Pov Ardan
"Tadi kata dokternya, Ibu terinfeksi tetanus, memang Ibu kena besi apa?" tanyaku.
Ia mengernyitkan dahi, mengingat sesuatu beberapa waktu lalu.
"Oh, iya tadi dokter tanya apa pernah kena besi, itu lihat telapak kaki Ibu pernah kena besi untuk bersihin got, lihatlah Ardan ternyata luka itu penyebabnya, padahal Ibu anggap itu tidak kenapa-kenapa, eh ternyata terinfeksi," ungkapnya membuatku seketika terdiam.
Luka yang Ibu alami terlihat tidak apa-apa, Ibu merasa baik-baik saja, padahal itu terinfeksi tetanus. Bakteri menyerang ketika kondisinya lemah.
"Bu, apakah Ibu tidak berpikir dengan apa yang Ibu alami ini?" tanyaku lagi.
Ia terdiam, tak ada jawaban, sepertinya sedang mencerna apa yang aku ucapkan.
"Kamu tidak paham atau pura-pura?" tanya Bu Anika sinis.
"Seperti keadaan Ibu saat ini, sama halnya dengan Mayang. Ia terlihat baik-baik saja atas luka yang Ibu berikan, tapi apa
Pov Ardan"Kamu kenapa sih selalu ikut campur?" tanya Bu Diah pada Rindu. Kemudian, Rindu mengambil tas yang ternyata tertinggal di meja."Aku kebetulan balik lagi, eh ternyata mendengar ucapanmu seperti itu pada Mas Ardan dan Bu Anika. Jadi, kamu pilih rumah sakit atau penjara?" ucap Rindu dengan posisi bibir ke atas. Sepertinya Rindu sudah sangat membenci Bu Diah.Tiba-tiba ia mengangkat telepon yang baru saja berdering. Sepertinya dari Mayang, buktinya ia langsung menuruti kata-katanya ketika mendapatkan telepon."Aku permisi dulu, kalau Ibumu macam-macam, tolong beritahu padaku, agar kujebloskan ia ke sel," sungut Rindu. Sepertinya marahnya sudah tak bisa dibendung lagi. Sebab, tingkah Ibu memang membuat orang lain kesal.Kemudian, aku mengantarnya ke depan, lalu kembali lagi ke ruangan untuk berpamitan.Aku mencoba melupakan hal yang Bu Diah ucapkan tadi. Anggap saja ia sedang bermimpi di siang hari.<
Pov ArdanRindu mulai mendekati kedua orang tuanya, lalu merangkul mereka sambil mengecup kedua pipi orang tua yang mengurusnya dari kecil."Kalau aku berbeda dengan kamu, Ardan. Pak Tommy sungguh baik luar biasa, ia memberikanku satu perusahaan di luar kota, dan menyetabilkan kondisi perusahaan Papa pada waktu itu, mungkin awalnya terdengar aneh, tapi ia memang sangat menyayangiku seperti sudah menganggap putrinya yang sudah meninggal dunia," terang Rindu, ia menceritakan bagaimana perlakuan Pak Tommy. Sangat jarang orang tua asuh seperti beliau, mungkin satu banding seribu."Berati memang tidak bisa disamakan antara orang tua asuh satu dengan yang lainnya. Orang tua kandung pun terkadang tidak bisa disamaratakan," ucapku."Betul, semoga kamu kelak menjadi orang tua yang adil, begitu pun nanti jika Arya memiliki istri, harus bersikap baik pada menantu," sahut Bu Anika, orang tua kandungku."Mas, kita besok berobat lumayan l
Pov ArdanKami semua tercengang dengan pengakuan yang tetangga berikan. Mama dan Papa dimasukkan ke dalam mobil Alphard. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana dengan Mbok Ani dan Arya?"Bu, apa anak kecil usia 2 tahun dan pengasuhnya juga masuk ke mobil itu?" tanyaku. Kedua tetangga mertuaku menoleh, mereka beradu pandangan sambil menautkan kedua alisnya."Kayaknya nggak ada anak kecil, kami pikir Bu Ratna dan Pak Sandi dijemput oleh rekannya, karena mobilnya kan mewah," jawabnya."Iya, kalau anak kecil sama pengasuhnya perasaan mah nggak belok sini, coba kalian ke sana!" ucapnya sambil tunjuk ke arah timur."Tadi kami sudah mencarinya ke arah sana, tapi tak melihat mereka. Ya sudah, Bu, terima kasih banyak informasinya," sahutku dan Reina. Kemudian, mereka mengangguk.Kami segera memberikan informasi ini pada Mayang dan Rindu, mereka pasti masih panik di dalam. Meskipun belum menemukan keberadaan or
Pov ArdanSemua yang berada di rumah merapatkan dan mendekatiku. Kemudian menyuruh untuk bicara pada Mbok Ani."Coba bicara pada Mbok," suruh Bu Anika."Iya, Bu," sahutku."Rayyan, halo, aku mau bicara pada Mbok Ani, bisa kan?" tanyaku."Sebentar, Mas."Tidak lama kemudian, Mbok Ani bicara padaku."Halo, Pak. Ini Mbok, maaf sebelumnya," ujarnya."Iya Mbok, Arya bagaimana? Lain kali kalau ke mana-mana bilang ya Mbok!" sahutku."Ada, Pak. Katanya Arya kangen dengan Oma-nya. Saya pikir kalau bilang pasti dimarahin," jawab Mbok Ani."Tetap saja tidak bisa seperti itu, untung saja Mbok Ani bekerja dengan saya, kalau dengan orang lain, mungkin sudah dipecat," sahutku."Maaf, Pak.""Jangan diulangi lagi, dan jangan ke mana-mana, saya akan jemput kalian," pesanku.Kemudian telepon pun terputus. Akhirnya aku tutup teleponnya. Ada emosi juga ke
Pov Ardan"Ha-halo," ucapku terbata-bata.Kemudian, telepon tersebut dimatikan. Aku menggelengkan kepala, dan meletakkan kembali ponsel istriku."Tidak ada suaranya, entahlah langsung dimatikan," ujarku memberikan informasi pada mereka. Namun, tidak lama setelah aku meletakkan ponsel itu, ponsel Rindu yang berdering. Nomer yang tak dikenali menghubungi Rindu, tapi berbeda dengan nomer yang menghubungi Mayang.Tanpa rasa takut, Rindu mengangkat teleponnya."Halo," ucap Rindu. Tidak lama kemudian, ia menekan tombol speaker agar kami bisa ikut mendengarkannya."Iya, Rindu. Ini Papa," ucapnya. Kami semua bangkit dari duduk ketika orang yang di seberang sana mengaku papa."Papa Sandi atau Papa Tommy?" tanya Rindu. Pertanyaan agak aneh jika Rindu tak mengenali suara mereka berdua. Sepertinya orang yang mengaku-ngaku saja."Rindu, masa kamu nggak kenal suara papamu di telepon?" bisikku pelan.
Pov Ardan"Rumah Sakit Mayang Bhakti, mungkinkah ini Bu Diah?" tanyaku heran, tapi dadaku sudah bergemuruh ingin memakinya. Sudah dikasih ati minta jantung. Sudah diberikan kesempatan berkali-kali tapi tidak ada rasa penyesalanya sama sekali."Siapa, Mas? Bu Diah kah maksudnya?" tanya Mayang. Aku menyodorkan ponsel Aldo ke pangkuan Mayang. Rasanya aku sudah malu padanya."Tuh kan, apa kita laporkan ke polisi saja?" tanya Bu Anika."Tidak, Bu. Aku tidak ingin ke jalur hukum, nanti jadi panjang," cegah Mayang. Aku pun tak mampu berkata-kata, hanya kesal dan sesal telah berkali-kali menuruti keinginannya."Mayang, maafkan Bu Diah," ucapku sambil menutup wajah ini dengan kedua tangan. Malu pada Mayang terhadap kelakuan ibu asuhku."Kita kasih peringatan sekali lagi saja, sekalian tanya maksud Bu Diah itu apa?" usul Aldo.Aku yakin, tujuan Bu Diah hanya satu. Mayang stress dan tidak jadi berangkat ke lua
Pov Bu Diah"Sita, Rayyan sudah berangkat?" tanyaku pada Sita, menantu satunya. Kalau Mayang sudah tak anggap aku sebagai mertua, masih ada Sita yang bisa disuruh-suruh."Bu, Ibu udah bisa bicara? Maaf loh, aku pulang ketika Ibu sulit mengontrol mata dan mulut Ibu," ucapnya. Aku sudah melupakan hal itu, karena tahu ia sedang mengandung cucuku."Sudahlah, eh Ibu dapat cek senilai 1 milyar, bisa kamu cairkan," ucapku."1 milyar? Yang bener Bu?" tanya Sita dengan nada terkejut."Iya, kamu nanti ke sini, Ibu kasih kamu 20 juta, tapi harus ikutin apa kata mau Ibu dulu," suruhku. Untukku harus ada timbal balik, kalau aku kasih uang dua puluh juta, maka ia harus mengikuti perintahku lebih dulu."Apa Bu?" tanya Sita."Kamu teror Mayang dan keluarganya, suruh orang aja, pakai cara yang bikin Mayang stress, Ibu nggak rela Mayang sembuh," jelasku."Cara apa ya?" Sita berpikir sejenak.
Pov Bu Diah"Kalian ini ngomong apa sih? Saya juga sadar kalau sudah tus," sahutku kesal. Wajahku sudah mulai bisa tenang."Kamu kan yang ngerjain keluarga kami? Bu Diah, kamu tak bisa mengelak itu, ngaku saja!" tekan Rindu."Ardan, bantu Ibu yang telah mengasuhmu, bantu Ibu Ardan!" pintaku, tapi ia menepis rengekanku. Tanganku ditepis ketika bergelayut di lengannya."Bu, sudahlah jangan sandiwara, Ibu kan yang meneror keluarga kami?" sentak Ardan. Rupanya mereka mengetahui apa yang kulakukan. Tahu dari mana mereka? Apa jangan-jangan Sita telah mengkhianatiku?Aku menggelengkan kepala, masih mengelak atas apa yang telah kulakukan."Bukan saya," elakku."Ngaku, Bu!" teriak Rindu."Diah, ngaku saja, bukti sudah kami pegang, sebentar lagi, pihak kepolisian akan membawamu ke kantor polisi," ujar Anika membuatku semakin ketakutan. Astaga, mereka benar-benar mengetahui perbuatanku, tapi jika