Mayang pasti syok lagi ketika mendengar perkataan ibu barusan. Aku bergegas menghampiri Mayang, agar ia tidak terlalu menanggapi ucapan ibu.
"Mayang, kamu tidak usah dengar ucapan ibu, ya!" seruku. Kemudian, kulihat wajahnya yang sudah meneteskan air mata. Benar dugaanku, ia masih menanggapi ucapannya.
Kulangkahkan kaki ini ke arah ibu, tapi tiba-tiba datanglah Bu Anika membuka pintu dengan lebarnya.
"Sini kamu!" ucapnya sambil menarik pergelangan tangan Bu Diah. Tangannya berusaha menepis genggaman Bu Anika.
"Apa-apaan si, kamu? Lepas!" teriak Bu Diah. Kemudian, mereka pun ke luar dari ruangan. Aku menyeka air matanya Mayang.
"Sayang, kamu jangan dengarkan kata-kata Bu Diah, ya! Kamu kan tahu ia begitu karena ingin memilikiku." Isakkan Mayang membuatku memeluknya.
"Aku pengen pulang, Mas," ucap Mayang sambil menginjakkan kakinya ke lantai. Kutuntun Mayang berjalan, mungkin orang tuanya sedang dalam perjalanan.
Aku mencari Bu An
Kami semua berhamburan menghampiri suara teriakkan itu. Kemudian, membuka pintu kamar dengan lebar. Ternyata Mayang pingsan lagi, ia jatuh tepat di pangkuan papanya. Orang tua yang sangat menyayanginya lebih dari nyawanya pun histeris."Mayang, sadar, Nak!" teriaknya sambil menepuk pipinya pelan."Pah, Mayang kenapa?" tanyaku dengan suara tersengal-sengal. Ada rasa cemas yang berlebihan di dalam hati ini.Kemudian, kami membantu papa untuk meletakkan Mayang ke atas ranjang dengan membopong tubuhnya yang kurus bertiga.Setelah meletakkan Mayang ke atas ranjang, Aldo yang selalu membawa stetoskop di saku jas-nya pun memeriksakan dengan segera kondisi Mayang saat ini.Bukan hanya aku yang cemas, ada mama yang sudah menangis tersedu-sedu di hadapanku. Bu Anika lah yang berusaha menenangkannya."Pah, Mama kenapa?" Tiba-tiba suara kecil yang cadel itu menghampiri. Mungkin karena cemas juga.Aldo melepaskan stetoskop dari telinga
"Mbak Mayang ngomong ngaco terus, aku sesak jadinya. Mah, Pah, aku mohon bawa Mbak Mayang berobat ke luar negeri, ya. Reina nggak mau kehilangan satu kakak lagi," isak Reina. Aku pun bergegas masuk lagi ke dalam. Lalu disusul orang tuanya juga.Kemudian, kami melihat Mayang masih dalam keadaan sadar. Ya Tuhan, aku sudah berpikir macam-macam tadi. Ketakutan kehilangan Mayang membuatku selalu berpikir negatif."Mayang, setelah ini, kamu akan dibawa ke luar negeri, ya!" pinta papa. Mayang pun mengangguk."Kamu bicara apa? Kenapa Reina jadi histeris begitu?" tanya mama."Nggak, Mah. Hanya takut umurku nggak lama lagi, nanti bingung dengan Arya," jawab Mayang.Aku pun menutup bibirnya yang pucat, kemudian mengecup keni
POV Reina"Mbak, kamu pasti bisa sembuh," ucapku ketika baru saja berhadapan dengan Mbak Mayang, ia memanggilku ke dalam. Aku tahu pasti akan bicara tentang kematian."Dek, kayaknya penyakitku sulit disembuhkan, kamu mau kan menuruti kemauanku?" tanya Mbak Mayang."Mbak, kamu pasti sembuh, sudahlah jangan bicara macam-macam," pungkasku dengan nada kesal. Memang Mbak Mayang wanita kuat, tapi ia juga mudah putus asa."Mbak hanya ingin Arya besar nanti tidak seperti Mas Ardan, memiliki Ibu yang serakah dan menghina menantunya. Dulu Mbak pikir, karena melahirkan normal itu perjuangan besar, jadi ia mengungkitnya hingga Mas Ardan berumah tangga, tapi sejak tahu bahwa Bu Diah hanya ibu asuh, berati otaknya memang hanya uang," ungkap Mbak Mayang membuatku geram pada Bu Diah. M
POV Bu AnikaSosok wanita yang kulihat mirip Mayang, itu ternyata bukan halusinasi. Jadi, apa yang dilihat oleh anakku, Ardan sejak tadi memang bukan sekadar halusinasi. Ia duduk bersama Reina, kami pun turut ngobrol berempat."Reina, aku Rindu Kartika, kakakmu, adik kembar Mbak Mayang," celetuknya membuatku yang berdiri di belakang mereka sontak melangkah ke depan."Jadi, Mbak Rindu masih hidup?" tanya Reina seketika membuat pandangannya mengembun. Aku pun terharu ketika mendengar pengakuan wanita berparas cantik itu. Benar-benar bagai pinang dibelah dua dengan istri anakku.Mungkin saat ini kecantikan Mayang terlihat kusam karena penyakit yang ia derita, dan siksaan yang mertuanya berikan, membuat Mayang tak pedulikan masalah kecantikan.
Pov Bu AnikaSetibanya di rumah sakit, masing-masing memerankan perannya. Termasuk aku yang harus menggiring Ardan untuk ke luar ruangan."Halo, Ardan, Ibu mau minta tolong ke luar sebentar, Ibu ada di taman," ucapku melalui sambungan telepon.Begitu pula dengan Reina, ia berusaha menceritakan pada orang tuanya, agar mereka paham atas tidak ikutnya Ardan ke luar negeri."Bu, ada apa?" tanya Ardan."Tadi Ibu nggak jadi ke sana," sahutku."Ya sudah, nanti aku saja yang ke sana," terang Ardan lagi.💚💚💚POV ArdanAku tidak pernah menginginkan apa pun selain kesemb
POV RinduKetika kami tiba di rumah sakit, aku menemui Mbak Mayang, papa dan mama, mereka terkejut bukan main. Ini rahasia sudah bertahun-tahun lamanya ketika usaha papa hampir kolaps."Mah, Pah," sapaku ketika tiba di ruangan. Ada Mbak Mayang juga yang sempat berkaca-kaca. Namun, hanya ia seorang yang langsung memanggil namaku. Rupanya, firasat saudara kembar itu kuat, ia sudah punya firasat bahwa aku masih hidup."Rindu," celetuk Mbak Mayang."Mbak, kamu percaya denganku?""Percaya, aku sudah duga bahwa kamu masih hidup, karena sempat beberapa kali melihat kamu," sahut Mbak Mayang. Sedangkan di sebelahnya ada mama dan papa yang sedang dijelaskan oleh Reina."Mba
Pov RinduMbak Mayang memang sedikit lemah dalam hal ini, ia bukan pemberontak. Mbak Mayang memang hanya mampir menangis jika ada masalah, dan ditelan sendiri di batinnya. Cerita pun hanya sekadar cerita, kadang ia melarang yang diceritakan untuk bicara. Itulah Mbak Mayang yang kukenal."Bu, hati-hati di jalan, terima kasih banyak, ya," sahutku pelan. Aku harus terlihat elegan dan lembut.Mereka pun pergi, dan tidak lupa ia menjalankan misi selanjutnya. Besok Bu Anika akan menghubungi bos nya Mas Ardan, dan harus bekerja ke kantor meskipun hanya setengah hari. Saat itulah, aku akan tahu perlakuan Bu Diah pada Mbak Mayang palsu seperti apa.Aku dituntun oleh Bu Diah ke kamar, dengan sabar ia merebahkan bobot tubuh ini di ranjang. Mas Ardan pun pamit untuk mandi.B
POV RinduTiba-tiba ketukan pintu terdengar mengetuk pintu kamar, ada perasaan lega dalam dada ini. Pastinya kecurigaannya tidak akan dilanjutkan."Masuk!" teriak Mas Ardan sembari masuk ke dalam toilet, khawatir Mbok Ani yang datang."Maaf, Pak. Ini dari Mbak Reina," ucap Mbok Ani pada Mas Ardan yang bersembunyi di balik pintu kamar mandi. Hanya kepalanya yang nongol.Ia mengantarkan anting Mayang. Pasti Reina yang ke sini untuk memberikan antingnya."Makasih, Mbok," sahut Mas Ardan sembari melambaikan tangannya pertanda suruh cepat pergi.Tidak lama kemudian, Mas Ardan menghampiriku, lalu menyuruh memakai antingnya. Sementara ia mengambil baju dari lemari, kemudian me