkatup dengan telunjuk. Dia juga mengangguk menyakinkan keraguanku.Aku segera menceritakan tentang keadaan P
Seandainya cara dia bersama Papa Bram dengan jalan yang indah, pasti aku akan menyayanginya seperti sikapku terhadap Papi Kusuma.Sempat aku membencinya. Mengutuknya sebagai wanita kurang hati, karena merebut kebahagiaanku dan membuat Mama menangis. Akan tetapi seiring waktu, aku mulai mengerti urusan orang dewasa yang terkadang tidak sesuai dengan jalan pikiran.Selama aku mengenalnya, Tante Wulan wanita yang baik dan pintar. Tidak jauh dari Mama, yang membedakan Mama orang yang pintar memasak dan mengurus rumah. Sedangkan Tante Wulan lebih menjadi wanita karir.Dia tidak pernah melontarkan kata tidak tepat, bahkan terkesan menspesialkan aku. Sikap awalnya memang terlihat canggung, tetapi dari sikapnya itu menunjukkan kalau dia merasa berbuat keliru. “Tante tidak akan memaksa Wisnu memanggil mama atau semacamnya. Bagi Tante, kamu sudah mau berkunjung dan bercengkrama dengan adik-adikmu, itu sudah lebih dari cukup,” ucapnya kala itu. Perkataannya menunjukkan dia bukan wanita yang pi
“Papa membantu teman yang kemarin karena teringat kalian dulu saat tidak bersama Papa,” ucapnya dengan menunjukkan wajah sendu. Kami sekarang sudah di apartemen. Aku letakkan bawaan Papa di kamar tidur satunya. Setelahnya kami berbincang sambil menikmati nasi padang kotakan yang aku pesan lewat online. Lauk rendang daging, rendang jengkol, dan tidak lupa rebusan daun singkong dengan sambal hijau berlimpah. Ini kesukaan kami berdua. Dulu Mama sering memasak ini, sampai sekarang. Kecuali rendang jengkol yang dulu selalu di-request oleh Papa. Aku menatap Papa tidak mengerti. Apa hubungannya membantu teman dan diriku? “Teman Papa itu adik kelas, baru ditinggal suaminya menikah kembali. Dia yang murni ibu rumah tangga, pontang-panting mencari penghidupan. Sedangkan kedua anaknya masih sekolah. Dia yang sebelumnya hanya tulang rusuk, sekarang dipaksa keadaan menjadi tulang punggung,” ucapnya kemudian terdiam kembali. Papa menyeruput air putih kemudian ke dapur untuk membasuh tangan. Kemu
Menjaga apa yang sudah ada di tangan, itu tidak gampang. Jauh lebih mudah saat meraihnya, padahal itu pun memerlukan upaya. Terlebih kalau itu berkaitan dengan hati. “Ada Mas Suma? Kok berpikir sampai dahinya berkerut begitu. Pak Presiden saja sampai kalah, lo,” celetuk Maharani sambil duduk di sebelahku. Setiba di rumah, rasa kangen dengan suasana biasanya begitu lekat. Setelah berbincang, kami pun masuk kamar masing-masing. Rima jadi ikut ke sini, dia sekarang bersama Amelia. Mereka terlihat akrab, mungkin ini menjawab kerinduan anakku dengan kakak perempuan. Pertanda baik, bukankah saudara dan ipar menjalin keakraban adalah sesuatu yang membanggakan? Aku dan Maharani bersantai di teras privat depan kamar kami. Seperti biasa, dia datang membawa teh hangat dan camilan. Kebiasaan yang menyebabkan perutku tidak se-sexy dulu. Kalau aku protes, istri selalu melempar kesalahan kepadaku. “Siapa suruh menghabiskan minuman dan camilan satu toples. Aku kan hanya menyediakan, tidak memaksa