"Kau ingin aku menjadi pembunuh?!""Aku ingin mendapatkan maaf dari mu! Aku sudah mendengar penjelasan dari Nirwan!""Aku tidak peduli!" Kerasnya hati Kinanti tidak dapat di runtuh kan oleh Adam, rasa sakitnya sungguh terlalu hingga sulit untuk berdamai."Jangan terlalu lama berdiri," Adam memegang lengang Kinanti, takut nantinya malah membuatnya tubuh lemah itu terjatuh."Jangan pegang-pegang!""Aku hanya membantu mu, dan hanya ingin kandungan mu tetap baik-baik saja, bisa di selamatkan, setelah itu terserah pada mu, aku pun tidak akan pernah mengambil anak itu!" Jelas Adam, untuk yang kesekian kalinya berharap Kinanti mau mengerti jika ia seorang tidak berbohong."Kau janji?""Iya!"Kinanti menjatuhkan benda tajam di tangannya pada lantai, walaupun begitu masih belum ada kata maaf untuk Adam."Sebenarnya jika di suruh memilih memaafkan mu atau membunuh mu aku lebih memilih membunuh mu, tapi, aku masih waras dan ingin membesarkan anak ku!" Papar Adam. "Ayo Mas bantu, jangan terlalu
"Baiklah begini saja, mau mu sekarang apa asal bisa menerima maaf ku?" Tanya Adam dengan serius.Kinanti membuang pandangannya kesal pada Adam yang tidak memiliki pendirian."Kamu mau kita bercerai begitu kan?" Tanya Adam dengan susah payahnya.Kinanti beralih menatap Adam kembali, menatap wajah pria yang tidak tahu apa yang sebenarnya di inginkan nya."Baiklah, tapi sampai anak itu lahir, aku akan menepatinya, asal kamu mau memaafkan aku.""Kau tidak menepati janji mu, antara apa yang kau katakan hari ini dan kemarin saja berbeda!""Aku berjanji, kecuali kamu tidak memaafkan aku."Kinanti diam tapi sebenarnya ingin berteriak sekencang-kencangnya, jujur saja sudah tidak sanggup berada di posisi saat ini.Kinanti juga seorang wanita yang ingin bahagia, di cintai dan di hargai."Ya," Adam menatap manik mata Kinanti dengan dalam, "kali ini aku tidak akan berbohong dan tidak akan menyakitimu lagi, aku mohon, kau akan ku lepaskan setelah anak itu lahir tapi kau harus mengijinkan aku bertem
Pagi ini semua duduk di kursi meja makan dalam hening menikmati sarapan pagi bersama seperti biasanya."Ini tiket liburan, Kakak mau kalian beberapa hari ke depan honeymoon ke Bali, semua sudah di siapkan kalian tinggal berangkat saja."Hanna meletakan dua tiket liburan untuk Adam dan Renata, tidak ingin rumah tangga adiknya hancur menjadi alasan utama."Kak, aku sedang-""Tidak ada alasan!" Timpal Hanna dengan cepat."Sayang, ayolah, sudah lama sekali kau tidak memiliki waktu untuk ku," Renata memeluk lengan Adam.Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang ingin tumpah, perasaan Renata kini ada yang berbeda dari Adam.Cinta Adam tidak sebesar dulu, senyuman Adam tidak lagi setulus dulu, bahkan Adam tak pernah lagi menyentuhnya.Sakit tak berdarah tapi, terhina.Semalam saja Renata menawarkan diri tapi, Adam menolak dengan cara halus.Ini bukan Adam.Suaminya tidak begini."Adam!" Hanna menyadari raut wajah sedih Renata, hingga ia menatap adiknya dengan tajam."Adam, apa yang dikatak
"Dokter Adam mau bicara," Serena memberikan ponselnya pada Kinanti."CK!" Kinanti mendorong ponsel Serena tidak ada rasa tertarik untuk berbicara dengan Adam.Kinanti lebih memilih fokus pada makanan nya dan mulai makan dengan lahap dan berdoa semoga setelah ini tidak akan muntah lagi.Seharian muntah-muntah membuat nya menjadi lemas, bahkan bergerak saja begitu sulit."Kinan," Serena kembali memberikan ponselnya, berharap Kinanti mau berbicara walaupun hanya sebentar."Aku sedang makan."Kinanti menunjukkan piring yang kini berada di atas ranjang, dan ia duduk bersila, menyendok nasi dengan tangan kanan yang masih terpasang selang infus.Sebenarnya kemarin selan infus nya ada di tangan sebelah kiri tetapi, siang tadi Serena memindahkan ke tangan kanan karena tangannya kiri Kinanti mulai bengkak.Hampir satu Minggu sudah tangan Kinanti terpaksa di pasang infus, karena keadaan nya yang kadang-kadang mengkhawatirkan.Sehingga Adam belum mengijinkan Serena untuk melepas selang infusnya.
"Sayang."Adam tersentak saat tangan Renata dilingkarkan di perutnya, seketika itu pula ia memutuskan panggilan telpon yang masih terhubung dengan istri gelapnya. Kinanti.Adam masih bersyukur karena sudah tidak lagi memegang pisang keramatnya tapi, sejak kapan Renata keluar dari kamar."Adam," Renata memutari tubuh Adam, berpindah ke depan dengan perlahan tangannya melingkar di leher suaminya.Perlahan Adam pun memasukkan ponselnya ke dalam celana, memasang senyuman sekalipun masih di kuasai ketengan."Kamu kenapa? Kok, panik gitu?" "Kamu kenapa bangun?" Adam lebih memilih mengalihkan pembicaraan dibandingkan harus membahas hal yang bisa membuatnya bingung dengan jawaban dari setiap pertanyaan Renata."Aku, terbangun dan aku lihat kamu nggak ada, akhirnya aku nyariin kamu, ternyata kamu di luar," jelas Renata dengan senyum manja, "tapi, aku dengar barusan kamu teleponan, sama siapa?" Tanya Renata penuh selidik."Em, barusan Kak Hanna telpon, nanyain kamu," bohong Adam."Kak Hanna?"
Tiga hari ini Adam benar-benar meluangkan waktunya untuk Renata, membuat istri pertamanya bahagia tanpa ada bayang-bayang istrinya kedua Kinanti.Adam memfokuskan waktunya berlibur berdua untuk Renata, menjadikan istrinya seperti ratu sebagai ucapan maaf yang tak langsung keluar dari bibirnya."Sayang, aku sedang tidak ingin kembali ke Jakarta," Renata bergelayut manja pada lengan Adam.Beberapa hari ini Renata merasa Adam benar-benar setia padanya tanpa ada yang lain, sekalipun sebenarnya Renata masih ingin menanyakan mengenai ponsel Adam.Tapi, tidak masalah Renata lebih memilih bahagia dari pada terus menderita karena curiga."Sayang, nanti kita bisa kembali lagi, apa kau tidak rindu pada dua kurcaci kecil yang cerewet itu," Adam menarik Renata, mengecup beberapa kali."Vina?""Iya, siapa lagi kalau bukan suntel kentut itu.""Iya sih, ya udah kita balik."Renata mengangguk setuju, Adam memang sangat dekat dengan dua keponakan apa lagi Davina.Sehingga ia tidak bisa egois, lagi pula
"Sayang kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan sebentar, udah beberapa hari kita liburan, aku banyak menelantarkan pekerjaan ku, aku pergi dulu."Baru saja keduanya sampai di rumah tapi, Adam sudah berpamitan lagi untuk alasan pekerjaan."Adam, ini sudah malam, besok bisa, kan?" Renata menatap Adam yang sudah duduk di kursi kemudi dengan pintu mobil yang masih terbuka."Tidak bisa, Dokter Zidan ternyata menghubungi ku semenjak kemarin, barusan juga dia menelpon menanyakan beberapa data pasien.Renata mendadak diam tidak lagi bisa menahan suaminya untuk pergi."Aku pergi ya, kamu tidur dulu, aku tahu kamu capek, kan?" Renata mengangguk lemah, setelah tersadar dari lamunannya ternyata mobil Adam sudah keluar dari gerbang rumah.Dreett.Sebuah suara dari ponsel yang berada di dalam tas nya berdering, Renata tahu itu ponsel Adam yang tadinya di letakan di tasnya."Sayang!!!" Renata berseru dengan suara sekencang mungkin tetapi, Adam sudah jauh dan tak mendengar sama sekali.Perlahan ne
Belum sempat Renata menjawab suara Serena sudah terlebih dahulu terdengar."Dokter, saya sedang sakit dan Kinanti barusan mencari makan sendiri sampai sekarang belum pulang, saya khawatir," ujar Serena tanpa tahu siapa yang kini menerima panggilan nya.Beberapa hari ini Adam tidak bisa di hubungi, sehingga Serena bingung, dan saat panggil terhubung mulutnya langsung berujar dengan tidak sabar."Kinanti?!" Tanya Renata.Seketika itu tiba-tiba ponsel Adam mati kehabisan baterai."Kenapa dia menyebut Kinanti, apa hubungannya Adam dan Kinanti."Renata mengambil ponselnya dan menghubungi Dokter Zidan."Halo Dok," kata Renata setelah panggilan terhubung."Ya Ibu Renata ada yang bisa di bantu?" Tanya Dokter Zidan di sebrang."Apa anda menghubungi suami saya dan memintanya ke rumah sakit?" Tanya Renata dengan perasaan was-was."Tidak, beberapa hari ini Dokter Adam sudah mengatakan bahwa dia berlibur bersama istrinya dan semua di serahkan pada saya," jelas Dokter Zidan dengan sebenarnya."Baru