Bagian 6

Alan mematikan teleponnya ketika melihat Rima masih mematung di sana, menatap dirinya dengan sejuta curiga.

 

"Aku mau mengambil bajuku, maaf kalau mengganggu aktivitasmu," ucap Rima kemudian masuk dan langsung berjalan ke arah lemari, lalu mengambil beberapa pakaian.

 

"Aku hanya menelpon Gayatri dan menanyakan tentang pekerjaan."

 

"Aku tidak bertanya," jawab Rima.

 

"Tapi aku tahu kamu sedang curiga."

 

Rima menghentikan aktivitasnya, kemudian membalikkan badan dan dengan sinis menatap Alan.

 

"Rasa cemburuku sudah hilang ketika satu kenyataan akhirnya aku tahu. Satu hal saja yang aku sayangkan, kenapa aku begitu bodoh tak bisa membedakan mana orang yang sedang jujur atau berpura-pura."

 

Ia kembali membalikkan badan, tapi Alan menahannya dengan membawa memegang tangan Rima.

 

"Aku tidak pernah mengkhianati pernikahan kita, Rima?"

 

"Oh? Sungguh? Benarkah? Ingin sekali aku percaya."

 

Alan melepaskan pegangan tangannya, kemudian menatap Rima tajam, sementara Rima membuang muka, enggan menatap suaminya, tak ingin melihat matanya yang indah, yang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Alan memang satu-satunya laki-laki yang membuatnya terpana hanya dengan sedikit senyumnya saja yang jarang.

 

"Apa saat di ranjang pun imajinasimu pada Gayatri?" tanya Rima pelan tanpa melihat ke arah suaminya.

 

"Pertanyaan gila macam apa itu?" Alan tersenyum kesal.

 

"Kamu hanya tinggal menjawabnya saja! Karena sampai saat ini pun kamu tidak mencintaiku bukan?"

 

"Kamu makin tidak karuan." Alan membuang napas kasar. "Baiklah, mari kita memberi ruang pada masing-masing, lalu setelah itu mari putuskan bersama kemana rumah tangga kita akan dibawa." 

 

Setelah itu Alan keluar dari kamar, pergi ke ruangan kerjanya dan menyibukkan diri dan menetralkan segala pikiran yang berkecamuk. Sementara Rima duduk di samping ranjang, mengambil napas panjang dan merasakan sesaknya sendiri. Ia masih dalam tahap begitu patah hati, begitu terluka, tiga tahun ini ia rasakan cukup indah. 

 

Tak pernah sedikitpun terpikir bila hati suaminya bukan untuk dirinya. Karena pada setiap kebersamaan dan kesempatan, Alan tak pernah jauh. Bahkan ketika libur bekerja, ia selalu ada di rumah, tak jarang memasakkan dirinya makanan kesukaan, meski dengan raut dingin yang selalu berhasil membuat Rima gemas.

 

Ponsel di tangannya bergetar, membuyarkan lamunan. Sebuah pesan dari Gayatri yang tidak ia buka, tapi terbaca.

 

[Rim, aku mau tanya. Sebetulnya ini dari kemarin, apa aku ada salah sehingga membuatmu berbeda? Atau kamu sedang ada masalah dengan Mas Alan?]

 

Rima beranjak tanpa peduli pada pesan itu, kemudian ia meninggalkan kamar seraya membawa beberapa baju, sekilas terlihat Alan di ruangan sebrang kamarnya sedang berjibaku dengan laptop, seperti biasanya.

 

 

***

 

.

 

.

 

Rintik hujan yang seolah m lalu-malu datang di sore ini, Alan datang menghampiri Rima yang sedang duduk sendiri di balkon, ia membawa dua gelas cokelat panas.

 

Hari ini ... adalah hari ke tujuh mereka tidak saling bertegur sapa, bahkan ketika di kantor pun tak ada yang saling memulai komunikasi. Awalnya, Alan kira Rima tidak akan tahan diam, karena ketika ia cuek satu jam saja, maka Rima akan melakukan apa pun.

 

"Kamu senang kita tak saling bicara?" ucap Alan.

 

Rima menganggguk. "Ternyata itu lebih  nyaman, pantas saja kamu sering mendiamkanku dulu.

 

Jawaban yang tidak Alan duga. Kemudian ia duduk di sebelah Rima seraya menyimpan cangkir berisi cokelat panas di meja.

 

"Tiga tahun pernikahan kita rasanya tidak mungkin aku tidak mencintaimu, tapi ....,"

 

"Tapi cintamu pada Gayatri tidak bisa terbendung, begitu bukan?" jawab Rima memotong pembicaraan suaminya. 

 

Alan membawa pandangannya pada Rima, tak peduli apa pun, Hinga saat ini ia tidak suka siapapun menyela ucapannya.

 

Maaf baru update, baru sempet nulis karena harus bolak balik ke rumah sakit. Makasih yang udah selalu nungguin ya.

Capítulos gratis disponibles en la App >

Capítulos relacionados

Último capítulo